Catatan Biasa Orang Biasa [6] Dahana Meledak, Kambing Digendong

Dahana adalah pionir industri bahan peledak di Indonesia. Berawal dari proyek Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) 1966 yang dikenal dengan Proyek Menang, berlokasi di Tasikmalaya.

Minggu, 27 September 2020 | 05:27 WIB
0
573
Catatan Biasa Orang Biasa [6] Dahana Meledak, Kambing Digendong
Ilustrasi ledakan (Foto: kompas.com)

Dalam rentang waktu 1975-1976, di Tasikmala sedang tren “balap motor trail” (motocross) dan gokart. Lokasinya di Lanud Cibeureum yang sekarang bernama Lanud Wiriadinata. Berada di sebelah timur sekolah saya, SD Angkasa. Jalan menuju lapangan itu persis berada di belakang sekolah, hanya terhalang pagar kawat. Sama-sama berada dalam kawasan TNI AU.

Kami menyebut lapangan terbang itu sebagai “Starban”. Entah mengapa disebut begitu. Biasanya aksi puluhan motor trail berlangsung hari Minggu. Para guru SD Angkasa mendapat keistimewaan, bisa menyaksikan pergelaran itu tanpa harus membeli tiket masuk. Saya sering merajuk dan Bapa pun mengantar ke Starban.

Warga Tasik menyemut di lapangan terbang itu. Untuk laga motor trail, tanah berumput dijadikan lintasan berkelok-kelok. Sejumlah gunungan dibuat sebagai rintangan. Juga terdapat beberapa kubangan, sehingga tampak lebih “dramatis”. Lumpur mengotori motor dan seluruh pakaian pembalap. Sedangkan untuk lintasan gokart, memakai landasan lanud beraspal. Kala itu di Tasikmalaya memang belum tersedia sirkuit untuk digunakan kegiatan otomotif seperti itu.

Para pembalap datang dari berbagai kota. Salah seorang pembalap favorit warga Tasik ketika itu adalah Samsul Maarif. Tempat tinggalnya tidak jauh dari pintu gerbang menuju Starban (Pos PAU). “Si Samsul aya euy, alus wae si eta mah,” begitu dialog kanak-kanak kami di sekolah esok harinya. Kelak, belasan tahun kemudian, pembalap bertubuh tegap berkulit putih itu menjadi senior saya, sama-sama sebagai wartawan Pikiran Rakyat.

Keasyikan menikmati hiburan otomotif secara berkala itu, seketika harus berhenti. Pasalnya, pada suatu sore di bulan Maret tahun 1976, saya lupa lagi hari dan tanggalnya, sebuah ledakan besar menggelegar beberapa kali dari arah selatan Kampung Sindangmulih.

Getarannya sangat terasa. Rumah ngariyeg (bergoyang) seperti saat terjadinya gempa bumi.
Warga berhamburan ke luar rumah dalam keadaan masih bingung, karena belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Beberapa waktu kemudian ada pemberitahuan lewat radio dan beberapa orang yang mengabarkan terjadinya ledakan di pabrik bahan peledak PT Dahana. Pabrik tersebut berada di sebelah utara Lanud Cibeureum. Sejauh itu belum diketahui penyebabnya.

Menjelang magrib, iring-iringan warga mulai berdatangan dari arah selatan kampung. Rupanya mereka adalah warga kampung sekitar PT Dahana yang mengungsi karena rumahnya jadi korban ledakan atau khawatir jadi korban jika ada ledakan susulan. Mereka antara lain dari Kampung Sindangkasih, Cintapada, dan Cihaji. Sedangkan kampung saya berjarak sekitar 4 km dari pusat ledakan.

Ketika malam tiba, iring-iringan itu berjalan menggunakan obor dan alat penarangan lainnya. Saya bayangkan, mungkin seperti itulah dulu warga yang mengungsi saat berkecamuknya pergolakan di zaman perang. Puluhan warga, terutama kerabat, yang menjadi korban ledakan menempati rumah-rumah di kampung kami. Begitu juga rumah keluarga saya. Lebih dari sebulan lamanya mereka tinggal, sambil menunggu perbaikan yang langsung ditangani pihak Dahana. Kerusakan rumah mereka beragam. Ada yang hanya kacanya berantakan, ada pula yang rumahnya rusak berat.

Kejadian lucu

Teman saya, Pepih Nugraha mengatakan suara ledakan terdengar hingga tempat tinggalnya di Ciawi Tasikmalaya, yang jaraknya sekitar 30 km dari tempat kejadian. Sementara Kang Saamsul Maarif mengisahkan bagaimana paniknya saat itu. Keluarga besarnya paburencay, terpisah. Semua kaca rumahnya hancur. Tembok beton sebesar pohon kelapa teronggok di depan rumahnya, entah berasal dari mana. Dia melihat langsung asap membumbung tinggi serupa jamur. Pada malam harinya masih terdengar ledakan.

Diketahui kemudian puluhan orang terluka ringan dan berat. Ratusan rumah rusak ringan dan parah. Asrama di dekat PT Dahana, yang sering disebut Gedong Papak, benar-benar rata dengan tanah. Beberapa teman SD saya tinggal di situ, alhamdulillah semuanya selamat. Entah apa jadinya jika material ledakan yang mengandung api, melesat hingga ke Depo Pertaminan di Cicurug yang jaraknya kurang dari 1 kilometer sebelah barat PT Dahana. Tentu ceritanya menjadi lain.

Dalam kepanikan, tak jarang muncul kelucuan. Beberapa warga yang mengungsi –terutama kaum ibu- menangis kencang sambil menggendong perabotan dapur dengan kain, sementara anaknya yang masih kecil dituntun setengah diseret. Ada pula yang menggendong anak kambing, sambil kebingungan mencari anaknya.

Sekolah pun diliburkan lebih dari sepekan. Setelah keadaan dinyatakan benar-benar aman, kegiatan belajar mengajar dibuka lagi. Sebelumnya, saya ikut Bapa meninjau kondisi sekolah. Kaca-kaca banyak yang hancur, tembok retak-retak, genting-genting berserakan dan langit-langit di sejumlah kelas ambrol.

Di tengah suasana seperti itu, muncul gosip murahan tapi juga rada jenaka. Ledakan di PT Dahana itu, katanya, terjadi karena ada pembalap motor trail dan gokart yang tidak mau menerima kekalahan. Lalu mereka murang-maring, melampiaskan kekecewaannya dengan meledakan pabrik bahan peledak tersebut.

Menurut catatan, Dahana adalah pionir industri bahan peledak di Indonesia. Berawal dari proyek Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) 1966 yang dikenal dengan Proyek Menang, berlokasi di Tasikmalaya. Pada 1973 menjadi Perusahaan Umum Dahana dan ditetapkan sebagai Perusahaan Perseroan pada 1991.

Barang dan jasa Dahana digunakan setiap hari oleh berbagai industri di Indonesia, dari sektor pertambangan umum, konstruksi, serta minyak dan gas. Pada 31 Januari 2017 Dahana secara resmi merelokasi pabriknya ke Kawasan Energetic Material Center (EMC), Kabupaten Subang. Kini menjadi salah satu badan usaha milik negara (BUMN) di bidang industri strategis.

***

Tulisan sebelumnya: Cerita Biasa Orang Biasa [5] Belajar Ngaji dan Kitab Kuno