Terorisme Miskin Mental

Kebencian pada hidup membuat hidupnya tak bisa mulia.

Selasa, 30 Maret 2021 | 10:57 WIB
0
181
Terorisme Miskin Mental
Ilustrasi terorisme (Foto: minews.id)

Saudaraku, kemiskinan material memang bisa dekatkan seseorang pada kekufuran (kegelapan), tetapi kemiskinan mental lebih gawat dari itu: nista di dunia dan akhirat. Dalam miskin mental, orang tak bisa melihat sisi positif pengalaman hidupnya.

Siapa tak bisa berdamai dengan masa lalu tak bisa melihat kebaikan hari ini. Siapa tak bisa lihat kebaikan hari ini, tak bisa lihat harapan kebahagiaan hidup mendatang di dunia. Siapa tak bisa lihat kebahagiaan hidup di dunia, berharap bisa raih kebahagiaan di akhirat dengan segera akhiri hidupnya.

Orang miskin mental memang berani mati, tapi tak berani hidup. Padahal, tak ada jalan pintas menuju surga.

Janji surgawi hanya bisa diraih lewat keberanian hidup, beramal kebajikan atasi rintangan dan tantangan zaman, demi memberi kebahagiaan hidup warga bumi.

Dalam kemiskinan mental, ruang jiwa juga terlalu sempit untuk bisa menerima perbedaan. Kehadiran yang berbeda dipandang dengan kecurigaan permusuhan, yang harus disingkirkan dengan pengucilan dan penyerangan.

Dalam aksi teroris, kebencian pada perbedaan dan jalan pintas menuju surga menyatu dalam aksi bom bunuh diri. Pekikannya, “Hidup mulia atau mati syahid”. Kenyataannya, “Hidup tak mulia, mati pun tak syahid”. Kebencian pada hidup membuat hidupnya tak bisa mulia.

Siapa tak bisa hidup mulia di dunia tak mampu kobarkan kesyahidan (kesungguhan) jelang kematian —dengan berani mengolah kehidupan; malah, memamerkan kepengecutan dengan bunuh diri dan bunuh orang. Orang yang mati syahid wariskan kebahagiaan dan kebaikan pada kehidupan. Orang yang mati pengecut, mewariskan kesengsaraan dan keburukan pada kehidupan.

Dengan demikian, terorisme bukanlah sebab, melainkan korban dari kemiskinan (material dan mental). Seperti pernah diingatkan dalam Pesan Ramadhan Vatikan, “Kemiskinan telah menodai dan merendahkan martabat manusia/kemanusiaan dan tidak jarang menjadi penyebab keterasingan, kemarahan bahkan kebencian dan hasrat untuk membalas dendam.” 

Betapapun kita benci terorisme, solusinya tak cukup dengan kutukan. Kita perlu menumpas akarnya dengan meningkatkan kualitas dan kecerdasan hidup secara berkeadilan. Diingatkan oleh H.G. Wells, "Sejarah kian jadi arena adu cepat antara pendidikan dan prahara."

***