Paranoid pada Conblock "Salib Puthul"

Selasa, 22 Januari 2019 | 07:18 WIB
0
679
Paranoid pada Conblock "Salib Puthul"

Puthul itu kosa kata bahasa Jawa yang makin jarang digunakan. Puthul ndase itu digunakan untuk menyebut orang yang kehilangan akal sehatnya. Puthul rejekine itu sangat dekat dengan orang yang lagi kesulitan mencari dan memperoleh penghaslan. Orang Jawa menyebut dengan simpatik: wong sing lagi angel sandang pangane.

Dua kata "paling agung" yang sebenarnya hari ini justru menempati prioritas kebutuhan yang paling murah harganya. Sedemikian murahnya sandang pangan itu, sehingga kalau beras naik seribu perak saja: maka koor emak-emak akan sangat keras terdengar.

Seorang teman saya yang sarjana lulusan Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian di Institut Pesantren Bogor. Sedemikian membencinya pada Jokowi, sehingga terus menerus mencela program impor beras Jokowi. Ia mencela katanya swasembada, tapi kok impor. Ia lupa bahwa yang terpenting adalah menjaga stabilitas harga dan stock pangan. Apa artinya swasembada, kalau malah harganya dimainkan oleh para tengkulak? Petani tetap miskin, tengkulak makin berjaya.

Mungkin cara berpikir kurang berimbang inilah, yang jadi trend para intelektual dan kelas menengah belakangan ini. Mereka tidak cukup pandai dan rajin menulis (apalagi panjang, dan jangan harap argumentatif). Tapi selalu ingin bersuara, ingin terdengar (tapi hasilnya justru keras dan pekak), terkadang maksa orang lain terus mendengar lagi. Sejenis TOA itu...

Persamaan kata puthul dalam bahasa Jawa itu tugel. Keduanya menyiratkan tidak sengaja terjadi. Puthul lebih tegas dibanding tugel. Apa yang puthul tak bisa lagi utuh. Apa yang tugel masih bisa diperbaiki. Puthul pesudulurane ini menyiratkan kesedihan ketika persaudaraan yang selama ini dijalin harus berakhir. Sinonim lainnya tentu saja kata "putus".

Di televisi ada sitkom brengsek "Katakan Putus", sebuah acara melodrama yang melulu mengeksploitasi cerita selingkuh di kalangan pasangan muda. Saya selalu bilang Jakarta itu pantas "ditenggelamkan", karena nyaris tanpa jeda waktu memproduksi acara-acara sampah seperti ini. Dalam bahasa Jawa yang lebih halus kata "putus" lebih bermakna selesai atau bahkan berhasil.

Eyang saya, selalu menyambut gembira ketika saya naik kelas dengan kata "ujiane wis putus". Ketika beliau menang lotre atau buntut, Beliau akan ngendika: "Kakung buntute putus. Nyuwun dipundutke apa?". Jika dibaca dalam bahasa Indonesia tentu akan aneh! Buntut kok putus? Tentu saja saya besar dalam "tradisi buntut", tradisi undian berhadiah dengan menebak nomer.

Apa yang hari-hari ini dianggap haram. Padahal itu tak lebih kesenangan yang tak ada dalam sejarahnya membuat ekonomi rumah tangga goyang. Ia sejenis harapan kecil yang dipertaruhkan untuk membuat hati senang. Saya abadi percaya: rokok jauh lebih berbahaya dibandingkan beli nomer buntut...

Dan lalu hari-hari ini, ruang publik kita dipenuhi wacana "salib puthul". Salib kok puthul? Ketika saya pergi ke Amsterdam, saya sempat berfoto di depan sebuah gereja tua yang berubah jadi kompleks pertokoan. Tidak tepat benar toko sesungguhnya, karena isinya para pedagang barang bekas yang saling berbagi tempat. Saya sedemikian sedih dan tak habis mengerti bagaimana mungkin itu terjadi? Lalu saya berfoto "ndepaplang", membentangkan tangan macak Jesus disalib!

Sial sampai itu saya jadikan foto profile, tak ada satu pun orang yang cukup cerdas memahaminya. Malah dianggap seperti orang cari mati berfoto di tengah jalan....

Nah, kalau di Eropa terjadi degradasi iman yang sedemikian parah, orang makin agnostis dan menanggalkan agamanya. Di sini, di Indonesia ini, mereka yang mendaku mayoritas rame-rame melarang umat Kristiani ke gereja. Nyaris tanpa henti berita, upaya anarkis yang mencegah orang-orang2 non-muslim melaksanakan syariat agama mereka.

Mereka selalu dicurigai melakukan "kristenisasi", bahkan untuk hal-hal yang tak masuk akal. Bernyanyi dilarang, atas nama gangguan bertetangga. Pasang salib di makam dilarang, karena dianggap merusak ketentraman. Dan yang paling lucu, saat pemasangan con-block di tengah jalan dianggap mengganggu rasa keimanan mereka. Sebuah tanda silang yang dianggap sebagai lambang salib. Salib sing diputhul, atau yang mereka sangkakan sebagai penyamaran lambang salib di jalanan. Salib kok nyamar.....

Bagi saya ini berarti (sangat) banyak:

(1) mereka adalah kelompok yang meneguhkan keimanannya dengan cara mengenyah jauh keimanan orang lain. Dan sebenarnya mereka sangat suka cita memainkan isu-isu sejenis, dan terus menantikan momen-momen seperti ini. Tanpa masalah beginian, mereka tak akan pernah terdengar ada;

(2) Mereka ini sejenis sumber protein dalam mata rantai makanan yang sangat enak digoreng. Dalam kosa kata mereka toleransi itu sepihak. mereka selalu menuntut, tapi gak boleh dituntut. Toleransi itu harus berasal dari minoritas dan bukan sebaliknya;

(3) Output yang mereka hasilkan justru selalu berkebalikan dengan yang diharapkan. Keimanan umat yang diserang makin kuat, dan mereka makin mudah memaafkan orang lain . Sedang keimanan dirinya sendiri (sesungguhnya) makin rapuh dan makin sukar memaafkan bahkan untuk dirinya sendiri. Jangan salah duga, mereka sedang terus menerus mengetest dirinya sendiri. Mereka mudah lupa bahwa Tuhan itu Maha Rahman dan Maha Rahim....

Bagi saya setiap perempatan adalah lambang salib. Di sana kita kadang harus berhenti sejenak, memberi jalan kepada yang lain. Demikian juga sebaliknya, dan terus demikian seterusnya sampai masa dunia berakhir. Kasih Tuhan itu abadi, demikian juga rasa benci manusia. Kedua hadir di perempatan yang sama, di persaliban yang sama.....

***