Apakah Dinar dan Dirham itu Mata Uang Islam?

Beragama artinya memakai ajaran belasan abad yang lalu untuk hidup di zaman sekarang. Kenyataannya, banyak hal yang memang sudah tidak cocok, alias incompatible.

Selasa, 11 Juni 2019 | 22:34 WIB
0
702
Apakah Dinar dan Dirham itu Mata Uang Islam?
Dinar dan Dirham (Foto: Republika)

Itu sama seperti pertanyaan, apakah kuda dan unta itu kendaraan Islam? Lha, Nabi dan para sahabat memakainya. Apakah pedang itu senjata Islam? Nabi dan para sahabat memakainya. Seperti itulah status dinar dan dirham. Karena Nabi memakainya, keduanya dianggap mata uang Islam, dan karenanya harus dilestarikan sampai sekarang.

Padahal soalnya sederhana. Nabi pakai dinar (selanjutnya disebut dinar saja, agar ringkas) karena itulah yang tersedia di zaman itu. Sama halnya dengan kuda, unta, dan pedang tadi. Sebelum Islam semua itu sudah dipakai, dan tidak berubah setelah Islam ada. Bangsa lain, umat agama lain, juga memakainya.

Apakah Tuhan secara khusus memerintahkan manusia untuk memakai mata uang tertentu, atau alat tertentu? Tidak. Tuhan tidak mengatur pilihan-pilihan manusia tentang alat yang dipakai dalam hidupnya. Yang diatur adalah tata krama hidup. Dalam hal mata uang, diatur tata cara agar transaksi tidak merugikan satu pihak, menzalimi, atau merampas hak orang. Prinsipnya begitu. Teknis soal tata krama itu sendiri bisa berubah, karena teknis itu juga tergantung pada situasi.

Tapi memang ada orang-orang yang menganggap dalil-dalil agama itu harus diterapkan secara apa adanya sesuai yang tertulis. Orang-orang inilah yang kini mempromosikan dinar ini.

Dinar dianggap sebagai alat untuk melawan kapitalisme dan hegemoni Barat. Keduanya dianggap musuh Islam, sehingga harus dilawan.

Ini bukan gagasan baru. Belasan tahun yang lalu saya pernah menonton tayangan TV, almarhum Adi Sasono yang mempromosikan dinar. Adi Sasono ini adalah pemikir sosialis yang kemudian tercerahkan oleh Islam. Ia memang secara intrinsik anti kapitalisme, kemudian mencari solusi dari teks-teks Islam.

Adi Sasono menggambarkan kerugian pemakaian mata uang nominal (fiat money). Ilustrasinya, seseorang yang bepergian melintasi berbagai negara, harus menukarkan uangnya. Setiap kali ditukar, uangnya berkurang nilainya karena selisih kurs jual dan kurs beli. Setelah sekian kali melewati batas negara, uang itu akan habis tanpa dibelanjakan.

Baca Juga: Tips Memperoleh Uang melalui Internet

Kalau memakai dinar yang emas, penukaran itu tidak diperlukan. Emas berlaku di mana saja, kata Adi Sasono.

Sekilas terdengar indah. Tapi fakta sejarah menunjukkan bahwa mata uang intrinsik emas dan perak itu ditinggalkan. Itu bukan tanpa sebab. Sebab ia ditinggalkan sama seperti sebab manusia meninggalkan kuda sebagai alat transportasi, dan pedang sebagai senjata. Alasannya, karena ada yang lebih baik.

Mata uang intrinsik ditinggalkan karena sudah tidak lagi patut dipakai di zaman modern. Bahan bakunya semakin sulit didapat. Memecahnya menjadi unit yang lebih kecil juga repot. Membawa dan mengangkutnya juga repot, karena berat. Ketersediaan bahannya juga sudah tidak cukup untuk menampung nilai transaksi yang makin besar.

Kini kita bahkan sedang bergerak meninggalkan mata uang intrinsik, menuju mata uang digital. Coba perhatikan betapa makin jarangnya kita pegang uang. Saya hitung secara kasar, hanya seperempat dari penghasilan saya terpakai dalam bentuk uang kertas. Sisanya dipakai dalam transaksi digital: transfer dan e-money. Suatu saat nanti uang kertas hanya akan tersimpan di museum.

Lha, ini kok malah bergerak kembali ke mata uang intrinsik. Ibaratnya, orang berlomba mengembangkan tank dan pesawat tempur, situ ngotot mau pakai pedang. Bolehkah? Ya, silakan saja.

Agama adalah sesuatu yang hadir belasan abad yang lalu. Pandangan orang terhadapnya terbelah dua. Ada yang menganggap setiap detil ajaran harus dipertahankan. Ada yang menganggap hanya prinsip-prinsip dan ritual saja yang harus dipertahankan, yang lain boleh diubah.

Pandangan jenis kedua memang rawan inkonsistensi. Misalnya, bunga bank diharamkan, sedangkan fiat money boleh. Padahal kalau memakai prinsip bunga itu haram, maka fiat money juga seharusnya haram. (Penjelasan detilnya sudah pernah saya tulis.)

Beragama artinya memakai ajaran belasan abad yang lalu untuk hidup di zaman sekarang. Kenyataannya, banyak hal yang memang sudah tidak cocok, alias incompatible. Tapi karena keyakinan bahwa ajaran itu berlaku sepanjang zaman, maka dibuatlah pencocokan. Namanya ijtihad.

Semakin lama jurangnya akan makin lebar. Produk-produk pencocokan akan makin jauh dari narasi aslinya. Maka muncullah usaha-usaha untuk kembali, sesuai narasi asli. Itu akan jadi sesuatu yang muskil. Persis seperti muskilnya orang naik kuda di jalan tol.

Sekali lagi, Anda bebas memilih cara hidup, selama tidak mengganggu dan membahayakan orang lain. Naik kuda di jalan tol jelas berbahaya dan membahayakan. Saya memilih untuk naik mobil dan membayar dengan e-money.

***