Sketsa Harian [66] Buat Editormu Bergantung Kepadamu!

. Mintalah saran dan pendapatnya mengenai apa dan siapa yang harus kamu temui. Atau jika kamu sudah cukup punya nyali, ajukan saran peliputan yang akan kamu lakukan.

Jumat, 12 Juni 2020 | 06:31 WIB
0
280
Sketsa Harian [66] Buat Editormu Bergantung Kepadamu!
Ilustrasi memerintah (Foto: sahabatyatim.com)

Wahai jurnalis muda... sekalinya kamu hanya mengangguk dan mengiyakan apapun yang diminta editormu tanpa kamu memberi umpan balik kepada editormu, siap-siap gantungkan penamu, ponselmu, alat perekammu, kemudian mulailah buka lembaran hidup barumu sebagai blogger atau vlogger saja!

Provokasi? Ya, provokasi, biar kamu paham. Bahwa, jika otakmu berisi dan penuh dengan informasi mutakhir, latar belakang peristiwa, sejarah masa lalu yang serupa dengan peristiwa terkini, referensi yang kamu punya, niscata editormu akan segan kepadamu jika kamu memberinya umpan balik.

Dalam khasanah komunikasi umpan balik ini disebut "feed back" yang merupakan satu dari lima rukun wajib komunikasi; komunikator, pesan, komunikan, saluran, dan feedback. Ada yang memasukkan effect, coding, encoding, decoding dan seterusnya. Tetapi napas komunikasi di manapun kamu berada, ya lima itu.

Sayangnya, kamu tidak atau kurang memahami fungsi "feed back" saat membuka komunikasi dengan editormu atau siapapun atasanmu, sehingga kesannya kamu hanya komunikan yang pasif, yang dihajar pesan-pesan (yang sejatinya berbentuk perintah liputan/penulisan) dari editormu yang selalu berperan sebagai komunikator. Kamu menjadi subordinat semata, menjadi sekadar objek belaka.

Nah, jika kamu dapat memberi editormu umpan balik, peluangmu setara dengan editormu sangat besar, setidak-tidaknya setara dalam proses komunikasi sehari-hari. Peluangmu menjadi komunikator (yang tidak hanya sebagai komunikan), sama besarnya.

Kenapa saya memprovokasimu agar kamu setara dengan editormu dalam pekerjaan jurnalistik? Sebab pekerjaan jurnalistik itu pekerjaan dialektika, yang membutuhkan pemikiran. Pekerjaan jurnalistik bukan pekerjaan tukang di mana kamu berfungsi sebagai, maaf, jongos semata. No!

Ini pekerjaan intelektual, Bro. Tetapi jika kamu tidak berkutik terhadap editormu dan menerima begitu saja perintahnya tanpa dialektika, lalu apa bedanya dengan pekerjaan jongos?

Kok sarkas gitu, sih? Ya sarkas, memangnya kenapa?

Terus apa yang harus kulakukan? Apa aku harus melawan editor? Mungkin kamu bertanya begitu. Please, jangan naiflah. Melawan editormu merupakan cara bunuh diri tersendiri yang paling efektif. Bukan begitu caranya, Bro!

Ajaklah editormu berdiskusi tentang peliputan dan pengembangan suatu peristiwa yang akan kamu lakukan, berdialektika dengan editormu soal "why" dan "how"-nya sebuah peristiwa, beri editormu asupan informasi terkini, dan terakhir; buatlah editormu sangat bergantung kepadamu untuk semua liputan peristiwa yang kamu lakukan!

Caranya? Ya, isi kepalamu terlebih dahulu dengan pengetahuan sesuai bidang liputanmu, kemukakan pendapat narasumber terhebat yang baru saja kamu dapatkan, panas-panasi editormu dengan buku terbaru yang sesuai bidang liputanmu dan terutama menunjang peristiwa yang terjadi. Biarkan editormu bertanya, "Informasi apa lagi yang kamu dapatkan dari lapangan?"

Buatlah pertanyaaan ini sesering editormu bisa lakukan yang menandakan editormu sudah mulai bergantung kepadamu. Kalau editormu sudah bergantung seperti ini, niscaya dia tidak akan menyuruhmu sesuka hatinya seperti majikan menyuruh jongosnya. Kamu berdaya, kamu berwibawa, di depan editormu. Dengan apa? Dengan pengetahuan dan informasi penting yang kamu miliki, yang kamu dapatkan dari lapangan, yang tentu saja tidak dimiliki editormu.

Sekadar bocoran, saya mendapat suasana dialektika yang menyenangkan antara wartawan dengan editor tatkala bekerja di Harian Kompas. Keterbukaan antara editor dengan wartawan berlangsung secara mengasyikkan. Editor menjadi teman berdiskusi, bahkan berdebat. Berbeda pendapat dengan editor bukan barang haram, malah menjadi halal dan dianjurkan saat usulan tentang satu liputan dikabulkan, misalnya, editor sudah menganggapmu "seseorang".

Memang ada sejumlah editor yang kesannya tertutup dan angker, tetapi sesungguhnya mereka siap membuka percakapan asalkan kamu memulainya. Pekerjaan editor sudah sangat menumpuk, mungkin satu-satunya cara menghemat waktu dengan tidak terlalu banyak bercakap-cakap.

Tetap ingat kalimat kunci ini: "buat editormu bergantung kepadamu".

Bukan sekadar editor saja nantinya, tapi mungkin atasannya editor yang disebut redaktur pelaksana, atasannya redaktur pelaksana yang disebut pemimpin redaksi, atasannya pemimpin redaksi yang disebut pemimpin umum, bahkan sampai yang punya koran bergantung kepadamu, kepada bidang liputan harianmu.

Sebagai contoh, pada masa Gus Dur akan dilengserkan, saya pernah membuat yang punya koran bergantung kepada informasi yang saya dapatkan di Senayan. Yang punya koran hampir setiap hari menelpon untuk keperluan penulisan tajuk rencana, menggunakan ponsel Siemens S4 saya menjelaskan dengan santai di tengah-tengah liputan.

"Bung... Bung yakin Gus Dur jatuh?" tanyanya.
"Yakin, Pak!"
"Tapi 'kan menjatuhkan Presiden yang sah menyalahi konstitusi dan perubahannya ya, Bung?"
"Benar, Pak, tetapi konstitusi yang nyusun ya mereka-mereka juga, mereka yang mau Gus Dur jatuh. Ini proses politik, bukan seturut konstitusi."
"Baiklah kalau begitu, terima kasih ya, selamat bertugas!"
"Sama-sama, Pak."

Bayangkan, dialektika semacam itu bukan sekadar dilakukan seorang wartawan lapangan dengan editor, dengan redaktur pelaksana, dengan pemimpin redaksi, dengan pemimpin umum, bahkan dengan yang punya koran!

Jadi.... para jurnalis muda sekalian, jangan takut dengan editormu. Ajaklah dia bercakap-cakap untuk liputan yang akan kamu lakukan. Mintalah saran dan pendapatnya mengenai apa dan siapa yang harus kamu temui. Atau jika kamu sudah cukup punya nyali, ajukan saran peliputan yang akan kamu lakukan. Jangan kamu menutup diri.

Ingat, ya, kamu bukan jongos editormu!

***

Tulisan sebelumnya:  Sketsa Harian [65] "The Ten Commandments" of Journalism