Santri Perennial, Revitalisasi Genealogi Intelektual Pesantren

Tradisi intelektual itu terus dihidupkan dan diabadikan para filosof, para mistikus Muslim, para ahli fikih, ulama, yang membentang sekian abad lamanya.

Senin, 28 Oktober 2019 | 06:59 WIB
0
331
Santri Perennial, Revitalisasi Genealogi Intelektual Pesantren
Santri (Foto: Kumparan.com)

Menyebut "santri" tentu saja lebih berkonotasi budaya dan bukan agama. Tak pernah ditemukan istilah ini dalam sejarah agama manapun, kecuali terkait dengat budaya dan tradisi di Indonesia. 

Sulit untuk dapat menjelaskan kapan dan siapa yang pertama kali memberikan nama santri, kecuali istilah ini telah secara turun temurun menjadi istilah lokal yang mentradisi sekian lama dalam masyarakat Indonesia. 

Seorang peneliti Belanda, Karel Steenbrink, pernah menyinggung dalam bukunya, bahwa istilah ini terambil dari bahasa Belanda, "priesterschoolen" yang berarti "sekolah pendeta", sebab para santri adalah mereka yang belajar di dalam lingkungan pesantren, mirip seperti lembaga kependetaan di gereja. 

Istilah ini kemudian diserap ke dalam budaya Indonesia untuk menyebut mereka yang mempelajari agama Islam secara khusus dengan bimbingan seorang guru atau kiai dalam lembaga yang dinamakan pesantren. 

Perennial memang dipergunakan dalam istilah filsafat yang memiliki nilai "keabadian" secara ontologis, di mana setiap pengetahuan yang dimiliki manusia lahir dan ditularkan dari generasi ke generasi hingga saat ini. 

Filsafat perennial secara genealogis menularkan tradisi keilmuan secara terus menerus membentuk suatu tradisi mata rantai intelektual yang abadi. 

Seorang filosof Muslim yang pertama kali mempopulerkan istilah "filsafat perennial" adakah Ibnu Maskuyah (yang sering dieja "Miskawaih" w. 421/1030) yang tertuang dalam sebuah karya doksografi (kidung) yang berjudul "Jawidan Khirad" dalam bahasa Persia atau "Hikmah Khalidah" dalam bahasa Arab (Eternal Wisdom atau Philosophia Perennis). 

Namun, seringkali yang beredar di masyarakat bahwa gagasan perennis dipopulerkan pemikir Barat, Augustino Steuco dan Leibnitz pada abad XVI, padahal jauh sebelum itu para filosof Muslim terlebih dahulu memperkenalkannya kepada dunia.

Itulah kenapa, saya menyematkan istilah "perennial" kepada santri, sebab santri sejatinya para pemikir yang terus hidup, menghidupkan dan mengabadikan tradisi keislaman secara integral, ke dalam suatu jaringan mata rantai intelektual mengikuti tradisi yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad. 

Perennis-nya terletak pada genealogi intelektual yang tak pernah terputus, berada dalam lingkaran tradisi intelektual yang hidup secara turun-temurun. 

Tradisi intelektual santri adalah menghubungkan yang tradisional dengan yang kontemporer secara terus menerus. Seorang santri sejati tidak mungkin menutup diri dari mata rantai intelektualitas ini dalam segala sisi kehidupannya. 

Jika dulu Al-Kindi adalah maha guru para filosof muslim yang diikuti oleh para muridnya, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, sampai Ibnu Khaldun hingga kemudian lahir para pemikir tasawuf yang mensintesakan filsafat dan tradisi, menyebar ke seluruh dunia dan dikomodifikasi oleh para ulama diterima para kiai dan sampai kepada para santri, seolah hubungan-hubungan ini menjadi jejaring unik yang hampir tak pernah mati karena bersifat perennial.

Salah satu tokoh yang menghidupkan kembali perennialisme yang paling berpengaruh di dunia Islam kontemporer adalah Seyyed Hossein Nasr. 

Teorinya tentang tradisi sangat menarik, di mana ia ingin menghidupkan kembali tradisi yang "sakral" yang sejauh ini justru banyak disimpangkan atau bahkan ditutup oleh berbagai realitas modern. 

Menurutnya, tradisi merupakan suatu pengetahuan suci (scientia sacra) yang menjadi pusat dan meliputi seluruh lingkaran pemikiran suatu tradisi asal itu sendiri.

Ketika diajukan suatu pertanyaan, "dari mana pengetahuan itu berasal?", maka secara tradisional, pengetahuan berasal dari dua sumber yang kembar: pewahyuan (revelation) dan "intellection" atau "intellectual intuition" yang menerangi hati dan pikiran manusia, hadir secara langsung, dirasakan dan menjadi sumber pengalaman pribadinya. 

Tradisi ini yang harus terus dihidupkan (perennis) secara genealogikal, yang dalam tradisi Islam dikenal dengan istilah "'ilm al-hudluri" atau "pengetahuan yang hadir dan hidup".

