Syamanisme, Surat dari Belanda

Artikel Hekker sepenuh mau menegaskan purifikasi dan asal-usul leluhur Bolaang Mongondow dari pengaruh luar manapun.

Kamis, 28 Juli 2022 | 12:31 WIB
0
190
Syamanisme, Surat dari Belanda
Syamanisme di Indonesia (Foto: wikipedia.org)

“Transisi adalah menjelajahi tulisan-tulisan, gerakan dan perkembangan-perkembangan suara-suara bermakna di dalam pemikiran kritis, karena suara-suara ini menentukan dan ditengahi oleh tindakan-tindakan penafsiran sastra dan budaya” (Julian Wolfreys, 2005).

Sekitar awal 90-an, setelah kembali dari Feriensommerkurs di Universitas Otto Friedrich Bamberg Jerman, saya mendapat kiriman surat dari seorang antropolog Belanda, Dr. Menno W.M. Hekker dan dilampiri monograf “Bijdragen” seri jurnal linguistik dan antropologi (DEEL 147 - 4e AFLEVERING 1991) dari KTLV.

Dalam terbitan junal tersebut termuat artikel Hekker ihwal “Vooroudercultus en Sjamanisme in Bolaang Mongondow” (Pemujaan Leluhur dan Pedukunan di Bolaang Mongondow).

Ketika Dr. Hekker datang kembali ke Manado, setelah ia merampungkan riset dalam artikelnya itu, saya tak berjumpa dengannya karena sedang studi di Jerman. Hekker sempat datang ke tempat tinggal saya di Jl. Maengket (dulu jalan ke Taman Budaya) Wanea Rike dulu untuk mewawancarai saya ihwal kebudayaan di Sulut, khususnya Kabupaten Bolaang Mongondow sebelum mekar.

Surat yang datang dari Dr. Hekker ini tertanggal Den Haag 4 Mei 1997, setahun setelah saya melonsing buku “Bolaang Mongondow: Etnik, Budaya dan Perubahan” (1996) sebagai hasil seminar “Kebudayaan Bolaang Mongondow” (1995) yang digagas bersama karib kerabat di Yayasan Bogani Karya, antara lain: Papa Dona Syahrial Damopolii, Firasat Mokodompit, Novie Mokobombang, Katamsi Ginano, Ridwan Lasabuda, Dullo Bakhs, Hamdi Gugule.

Gagasan untuk membikin seminar kebudayaan berawal dari diskusi kecil di pondokan mendiang KH. Arifin Assegaf ihwal “budaya Islam” di Bolaang Mongondow, menurut Kiai Assegaf, “seperti air di daun talas. Berkilau butir-butirnya, tapi rawan tergelincir.”

Perspektif metafora "air di daun talas“ telah mendorong saya untuk meluaskan gagasan itu bersama Firasat, Novie dan Katamsi dalam bentuk proposal. Mengingat Bupati Bolaang Mongondow waktu itu dijabat mendiang Drs. Syamsudin Paputungan, ayah menantu Novie Mokobombang dan Gubernur Sulut baru seumur jagung dijabat Letjen (Purn.) E.E. Mangindaan SIP.

Walhasil upaya kolaborasi di bawah Yayasan Bogani Karya bisa mewujudkan seminar pertama soal Kebudayaan Bolaang Mongondow yang meliputi empat eks-swapraja (Bolango, Mongondow, Kaidipang/Boroko, Bintauna) dan beberapa tokoh masyarakat dari eks-swapraja itu masih hidup. Di antaranya Abo Doti (Pontoh), C.J. Mokoginta, ayah kandung Sekda Bolmut(kini) dr. Jusnan Calamento Mokoginta, M.F. Manopo, S.I. Ointu (Bolango/Molibagu), Datungsolang dan beberapa cendekiawan seperti mendiang Prof. H.T. Usup, Dr. Hasyim Mokoginta, Prof. Kasinem, Berlian Manoppo, dan dari birokrat ada Arsjad Daud SH (Sekprov), Drs. Muda Mokoginta (kelak menjadi bupati menggantikan Drs. Syamsudin Paputungan) dan banyak lagi, maaf, tak bisa disebutkan.

Surat dari Belanda itu seperti mengingatkan bagaimana antropolog merangkap zendling W.Dunnebier yang lama bermukim di Passi dan merekam hampir seluruh produk kebudayaan eks-swapraja yang sejak akhir abad-19 ditakrifkan oleh Vollenhoven sebagai wilayah keadatan yang kelak dituliskan oleh Notosoesanto, ayah kandung mendiang Brigjen (Purn.) Nugroho Notosoesanto (Mendikbud,1983-1985) dalam buku “Adatrecht van Bolaang Mongondow.”(1933).

Beberapa buku W. Dunnebier, di antaranya "Verloven en Trouwen“ (1931), "Bolaang Mongondowse Teksten en Book“(1951), "Sprachkunst“ (1931) dan “De 'plechtigheid waterscheppen‘“ (1938) menjadi rujukan utama dan mutakhir. Namun, tak satupun buku Dunnebier dipakai Hekker untuk menulis "leluhur sjamanisme“ di Bolaang Mongondow.

Boleh jadi, menurut saya, Hekker kurang yakin obyektifitas Dunnebier karna berlatar belakang zendling yang umumnya tak mengindahkan tradisi leluhur setempat sebagai "kepercayaan lokal“ yang oleh Pastor Romo Rachmat Subagya disebut "agama suku“ (1981, Penerbit Sinar Harapan).

Dengan kata lain, artikel Hekker sepenuh mau menegaskan purifikasi dan asal-usul leluhur Bolaang Mongondow dari pengaruh luar manapun.

Ada anggapan ilmu antropologi abad-21 berada di fase transisi yang lebih menekankan pendekatan fusi "etik-emik“ bagi setiap primat kebudayaan lokal. Atau, antropologi sedang di alaf poskolonialisme dan kritik keras pada orientalisme E.W.,Said.

Akhirkalam, surat ini tak akan terdokumentasikan tanpa jasa besar Bupati Bolaang Mongondow (2001-2011) Dra. Hj. Marlina Moha Siahaan, Ibunda Boki Kolano in Totabuan, dan ibu kandung Aditya Moha SKed.

Mars, yang hari ini sedang menggirohkan tradisi leluhur dari medan politik yang nyaris beralih dari "molintak kon Totabuan“ ke "moratak kon Totabuan“ oleh para penjarah produksi dan reproduksi kebudayaan BMR, baik sebagai aset dan akses pribumi(the natives). Motobatu’. Bo mo‘o aheran.

ReO Filsawan

***