Melihat Kebrengsekan Elite

Memangnya kalau Jokowi berusia 58 tahun, Indonesia kudu adil-makmur? Lha, bagaimana ihwalnya, ketika Prabowo kini sudah berumur 68 tahun, Indonesia belum adil-makmur juga?

Kamis, 27 Juni 2019 | 21:04 WIB
0
356
Melihat Kebrengsekan Elite
Nurul Qomar (Foto: Liputan6.com)

Ada tiga elite di Indonesia yang akhir-akhir ini harus melewati satu proses disclaimer. Penyangkalan atau penolakan itu, lebih karena persoalan nilai-nilai ideal, kadar moralitas, dan integritas mereka.

Tak perlu ngamuk jika bukan bagian dari mereka. Dalam budaya paternalistik, kita melihat yang terburuk dalam proses transformasi; adalah soal keteladanan. Pada jaman post truth ini, nilai-nilai kemuliaan dalam teori dan praksis demokrasi, harus dipertanyakan ulang.

Demikian juga berkait nalar dan moral akademik dari orang yang makan sekolahan dengan berbagai predikatnya. Dan last but not least, kaum agamawan dari yang sekedar rubuh-rubuh gedang, maupun sampai yang pakar, tukang syiar, atau pun disebut alim-ulama. Menteri Agama masuk bui karena korupsi, pun kita punya.

Bisa jadi apa yang mereka pikirkan dan lakukan benar adanya. Tapi, benar menurut siapa? Di situ persoalannya; tiadanya kebijaksanaan.

Bukan sekedar wishes of wisdom, melainkan kewaskitaan, kepekaan dalam mengukur dampak dari semuanya. Apalagi kalau di dalamnya tersimpan kepentingan, tendensi. Hingga muncul manipulasi, ketidaktulusan, ketidakjujuran. Bahkan pemutarbalikan yang berujung pada ujaran kebencian serta fitnah.

Sayangnya, contoh seperti itu mudah kita lihat dari mereka yang menolak Jokowi, sebagai presiden. Banyak bisa kita sebut di sini siapa mereka. Anda para fesbuker mungkin punya stock nama buanyak buangeti. Tak perlu kita ulang, nanti dikira pencemaran nama baik. Padahal sama sekali, memang, tak punya nama baik.

Dalam dua kali pilpres, kita merasakan hal itu. Bahkan, yang terakhir 2019 ini, lebih parah karena politisasi agama yang menonjol. Siapa memanfaatkan, siapa dimanfaatkan, bisa dilihat. Dari ijtima ulama, kemudian komando yang berbeda di ujungnya; Prabowo bilang tak perlu menggerudug MK dalam putusannya hari ini. Tapi Rizieq Shihab ngomong agar mendatangi MK. Halalbihalal di depan Gedung MK. Salah satu komandan lapangannya bilang, bukan membela siapa, melainkan membela agama.

Nah, iya kan, politisasi agama? Memang agama salah apa, kok dibela? Memang agama lemah-lunglai, kok dibela? Memang agama tidak meyakinkan, kok dibela? Ini debat kusir soal persepsi dan perspektif atas nama kepentingan. Kalau BW ngomong atas ketidaklengkapan bukti-bukti maka Allah akan melengkapinya; Bijimana kalau MK juga bilang, “Karena sudah dilengkapi Allah, maka keputusan KPU memenangkan Capres 01 adalah sah!” Bijimana, cobak? Nggonduk ‘kan Mbang?

Kita seperti berada dalam novel ‘jalan tak ada ujung’ Mochtar Lubis, atau dalam lakon ‘sumur tanpa dasar’ Arifin C. Noer. Sampai kapan? Sampai goblog nggak ketulungan?

Jokowi adalah bagian dari eksperimen politik rakyat, dalam melawan dominasi kebrengsekan elite politik kita. Moralitas Jokowi muncul dari energi para relawannya. Mereka jauh lebih solid dan militan, dibanding infrastruktur partai yang terbukti macet dalam Pemilu Serentak ini. Dalam Pilpres 2014 dan 2019 terbukti, Jokowi dimenangkan oleh perjuangan berdarah para relawannya. Sementara banyak parpol, koalisi maupun oposisi, mendompleng popularitas Jokowi.

Istilah “People Power” sebagaimana ditulis dalam buku Bimo Nugroho dan M. Yamin (yang disalahgunakan Amien Rais dengan persepsi politiknya ketika dipanggil Bareskrim dalam isu ‘people power’-nya), adalah gerakan rakyat yang mendukung Jokowi habis-habisan. Kebuntuan Reformasi 1998 yang dibajak para elite kita (partai politik, akademisi, dan agama), menemukan personifikasi pada sosok Jokowi.

Jokowi anti-tesis yang bukan tidak dipersiapkan oleh civil society, yang capek dengan kebrengsekan elite. Disclaimer atas Prabowo, yang tak bisa dilepaskan dari personifikasi Orba dan Militer, mendapatkan sumbunya di sini.

Terus kalau misal Jokowi menawarkan rekonsiliasi dengan kubu Capres 02, buat apa kontestasi politik adu gagasan itu, sampai perlu ada cebong dan kampret? Bagaimana kalau Fadli Zon jadi Menkominfo, terus kemudian nyinyir nyebar hoax mulu? Bukannya Jokowi bakal kena getahnya?

Meski pun kita juga skeptis, oposisi yang tidak bermutu juga kehilangan relevansinya. Misal, lagi-lagi kenyinyiran Fadli Zon, ketika Jokowi ultah yang ke-58, ucapan Zon adalah; “Bahwa dalam usia 58 tahun itu, Jokowi harus ingat masih banyak rakyat yang miskin, menderita, ditindas,...”

Memangnya kalau Jokowi berusia 58 tahun, Indonesia kudu adil-makmur? Lha, bagaimana ihwalnya, ketika Prabowo kini sudah berumur 68 tahun, Indonesia belum adil-makmur juga?

Mari goblog-goblogan. Atau mari bersedih bersama, karena Qomar ternyata serius lucu. Menjadi rektor dengan S2 dan S3, yang ternyata bener-bener dingin kayak es. Dan cepet lumer!

***