Kini putra bungsu dari Oei Tiong Ham yang bernama Oei Tjong Tjay yang meneruskan bisnis sang ayah, namun pusat bisnisnya kini berpindah ke Belanda bukan lagi di Indonesia.
Sejak masa pemerintahan Kaisar Wang Min tepatnya pada era Dinasti Han sudah banyak masyarakat Tionghoa yang berdagang ke Nusantara. Menurut catatan hubungan baik antara Tiongkok dan Jawa mulai terjalin sejak 131 SM, dimana warga Tionghoa biasa menyebut Nusantara dengan sebutan Huang-Tse.
Pada awalnya hanya kaum pria Tionghoa yang merantau ke Nusantara, mereka tidak mau ambil resiko dengan berkelana mengajak istri dan anak mereka. Merantau ke Nusantara banyak pria Tionghoa yang mulai menikah dengan wanita lokal sehingga mulai banyak peranakan Tionghoa di Indonesia.
Oei Tjie Sien menjadi salah satunya, pria asal Fukien, China tersebut bermigrasi ke Semarang pada akhir tahun 1800an, dirinya kemudian menikah dengan wanita peranakan Jawa. Datang ke Nusantara Oei Tjie Sien langsung melihat prospek bisnis dan akhirnya memulai bisnis gula yang diberi nama Kian Gwan.
Ketika usianya mulai menua, Oei Tjie Sien, mewarisi usaha gula tersebut kepada anaknya yang bernama Oei Tiong Ham yang ketika itu masih berusia 19 tahun. Keuletan dari Oei Tiong Ham berhasil membuatnya menjadi konglomerat pertama di Asia Tenggara berkat usaha gula tersebut.
Perlahan bisnis gula dari Oei Tiong Ham gurita bisnis yang sangat besar, pada tahun 1880 dirinya berhasil mengakuisisi lima pabrik gula. Kelima pabrik itu antara lainnya PG Rejoagung, Krebet, Ponen dan Tanggulangin yang semuanya terletak di Jawa Tengah, kampung halaman dari Oei Tiong Ham.
Pada perjalanan bisnisnya, Oei Tiong Ham merubah nama perusahaan menjadi Oei Tiong Ham Concern (OTCH) yang semakin hari omsetnya semakin bertambah besar. Dirinya bahkan mulai melebarkan sayap bisnisnya dengan export produk ke sejumlah negara mulai dari Thailand, India, China bahkan sampai Inggris dan Amerika Serikat.
Tak cukup puas dengan bisnis gula, Oei Tiong Ham mulai merabah bisnis lain seperti hasil bumi lainnya yang membuat dirinya menjadi orang terkaya di Asia Tenggara. Kala itu keberhasilan dari Oei Tiong Ham tidak lain karena kedekatannya dengan penguasa Kolonial Belanda serta dirinya mampu berbaur dengan masyarakat sekitar.
Menurut cerita para tetua di Semarang, Oei Tiong Ham yang memiliki ibu asli Semarang itu suka membantu masyarakat sekitar yang sedang mengalami kesulitan. Dirinya juga mau melatih warga sekitar agar bisa bekerja di perusahaan gula miliknya dan mendapatkan upah yang layak sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Oei Tiong Ham juga peduli dengan perkembangan industri teknologi, dimana pabriknya menjadi yang pertama kali menggunakan teknologi elektrifikasi. Bahkan banyak teknisi asal Eropa yang didatangkan untuk bekerja di pabrik gula milik Oei Tiong Ham, karena ketika itu pendidikan di Indonesia masih terbatas.
Konglomerat pertama di Asia Tenggara itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Singapura pada 6 Juni 1924 akibat serangan jantung. Ketika itu Oei Tiong Ham meninggalkan harta sebesar 200 juta Gulden Belanda, sebuah warisan yang cukup fantastis bagi anak dan cucunya.
Kini putra bungsu dari Oei Tiong Ham yang bernama Oei Tjong Tjay yang meneruskan bisnis sang ayah, namun pusat bisnisnya kini berpindah ke Belanda bukan lagi di Indonesia. Pada tahun 1961, pemerintah Indonesia telah menyita dan mengambil alih seluruh aset milik OTCH dan kemudian membentuk BUMN bernama PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Perjalanan yang bisa diteladani dari Oei Tiong Ham bagaimana keuletannya mampu menaklukkan Asia Tenggara dan menjadi macan ekonomi. Kepedulian terhadap warga tanpa pandang bulu juga menjadi kekuatan bagi Oei Tiong Ham dalam membangun bisnisnya menjadi besar.
Oleh : Sony Kusumo
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews