Hidup Hanya Numpang Ketawa

Tertawa bisa menghapus omong kosong. Kerap kali, para pelawak dan seniman adalah orang yang paling jujur di dalam masyarakat. Mereka mengambil jarak, dan melihat keanehan dari semua ini.

Minggu, 2 Februari 2020 | 11:27 WIB
0
344
Hidup Hanya Numpang Ketawa
Ilustrasi (Foto: rumahfilsafat.com)

Sekilas Info, begitu judul dari lagu karya Jason Ranti. Satu lirik yang terus terngiang di kepala saya: heii.. hidup hanya numpang ketawa. Kutertawa maka ku apa…. Nadanya mengayun, dan begitu mudah menempel di telinga.

Apakah benar, bahwa hidup hanya numpang tertawa? Jason Ranti tampaknya berpikir begitu. Rupanya, ia tidak sendirian. Ribuan Zen Master di dalam sejarah berpikiran serupa.

Alkisah, ada seorang Zen Master yang hidup bersama murid-muridnya. Setiap malam menjelang tidur, ia akan tertawa terbahak-bahak di kamarnya. Tertawanya menggelegar mengisi biara Zen tempat ia tinggal bersama murid-muridnya. Apa arti tertawanya?

Hidup Hanya Numpang Tertawa

Zen penuh dengan kebijaksanaan yang bersifat spontan. Tidak hanya itu, ide-ide di dalam Zen juga praktis. Ia bisa digunakan untuk mencerahkan hidup sehari-hari. Seringkali, percikan pencerahan mengundang tawa yang melegakan dada.

Di dalam hidup, kita selalu mencari kebahagiaan. Kita ingin memperoleh kedamaian hati di tengah keadaan yang terus berubah. Untuk itu, kita mencari ke seluruh penjuru dunia. Uang dan tenaga habis, namun kita tak juga menemukan, apa yang kita cari.

Yang membuat tertawa adalah, bahwa apa yang kita cari sesungguhnya ada di dalam diri kita. Semua pencarian kebahagiaan akan percuma, jika orang tak melihat ke dalam dirinya sendiri. Dengan menyadari ini, senyum akan tergores sekilas di wajah. Tawa pun akan mengikuti.

Zen Master asal Vietnam, Thich Nhat Hanh, pernah menjelaskan. “Ini bukanlah tertawa orang yang mendapatkan harta melimpah. Juga bukan tertawa orang yang barus saja memenangkan pertandingan. Ini adalah tertawa yang muncul, setelah kita mencari sesuatu dengan susah payah, dan ternyata itu ada di kantong celana kita.” (dalam Foreman, 2015)

Jangan Terlalu Serius

Salah satu hal penting dalam Zen adalah, jangan melihat hidup terlalu serius. Jika dilihat secara keseluruhan, hidup adalah absurditas yang mengundang tawa. Segala hal berubah. Hari ini untung, besok buntung. Terlalu serius justru akan membuat kita menderita sia-sia.

Longchenpa, master Buddhis dari Tibet, pernah juga berkata. "Semuanya adalah kesementaraan belaka. Tidak ada yang sungguh jahat dan baik pada dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa ditolak, ataupun diterima. Maka cuma satu yang bisa kita lakukan: tertawa selepas-lepasnya.“ (dalam Foreman, 2015)

Diri kita pun hanya sementara. Yang disebut diri adalah kepribadian kita. Ia terus berubah. Tidak ada pusat yang mengikat.

Maka, kita bukanlah diri yang kita pikirkan. Saya bukan Reza. Itu hanya kepribadian sementara yang dibuat oleh lingkungan sekitar saya. Sadar akan hal ini, tak ada pilihan lain: kita hanya bisa tertawa.

Banyak Tertawa

Saya sudah belajar begitu banyak tradisi filsafat dan spiritualitas dari berbagai penjuru dunia. Ada satu ciri yang sama dari para master tersebut. Mereka mudah sekali tertawa. Tidak hanya tertawa, tetapi mereka juga tertawa terbahak-bahak.

Alan Watts, Zen Master asal Amerika, juga pernah menulis. "Orang menderita, karena mereka menganggap serius apa yang diciptakan oleh Alam untuk bersenang-senang.“ (dalam Foreman, 2015) Di dalam ilmu fisika, semakin banyak yang ditemukan, semakin banyak pula pertanyaan baru bermunculan. Hanya ada satu tanggapan terhadap hal ini: tertawa.

Tertawa bisa menghapus omong kosong. Kerap kali, para pelawak dan seniman adalah orang yang paling jujur di dalam masyarakat. Mereka mengambil jarak, dan melihat keanehan dari semua ini. Mereka seringkali jauh lebih jujur dari para pemuka agama, guru, apalagi politikus.