Santri perennial berarti mereka yang senantiasa menghidupkan kembali tradisi pemikiran suci masa lalu, tanpa mengambil atau mengikuti secara membabi-buta alur pemikiran modern yang jelas terputus. 

Dalam tradisi pesantren, para ulama masa lalu memiliki epistemologi pemikiran "sakral"  yang harus diikuti atau minimal dihadirkan kembali oleh para santri dalam rangkaian kenyataan-kenyataan masa kini. Keistimewaan dari prinsip perennis adalah ketaatan terhadap lingkaran tradisi, yang hidup sejak zaman Nabi Muhammad. 

Terdapat nilai-nilai spiritual yang tak pernah kering, sebab tradisi intelektual Islam masa lalu, selalu merasakan dahaga akan "keabadian" yang transenden, yang bersifat ilahiah. 

Modernitas atau postmodernitas memutus dan menutup lingkaran tradisi sakral ini, namun tradisi pesantren berhasil membongkarnya dengan cara membangkitkan dan menghidupkan kembali rangkaian tradisi intelektual "suci" para ulama di masa lalu.

Namun demikian, benarkah santri sejauh ini hadir dalam lanskap pemikiran yang merajut kembali nilai-nilai tradisi sakral yang terputus? Atau minimal, tumbuh kesadaran bahwa tradisi pesantren yang dibangun melalui genealogi intelektual keulamaan---tidak hanya nusantara, tetapi juga transnusantara---tetap menjadi warisan tradisi intelektual yang direspon para santri milenial? 

Persoalannya, pesantren saat ini lebih cenderung memodernisasi dirinya, bahkan hampir dipastikan modernitas menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkungan pesantren. 

Modernitas tentu saja bukan hanya wujud penggunaan teknologi, tetapi bagaimana pola pendidikan pesantren seringkali mengadopsi cara-cara modern dengan meninggalkan sedikit demi sedikit aspek kesakralan tradisi yang bahkan dianggap ketinggalan zaman. 

Diakui maupun tidak, banyak persepsi yang terbangun di mana pesantren tradisional sudah tak lagi diminati, karena aspek tradisional seringkali dipahami secara negatif sebagai kekolotan dan keterbelakangan oleh sementara pecandu modernitas.

Di sisi lain, santri juga sebagian telah bertransformasi sebagai sosok intelektual modern---dalam pengertian pejoratif---bagaimana kemudian nilai-nilai Barat diadopsi secara intelektual dan bahkan cenderung mengagungkannya dibanding harus kembali kepada tradisi masa lalu dengan merangkai kembali epistemologi pemikiran Islam yang mengabadi dalam suatu "Tradisi Ketimuran". 

Istilah "ketimuran" bukan berarti kita mencontoh manusia-manusia yang hidup di negeri-negeri Timur, tetapi "Timur" merupakan analogi tempat di mana cahaya matahari pertama kali menyebarkan terangnya. 

Transformasi santri menjadi sosok intelek-modern, tidak seharusnya memilih cara-cara Barat, baik ideologi, pemikiran, atau metodologi, tetapi bagaimana nilai-nilai Ketimuran tetap dipertahankan sebagai tradisi sakral yang abadi.

Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa kecenderungan terhadap ide-ide Barat-Sekuler juga mulai diadopsi para santri modern, dan di sisi lain, memutuskan hubungan dengan genealogi tradisi sakralnya di masa lalu, sehingga tampak sangat kering nilai-nilai spiritualitas. 

Barangkali sebagai contoh, ketika ide-ide Barat, seperti multikulturalisme disuarakan, banyak yang ditelan mentah-mentah para santri dan bahkan "disakralisasi" menjadi hal yang harus diperjuangkan sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai doktrin keagamaan. 

Padahal, beberapa negara Barat justru menyesal karena ide multikulturalisme telah mengasingkan tradisi dan budaya lokal mereka sendiri, sedangkan di sisi lain hanyalah memperluas ideologi liberal yang justru berasal dari tradisi luar masyarakat lokal. 

Disadari maupun tidak, ide multikulturalisme di negeri kita seolah menemukan tempatnya dan bukan tidak mungkin diperjuangkan oleh mereka yang mengaku sebagai pewaris genealogi intelektual para ulama yang sangat kuat memegang tradisi sakral di masa lalu.

Padahal, santri merupakan penjaga tradisi sakral epistemologi Islam yang telah hadir dari sejak zaman Nabi Muhammad yang dihidupkan secara perennial dari generasi ke generasi. 

Tradisi intelektual itu terus dihidupkan dan diabadikan para filosof, para mistikus Muslim, para ahli fikih, ulama, yang membentang sekian abad lamanya. 

Santri harus tampil menjaga kesakralan tradisi, melalui intelektualitasnya yang mengabdi kepada warisan pemikiran Islam masa lalu, para salafussalih, yang pernah membesarkan Islam dalam cakrawala pemikiran dan peradaban dunia. 

Selamat Hari Santri Nasional, jadilah santri yang menginspirasi dan berdedikasi bagi ilmu pengetahuan dengan tetap setia berada dalam lingkaran kesakralan tradisi.  

***