Mimpi Buruk Kebebasan Pers

Harus ada ancaman hukum yang ‘ditakuti’ oleh siapapun atau lemabaga manapun yang menyebarkan berita yang tidak benar.

Minggu, 5 April 2020 | 19:00 WIB
0
332
Mimpi Buruk Kebebasan Pers
Ilustrasi pers dibungkam (Foto: kompasiana.com)

Demokrasi, kebebasan pers, dan kemajuan teknologi informasi adalah tiga variabel yang masing-masing bernilai positif dan seharusnya bernilai positif. Itu jelas tidak perlu diperdebatkan. Tapi ketika tiga variabel itu berkombinasi atau terjadi pada saat yang bersamaan di negara berkembang yang notabene penduduknya belum sepenuhnya civilized, dan satu variabel dengan yang lainnya saling berkaitan, justru menjadi mimpi buruk.

Ya mimpi buruk tentang terpuruknya industri media dari segi bisnis, kualitas (akurasi) berita yang sangat rendah, media yang secara terang-terangan menjadi alat propaganda politik, tidak jelasnya definisi institusi media dan tanggung jawabnya, penegakkan keadilan terkait pemberitaan yang sangat lemah, serta pengawasan yang nyaris tidak ada.

Celakanya, ketika media menjadi alat propaganda politik, para pihak yang terlibat dalam kegiatan itu bukan hanya jurnalis yang mencari nafkah untuk makan, tapi juga orang-orang yang berkecukupan, birokrat tingkat tinggi, bahkan kaum cendikia berpendidikan sangat tinggi.

Ketidakpuasan atas realita dan dendam politik dari kelompok-kelompok tertentu telah membajak media menjadi saluran ekspresi kebencian. Boleh saja otak mereka berlabel doktor atau bahkan profesor, tapi tidak hatinya.

Tentang mengapa, secara umum kualitas jurnalis dan berita dewasa ini jauh menurun dibanding dua dekade lalu, sudah dijelaskan pada tulisan terdahulu.

Bahwa faktanya saat ini zaman tidak berpihak pada industri media, tidak menjadikan jurnalis sebagai profesi pilihan yang prestisius, itu satu persoalan. Tapi menegakkan ‘Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia’ dari dampak keberadaan pers adalah keniscayaan. Tidak boleh ada orang atau pihak yang dirugikan oleh adanya pers yang bebas, apalagi masyarakat secara keseluruhan.

Menegakkan keadilan terkait aktivitas pers harus dilakukan dengan instrumen hukum manapun yang bisa digunakan. Jika tidak, maka pers akan menjadi variabel negatif, buruk, kejam, menyulitkan, mengancam, merusak, menyakiti. Jika menegakkan keadilan terkait aktivitas pers tidak dilakukan, maka produk-produk jurnalistik akan menjadi racun. Ada orang yang suka meminumnya atau tidak, itu harus dijauhi.

Di beberapa ruas jalan di Jakarta, hampir setiap pagi terjadi pelanggaran lalu lintas secara berjamaah. Untuk bisa sampai ke tempat tujuan tepat waktu, ratusan hingga ribuan sepeda motor, bahkan juga mobil, melaju melawan arus. Mereka tidak peduli dengan hak orang lain yang tidak melanggar peraturan, yang juga memiliki kepentingan yang sama: sampai ke tempat tujuan tepat waktu. Boro-boro mempertimbangkan peraturan lalu lintas.

Karena mereka melakukan tindakan salah secara bersama-sama dan pada waktu bersamaan, mereka tidak merasa melakukan kesalahan. Mereka yakin tidak akan ditindak dan diproses hukum oleh aparat. Menghadapi kejadian seperti itu, dan hampir rutin terjadi setiap hari, menjadi tidak mungkin bagi aparat untuk menangkap dan memproses hukum satu per satu.

Tindakan mereka sudah seperti impunitas, seolah kebal hukum karena kesalahan dilakukan oleh orang banyak. Seperti amuk massa dan penjarahan di Jakarta dan beberapa kota lain tanggal 14 – 15 Mei 1998 (Tragedi Mei ’98). Satu-satunya tindakan yang bisa dilakukan untuk menghentikan aksi berjamaah itu tindakan represif, dengan kekuatan memaksa secara fisik. Kejadian semacam itu tidak menunjukkan mereka sebagai bagian dari masyarakat beradab, madani.