Di dalam Zen, ini disebut sebagai “orang-orang bodoh yang tercerahkan” (enlighten fool). Mereka melihat kesia-siaan dari segala upaya manusia, dan masih mampu menemukan tawa di dalamnya. Dengan senjata tawa dan komedi, mereka memotong ketololan hidup manusia, dan membawa kesegaran untuk semua. Inilah kebijaksanaan yang gila (crazy wisdom).

Mereka menolak tunduk pada tradisi dan kata masyarakat. Mereka melihat hidup sebagai tarian yang penuh kreativitas. Tak jarang, mereka menyinggung hati orang-orang tolol yang dicekik tradisi. Walaupun dimaki dan ditolak, mereka tetap tertawa, dan berkarya.

Tertawa itu Menyembuhkan

Tertawa adalah obat terbaik. Ini amat sangat benar. Tertawa menghapus tegangan hidup sehari-hari. Tertawa menghapus rasa bosan yang mencekik jiwa. Orang-orang yang berbeda berkumpul bersama untuk tertawa bersama.

Baca Juga: Tertawa di Pinggir Jurang

Tertawa juga menunda ego. Ego adalah kepribadian hasil bayangan kita. Lingkungan sekitar juga turut serta menciptakannya. Dengan tertawa, ego tertunda, walaupun untuk sementara.

Banyak orang mengira, bahwa orang yang tercerahkan adalah orang yang sempurna. Mereka tak pernah marah. Mereka tak pernah sedih. Bahkan, mereka tak pernah tertawa.

Ini pandangan yang tolol, dan justru mengundang tawa konyol. Pandangan inilah yang melahirkan pemujaan kosong. Sekte-sekte sesat tercipta di sekeliling guru yang dianggap sempurna. Jika kita tak mampu meniru kesempurnaan tersebut, kita lalu dicekik oleh rasa bersalah dan tak berguna.

 Kembali ke Kenyataan

Di dalam Zen, kamu harus membunuh Tuhan yang kamu temukan di jalan. Tuhan yang ditemukan di jalan adalah Tuhan palsu. Ia adalah konsep dan ilusi yang menipu. Dengan melepas semua ide tentang Tuhan, kita justru akan berjumpa, dan menyatu dengan-Nya.

Melepas semua ide berarti kembali ke saat ini. Saat ini adalah yang nyata. Saat ini sederhana, sekaligus rumit. Ada beragam emosi dan pikiran yang datang pergi. Beberapa menyakitkan. Beberapa membahagiakan.

Menjadi sempurna berarti hidup dalam mimpi. Kita lalu meninggalkan saat ini. Melepas saat ini berarti mengundang derita. Dalam derita, ego menjadi raksasa, dan mengundang derita lebih dalam.

Alan Watts juga pernah menegaskan, bahwa kita tak dapat menentukan kiri, tanpa kanan. Kita tidak dapat menentukan atas, tanpa bawah. Semua hal di dunia ini satu paket. Mencari bahagia justru akan mengundang derita.

Kita hanya perlu menjadi diri kita yang asli. Pikiran berhenti. Emosi juga berhenti. Hanya sadar dan hidup.. mungkin juga tertawa.

Kita Semua Akan Mati

Hal terlucu yang pernah ada adalah, bahwa kita semua akan mati. Ini kenyataan. Ini tidak menakutkan. Ini justru amat sangat super lucu.

Beragam agama meyakinkan, bahwa ada hidup setelah mati. Jika patuh pada agama, maka masuk surga. Jika tak patuh, maka masuk neraka. Mendengar itu, saya hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Tau dari mana? Ngarang aja.

Anda bisa cerdas. Anda bisa cantik atau ganteng. Anda juga bisa amat sangat kaya. Namun, anda akan mati. Kita semua akan mati.

Kita bisa bekerja keras. Kita bisa belajar semua hal. Kita bisa mengubah dunia. Namun, semua itu akan dilepas, karena kita akan mati.

Inilah “lelucon kosmik yang agung” (the great cosmic joke). Osho pernah menulis. “Hidup sesungguhnya sudah cukup membuat kita tertawa. Hidup begitu absurd. Hidup begitu sia-sia. Tetapi, ia juga begitu indah, dan sangat-sangat menakjubkan. Hidup adalah lelucon kosmik yang agung.“ (dalam Foreman, 2015)

Setelah tertawa di hadapan segalanya, apa yang tersisa? Kita hanya perlu menjadi diri kita yang asli. Kita kembali ke titik awal kita memulai segalanya. Kita menjadi pemula di dalam memandang kehidupan: menjadi hidup sepenuhnya.

Hidup lalu menjadi permainan. Ia bukan lagi kumpulan tugas yang wajib dikerjakan. Hidup juga menjadi tempat berbagi tawa dan komedi.

Aaa.. hidup hanya numpang ketawa….aaa… kutertawa maka ku apa…Kembali terngiang lantunan lagu Jason Ranti. Jangan-jangan, ia adalah seorang Zen Master.  

HAHAHAHAHAHAHA...

****