Jin Buang Anak

Kalau peribahasa "tempat jin buang anak" bisa dipidanakan, bagaimana nasib peribahasa-peribahasa lain yang merupakan kekayaan budaya berbahasa kita

Rabu, 2 Februari 2022 | 11:10 WIB
0
285
Jin Buang Anak
Ilustrasi IKN (Foto: historia id)

Alangkah riuh-rendahnya publik mempersoalkan metafora "jin buang anak".

Ada yang bertanya "mengapa jin kok buang anaknya? Apa dia gak sayang sama anaknya?". Untuk yang tidak paham diksi ini, perlu dijelaskan bahwa yang dibuang oleh jin itu bukan anaknya, melainkan anak manusia yang berhasil diculiknya.

Untuk lebih memberi pencerahan tentang hal ikhwal jin yang gemar menculik anak kecil saya sertakan posting screenshot bahasan tentang "wewe gombel" dan "genderuwo" di bawah ini.

Wewe gombel dan genderuwo adalah dua sejoli jin dalam mitos hantu di Indonesia. Wewe gombel yang berjender perempuan dan genderuwo yang berjender laki-laki termasuk hantu yang baik (dalam artian tidak menimbulkan penyakit atau kematian pd manusia).

Ciri khas keduanya adalah suka menculik anak kecil, khususnya anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya. Manakala orang tuanya panik mencari anaknya ke mana-mana, biasanya bocah ini diketemukan di tempat terpencil dakam keadaan selamat tapi linglung. 

Waktu saya kecil dulu juga sering ditakut-takuti orang tua bakal digondol genderuwo atawa wewe gombel kalo malam-malan masih sibuk bermain di luar rumah. Kebetulan di belakang rumah ada pohon beringin besar yang konon tempat bermukim jin ini.

Deskripsi sosok wewe gombel dan genderuwo persis seperti yang ditulis pada screenshot tadi.

Wewe gombel adalah jin perempuan yang merupakan jelmaan wanita yang bunuh diri karena suaminya selingkuh, genderuwo bersosok raksasa seperti monyet berbulu hitam kemerahan. Domisilinya di rumah kosong, di pohon yg rimbun, di bebatuan berair dsb.

Khususnya di Betawi, kepercayaan adanya jin yang hobi menculik anak kecil dan lalu dibuangnya di tempat-tempat yang sepi dan terpencil terekspresi pada metafora "jin buang anak".

Banyak wilayah pinggiran Jakarta yang dahulu kala mendapat predikat "tempat jin buang anak", seperti di Ancol, Depok dsb. Dan metafora ini sama sekali tidak bernuansa rasis, peyoratif atau merendahkan. 

Baca Juga: Akhir Petualangan Edy Mulyadi KM 50, Kuntilanak, Gendruwo dan Meong

Oleh karenanya cukup mencengangkan bahwa perumpamaan "jin buang anak" ternyata membuat sejumlah orang marah dan murka. Mereka marah karena sukunya disamakan dengan jin.

Mereka marah karena wilayahnya disamakan dengan tempat tinggal para jin. Padahal secara kontekstual dan semantik kesimpulan itu keliru sama sekali.

Kalo peribahasa "tempat jin buang anak" bisa dipidanakan, bagaimana nasib peribahasa-peribahasa lain yang merupakan kekayaan budaya berbahasa kita?

***