Baca Juga: Protes untuk Media Pewarta yang Lebay

Kesalahan dalam pemberitaan yang dilakukan oleh jurnalis, oleh media secara berjamaah, berulang-ulang, dan tidak ada tindakan penegakkan keadilan terhadap media, maka itu sudah layak dipadankan dengan kejadian di atas: ribuan orang berkendara melanggar peraturan lalulintas secara bersamaan, atau seperti massa yang beramai-ramai menjarah dan membakar toko pada Mei 1998. Hellooo ... pers dan media adalah salah satu pilar demokrasi. Pers dan media adalah agent of excellent, agent of development, burung kicau yang mengabarkan pagi. Ah ... ini sama sekali tidak.

Ini harus segera dihentikan, sebelum produk jurnalistik distigma jadi buram, menyesatkan, mematikan. Sekali lagi, menegakkan ‘Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia’ dari dampak keberadaan pers adalah keniscayaan. Jawabannya, harus ada yang ditakuti oleh siapapun yang terlibat dalam kegiatan jurnalistik dan kemediaan: hukum, hukum yang dijalankan.

Dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Bab VIII Ketentuan Pidana, Pasal 18, ayat 1, berupa ancaman pidana maksimal 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta bagi siapapun atau institusi manapun yang menghambat tugas jurnalistik oleh pers atau media. Sementara ayat 2 dan 3 yang ditujukan pada perusahaan pers yang melanggar, ancaman hukumannya berupa denda Rp500 juta dan Rp100 juta.

Bab ini sejatinya aneh, disebut Ketentuan Pidana. Untuk Ketentuan Pidana, harusnya ada lembaga negara yang begitu tahu ada pelanggaran dalam pemberitaan pers, langsung menangani dan memprosesnya. Seperti halnya polisi, begitu tahu ada tindak pidana, langsung bergerak menangkap pelakunya, lalu memprosesnya sesuai hukum. Ini kan tidak.

Katakanlah Kemenkominfo, lembaga pemerintah (negara) yang disepakati berkompeten memelototi pemberitaan pers, kan tidakl melakukan seperti yang dilakukan polisi, langsung bergerak. Karena delik pidana harus diproses sekalipun tanpa aduan pihak yang dirugikan. Tapi, bagaimana bisa mencermati ribuan berita per hari yang dibuat oleh ribuan ‘media’?

Sebenarnya, UU itu sudah memadai. Jika dijalankan, akan efektif menekan angka kesalahan oleh perusahaan pers. Tapi, sejak UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 diberlakukan pada tahun 1999 sampai sekarang, tidak satu pun perusahaan pers yang dikenakan hukuman denda Rp500 juta. Padahal, sudah tak terhitung berapa banyak pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pers, terutama terkait dengan pemberitaan.

Selain itu, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, disarankan mengadu ke Dewan Pers ketimbang lewat jalur hukum. Persoalannya, tindakan pers berupa pemberitaan yang dianggap merugikan oleh seseorang, kelompok, atau lembaga, itu sifatnya sudah terjadi, past participle.

Sementara, hasil mediasi oleh Dewan Pers biasanya mengharuskan perusahaan media minta maaf dan mengoreksi beritanya. Iya kalau yang buat berita itu perusahaan pers, ada wartawannya, ada kantornya, ada perusahaannya. Kalau media yang membuat berita itu tidak jelas? Tidak ada alamat kantornya, siapa saja wartawannya, siapa penanggungjawabnya. Gimana?

Sekarang, ‘mendirikan’ media semudah membuat akun di media sosial, bisa dilakukan siapapun dengan satu laptop dari kamar kos. Bagaimana Dewan Pers memediasi kasus-kasus pelanggaran oleh media kalau medianya gak jelas kayak gitu?

Jadi, meskipun berat, bagaimana Pemerintah menerapkan dengan lebih bersungguh-sungguh UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Agar subyek pers atau perusahaan pers menjadi jelas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang itu. Mendefinikan ulang apa itu lembaga pemberitaan, apa hak dan tanggungjawabnya. Di luar definisi itu bukan lembaga pemberitaan (media).

Terhadap subyek yang menyebarkan berita atau informasi, namun bukan lembaga pemberitaan, jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh berita yang disebarkannya, (bila perlu) publik bisa menempuh jalur hukum. Bisa memakai pasal-pasal di KUHP atau UU ITE.

Intinya, harus ada ancaman hukum yang ‘ditakuti’ oleh siapapun atau lemabaga manapun yang menyebarkan berita yang tidak benar. Tujuannya, agar berita yang diterima publik menjadi lebih akurat, bisa dipertanggungjawabkan, dan jelas siapa penanggungjawabnya. Agar media tidak menjadi ladang narasi kebencian.

***