Menggugat “Intervensi Demokrasi” Standar Komunitas Facebook

Jumat, 18 Januari 2019 | 15:25 WIB
0
1197
Menggugat “Intervensi Demokrasi” Standar Komunitas Facebook
Teguran yang disampaikan Facebook Indonesia terkait status yang ditulis di Facebook. (Foto: Istimewa).

Postingan ini melanggar Standar Komunitas kami. Tentang postingan Anda. Orang lain tidak bisa melihat postingan Anda. Jika Anda ingin meminta tinjauan nanti, Anda bisa menemukan postingan di linimasa.

Demikian tertulis dalam pemberitahuan  yang disampaikan Facebook Indonesia setelah saya memposting status “Pidato Kebangsaan Prabowo ini bisa disebut sebagai jawaban atas semua pertanyaan yang ditujukan selama ini”.

Link yang saya buat statusnya di FB adalah tulisan saya di Pepnews.com, Selasa, 15 Januari 2019 | 10:37 WIB dengan judul: “The New Prabowo”, Kejutan Pilpres 2019. Berikut linknya: https://pepnews.com/politik/p-d1549752434374b/the-new-prabowo-kejutan-pilpres-2019.

Status saya ini dihapus dari FB karena dianggap melanggar “Standar Komunitas kami”. Apa standarnya tidak diberitahu. Padahal, isi statusnya biasa saja. Saya coba posting di komentar lain 3 kali terhapus juga, tak ada jejak digitalnya sama sekali.

Menurut saya, ini adalah intervensi demokrasi FB atas situasi politik Indonesia terkini terkait Pilpres 2019 yang semakin ramai di FB, terutama yang mengkritisi paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin ketimbang paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.

Ketika saya mencoba mencari tahu penyebabnya melalui akun FB sendiri, saya hanya dapat keterangan, “Konten yang saya kirimkan dihapus karena dilaporkan sebagai pelanggaran kekayaan intelektual (hak cipta atau merek dagang). Apa langkah saya berikutnya?”

“Ketika kami menerima laporan dari pemilik hak yang mengklaim bahwa konten di Facebook melanggar hak kekayaan intelektualnya, kami harus segera menghapus konten tersebut dari Facebook tanpa terlebih dahulu menghubungi Anda,” tulis FB di lamannya.

Jika kami menghapus konten yang Anda posting karena laporan kekayaan intelektual melalui formulir online kami, Anda akan menerima notifikasi dari Facebook yang menyertakan nama dan email pemilik hak yang membuat laporan dan/atau detail laporan.

Selanjutnya ditulis, “Apabila Anda yakin bahwa konten tersebut tidak seharusnya dihapus, Anda dapat menindaklanjuti kepada mereka secara langsung guna mencoba menyelesaikan masalah tersebut.”

“Jika Anda adalah pengurus Halaman, dan konten yang dikirim pengurus lain di Halaman tersebut dihapus karena laporan kekayaan intelektual, Anda akan menerima pemberitahuan yang berisi informasi tentang konten yang dihapus, serta nama pengurus Halaman yang mengirimkannya.”

Apabila konten dihapus berdasarkan prosedur pemberitahuan dan pemberitahuan sanggahan United States Digital Millennium Copyright Act (DMCA), maka Anda dapat mengajukan pemberitahuan sanggahan DMCA.

Begitu juga, jika konten dihapus berdasarkan hak merek dagang A.S., dan Anda meyakini bahwa konten tersebut tidak seharusnya dihapus, Anda akan diberikan kesempatan untuk mengajukan banding.

Apabila hal ini terjadi, Anda akan menerima petunjuk lebih lanjut tentang proses ini dalam pemberitahuan yang Anda terima dari Facebook. Apakah informasi ini membantu? Apa yang terjadi saat ketika Facebook melaporkan konten secara otomatis ke grup?

Bottom of FormSaat anggota grup mengirimkan sesuatu yang tidak pantas atau mengganggu, pengurus grup dapat diberi tahu secara otomatis untuk meninjau dan mengelola kiriman. Kiriman yang sudah dilaporkan secara otomatis akan dibagikan ke grup hingga pengurus grup sudah menyetujuinya.

Pengurus grup mungkin juga memilih untuk menghapus kiriman dan memblokir anggota grup yang membuat kiriman tersebut. Jika pengurus grup menyetujui beberapa kiriman yang dilaporkan secara otomatis, konten pada akhirnya akan berhenti dilaporkan secara otomatis.

“Ingat bahwa kiriman yang sudah disetujui oleh pengurus grup mungkin masih dapat dihapus dari Facebook jika dilaporkan melanggar Standar Komunitas kami secara terus menerus,” tulis FB. Pelajari selengkapnya tentang melaporkan kiriman di grup.

Intervensi Demokrasi

Setidaknya ada tiga alasan yang disampaikan FB terkait dengan status saya itu. Pertama, saya dinilai melakukan “pelanggaran kekayaan intelektual” (hak cipta atau merek dagang). Kedua, adanya “laporan pemilik” hak intelektual.

