Perlukah "Job Description" dalam Rumah Tangga?

Kata kata yang menjadi password kami dalam berinteraksi dalam rumah tangga adalah: "Tolong" dan "terima kasih".

Minggu, 15 September 2019 | 06:53 WIB
0
494
Perlukah "Job Description" dalam Rumah Tangga?
Ilustrasi keluarga (Foto: Holidayletting.co.uk)

Memilih Asas Gotong Royong 

Untuk menjaga agar masing masing karyawan memahami dan bertanggung jawab atas tugas masing masing, maka diterapkan asas: "Job Description", yang artinya adalah: "pembagian tugas".  Yang terdiri dari: Sekretaris, Kasir. 

Pembukuan, Tugas Luar dan Office Boy atau Office Girl. Semakin besar Perusahaan ,maka akan semakin lengkap Personal yang ditempatkan di pos masing masing. Seperti, sewaktu kami masih aktif di Perusahaan Eksport. selain dari Karyawan yang disebutkan, masih dibutuhkan Mandor Gudang dan Karyawan Khusus Dibidang Ekspor.

Kalau ruangan kantor kurang bersih atau ada air yang tumpah di lantai,maka yang dipanggil adalah Office Boy atau Office Girl. Kalau  Kasir sedang ada urusan ke Bank, maka pelanggan Kopi atau Kulit Manis, harus mau menunggu hingga Kasir kembali. 

Walaupun saya adalah Pemilik Perusahaan, tapi saya tidak boleh membuka laci meja Karyawan saya, untuk membantu melakukan pembayaran. Tujuannya adalah agar setiap Karyawan,bertanggung jawab penuh atas tugas dan wewenang yang dilimpahkan kepadanya.

Kembali Ke Judul 

Nah, apakah dalam rumah tangga asas Job Description ini perlu diterapkan? Ataukah kita lebih memilih menerapkan asas gotong royong?

Tentu saja dalam hal ini,tidak ada penilaian: "salah" atau "benar", karena setiap keluarga, berhak secara penuh, untuk menentukan,yang menurut pertimbangan mereka adalah yang terbaik bagi keluarga. Karena apa yang baik bagi keluarga orang lain, belum tentu juga baik bagi keluarga kita.

Sebagai contoh aktual.bagi keluarga yang kondisi ekonomi sudah mapan dan sudah mampu menggaji Pembantu dan Sopir Pribadi,maka istri dapat menerapkan prinsip: "Istri adalah Ratu Rumah Tangga" Karena segala urusan bersih bersih rumah, pekarangan, sudah ada dua orang Pembantu, yang akan mengerjakan. Dan bila ingin ke Pasar,sudah ada Sopir Pribadi.  

Tugas istri di rumah adalah bertindak sebagai boss yang mengatur tugas dari Pembantu dan Sopir. Setelah itu ,Istri bisa bersolek dari pagi hingga sore . Ketika suami pulang, istri menyambut dengan senyum mesra dan dandan yang aduhai Tapi tidak semua orang beruntung ,dapat meraih kondisi hidup seperti ini. 

Bila Ekonomi Keluarga Pas Pasan

Bilamana kondisi ekonomi keluarga: "pas pasan", maka cara dan gaya di atas tentu saja tidak mungkin dapat diterapkan. Perlu antara suami dan istri bekerja sama, dalam melakukan aktivitas dalam rumah tangga. Hal hal yang tampak sepele, bilamana tidak dibicarakan dari hati ke hati, dapat memicu rusaknya keharmonisan rumah tangga.

Suami merasa setelah seharian kerja keras mencari nafkah, merasa bahwa  segala urusan rumah tangga adalah sepenuhnya tugas istri. Sementara istri yang sudah bangun subuh, mempersiapkan sarapan pagi, mempersiapkan anak anak yang mau  berangkat ke sekolah dan kemudian masih harus ke pasar untuk berbelanja.

Pulangnya masih harus memasak untuk persiapan makan siang anak anak dan sekaligus makan malam keluarga,tentu juga merasa lelah. Karena itu diperlukan kesepakatan antara pasangan hidup, gaya dan cara mana yang akan diterapkan 

Kalau Kondisi Ekonomi Keluarga Sedang Terpuruk

Ketika kondisi ekonomi keluarga kami sedang terpuruk, maka cara dan gaya yang disebut diatas ,sudah tentu tidak mungkin dapat diterapkan. Jam 4.00 subuh istri saya setiap hari sudah harus ke Stasiun Kereta api, sambil membawa putra kami yang pada waktu itu baru satu orang dan berusia belum genap 4 tahun.

Tugas saya adalah mengupas Kulit Kelapa dan memarut dengan mesin parutan kelapa, sehingga begitu ada pelanggan yang datang, saya sudah siap. Mengingat para pelanggan kami pada umumnya, adalah orang yang berjualan cendol atau usaha katering, maka mereka sudah harus buru buru ke pasar untuk membeli kelapa yang sudah di parut. Karena takut kehilangan Pelanggan, maka walaupun terkadang saya sakit dan demam, saya memaksakan untuk tetap berjualan.

Istri saya naik Kereta api bersama putra kami dan kemudian membawa pulang Kelapa yang masih berkulit sehingga harganya jauh lebih murah. Kalau menunggu di stasiun Pulau Air di Padang, harganya sudah lebih mahal,maka istri saya naik kereta api, untuk membeli kelapa di stasiun kereta api di Pariaman, yang jaraknya sekitar satu jam dari kota Padang. Kemudian buru buru pulang, memandikan anak, kemudian harus mengajar di Sekolah Kalam Kudus. Kami berdua pada waktu itu, tak ubahnya bagaikan: "jongos " dan "babu".

Mulai dari mengepel lantai, menimba air dari sumur, menyaringnya, kemudian merebus ubi untuk sarapan pagi, kami lakukan berdua secara gotong royong. Pokoknya siapa yang sempat lakukan. Yang paling melelahkan adalah ketika bangun pagi, ternyata ada bangkai tikus yang sudah mengapung di dalam sumur.

Maka dengan sekuat tenaga saya harus menimba air sumur hingga kering ,agar terbit air yang baru. Tapi, karena kami berdua melakukan dengan penuh keikhlasan, tak ada yang merasa jadi: "babu" atau jadi "Jongos". 

Sudah Menjadi Tradisi Dalam Keluarga 

Karena sejak dulu sudah terbiasa menerapkan asas gotong royong, maka hingga kami sama sama menua, prinsip ini tetap berlanjut. Kata kata yang menjadi password kami dalam berinteraksi dalam rumah tangga adalah: "Tolong" dan "terima kasih". Sebagai Kepala Rumah Tangga saya tetap dihargai, sehingga sebelum memutuskan untuk membeli apapun, istri saya selalu  minta persetujuan saya, walaupun uang ada di tangan. Begitu juga sebaliknya.

Tulisan ini, tidak bermaksud merecoki urusan keluarga orang, melainkan hanya sekedar berbagi sepotong kisah hidup yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi orang banyak. Namun, pilihan ada di tangan kita masing-masing.

Tjiptadinata Effendi

***