Ketiga, pihak FB tidak “menyertakan nama dan email pemilik hak yang membuat laporan dan/atau detail laporan”, kecuali notifikasi dari Facebook saja. Baiklah, kita coba uraikan satu per satu alasan yang disampaikan pihak FB tersebut.

Pelanggaran kekayaan intelektual? Rasanya terlalu berlebihan jika status dan link tulisan saya tersebut dinilai sebagai pelanggaran kekayaan intelektual. Sebab, tulisan dalam link itu justru merupakan hasil kekayaan intelektual saya dalam bentuk analisa berita.

Penulisan juga berdasarkan riset dan telaah berita yang tersebar di berbagai media, termasuk di medsos yang bisa dibaca secara terbuka. Apakah karena ada kesimpulan, “Itulah bedanya Prabowo dengan Jokowi, rakyat bisa menilai sendiri!”

“Di sinilah jiwa Ksatria Prabowo yang membuat rakyat semakin yakin bahwa orang ini tidak jumawa, tidak sombong dan menghargai seseorang atas dasar prestasi. Orang macam inilah yang dibutuhkan bangsa besar yang akan menjadi pemain dunia.”

Adanya “laporan pemilik” hak intelektual dalam notifikasi FB itu tidak disertakan. Nama dan email pemilik hak yang membuat laporan dan/atau detail laporan juga tidak disertakan oleh pihak FB. Siapa sebenarnya “pemilik hak intelektual” tersebut?

Langkah yang dilakukan FB dengan menghapus postingan saya – dan mungkin facebooker lainnya juga yang pernah dieksekusi FB – jelas merupakan bentuk “intervensi demokrasi”. Mematikan hak intelektual warganet yang mencoba “bersuara”!

Kalau mau membuat aturan “pembatasan” hak warganet bersuara, sebaiknya FB membuat media sendiri seperti media mainstream lainnya, misalnya FacebookNews.com. Sehingga, jika ada content atau tulisan yang merugikan, bisa langsung di-cut.

Redaksi FB punya hak untuk tidak menayangkan tulisan tersebut. Inilah bedanya antara FB dengan FacebookNews.com. Karena, seperti dalam lamannya, FB adalah sebuah “layanan jejaring sosial” yang didirikan oleh Mark Zuckerberg pada Februari 2004.

Seperti dilansir Wikipedia.com, hingga September 2012, Facebook memiliki lebih dari satu miliar pengguna aktif, lebih dari separuhnya menggunakan telepon genggam. Pengguna harus mendaftar sebelum dapat menggunakan situs ini.

Setelah itu, pengguna dapat membuat profil pribadi, menambahkan pengguna lain sebagai teman, dan bertukar pesan, termasuk pemberitahuan otomatis ketika mereka memperbarui profilnya.

Selain itu, pengguna dapat bergabung dengan grup pengguna dengan ketertarikan yang sama, diurutkan berdasarkan tempat kerja, sekolah atau perguruan tinggi, atau ciri khas lainnya, dan mengelompokkan teman-teman mereka ke dalam daftar seperti “Rekan Kerja” atau “Teman Dekat”.

Dari sifatnya yang “terbuka” itu sebenarnya FB tidak punya hak untuk menghapus status dari netizen pengguna FB, kecuali memang sudah menjadi media mainstream seperti yang saya contohkan tadi. FB punya hak redaksional eksekusi tulisan.

Jelas itu berbeda dengan FB yang merupakan media “jejaring sosial” berbayar. Artinya, FB dapat keuntungan finansial dari netizen penggunanya. Dengan kata lain, netizen sudah berani “membeli” halaman FB secara khusus.

Tinggal hitung saja berapa keuntungan yang diperoleh FB dari netizen pengguna media sosial FB ini. Ini bisa dilihat dari kasus utang pajak yang pernah diungkap Direktorat Jenderal Pajak (DJP), seperti dikutip KompasTekno dari Bloomberg, Sabtu (26/11/2016).

Seperti dilansir SURYA.co.id, setelah persoalan tunggakan pajak dengan Google menemui kesepakatan, DJP mengincar perusahaan Over The Top (OTT) asing Facebook. DJP telah mengirim surat kepada FB untuk membicarakan utang pajak mereka di Indonesia.

Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Haniv mengatakan telah mengirim surat ke kantor Facebook di Irlandia untuk berdiskusi tentang persoalan tunggakan pajak ini, sekaligus mencari tahu kepentingan bisnis FB di Indonesia.

Utang pajak FB di Indonesia, menurut Haniv, diperkirakan antara Rp 2 triliun hingga Rp 3 triliun, termasuk denda keterlambatan pembayarannya. Facebook diketahui mulai membuka kantor perwakilannya di Indonesia sejak Maret 2014 lalu.

Nilai rupiah yang diperoleh dari penggunaan FB di Indonesia, jelas sangatlah besar. Sehingga  sebenarnya facebooker itu juga punya hak intelektual yang sama dengan netizen yang lainnya untuk bebas dari “intervensi demokrasi”.

Presiden Joko Widodo saja tidak pernah melakukan “intervensi demokrasi” netizen, masa’ FB “mematikan” suara rakyat Indonesia?

***