Saya Sering Bertanya: Di Manakah Tuhan Berada?

Selasa, 13 November 2018 | 06:36 WIB
0
805
Saya Sering Bertanya: Di Manakah Tuhan  Berada?
Gempa yang menimpa Palu & Donggala

 

Ucapan terkenal ini dilontarkan bukan oleh orang sembarangan. Paus Benedictus XVI melontarkan pertanyaan ini ketika Ia mengunjungi bekas kamp konsentrasi di Aushwitz, Polandia. Mungkin, pertanyaan yang sama kurang lebih ditanyakan oleh sebagian kita dari relung hati paling dalam. Di manakah Tuhan, ketika bencana, musibah dan peperangan menggerus kemanusiaan?

Karena pada dasarnya, seperti judul lagunya band Sting yang populer di era 80-an, manusia adalah mahluk yang “fragile.” Seperti barang pecah belah, perasaan remuk redam, hancur, adalah kejadian sehari-hari yang harus dialami manusia. Beberapa mungkin angkuh, hingga titik ketika ajal hendak menjemput, mereka baru menyeru Tuhannya.

Apa yang terjadi pada Fir’aun adalah contohnya. Ketika Ia dan tentaranya tenggelam di Laut Merah dan air sudah masuk tenggorokannya, barulah Raja Diraja Mesir ini meminta pertolongan Tuhannya Musa.

Maka, pertanyaan besarnya, apakah bencana, musibah adalah peristiwa alam biasa? Atau -seperti anggapan sekelompok manusia yang merasa paling mewakili Tuhan- sebentuk azab atau hukuman karena manusia lalai pada perintah-Nya. Tentu kita hanya bisa menerka-menerka.

Sepanjang sejarahnya, berjuta-juta bencana dengan berbagai macam varian telah menimpa dunia ini. Dan manusia sesungguhnya bisa memetik pelajaran darinya. Bagaimana kita bisa memahami pesan-pesan Tuhan dalam setiap bencana atau musibah yang terjadi ?

Dalam terminologi agama, bencana atau musibah datang dalam dua bentuk. Pertama, sebagai bagian dari ujian. Kedua, azab bagi manusia yang degil dan mengabaikan perintah-Nya. Bagaimana misalnya riwayat Sodom dan Gomorah, kaum Tsamud, kaum ‘Ad adalah narasi-narasi yang hadir dalam kitab-kitab suci baik Yahudi, Kristen dan Islam. Mereka dihukum Tuhan karena melanggar perintah-Nya dan menjadi musuh terdepan utusan-Nya. Dalam hal ini Al-Qur’an menegaskan demikian,

“Dan Kami tidak membinasakan sesuatu negeri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan; untuk menjadi peringatan. Dan Kami sekali-kali tidak berlaku zalim.”     [QS. Asy-Syu'ara': Ayat 208-209]

Pengertian yang sama terdapat dalam ayat lainnya :

“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” [QS. Al-Isra': Ayat 15]

Namun, bahkan dalam kehidupan para utusan-Nya kita mendapati ujian dan penderitaan yang menimpa hidup mereka bertubi-tubi. Semisal riwayat Ayub. Dikisahkan dalam Alkitab bahwa Ayub adalah seorang yang kaya raya. Ia memiliki 7 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan.

Selain itu ia juga mempunyai banyak harta kekayaan, di antaranya: 7000 kambing domba, 3000 unta, 500 pasang lembu, 500 keledai betina dan banyak budak-budak. Oleh karena banyaknya harta Ayub, maka ia menjadi orang yang terkaya di daerah Timur (studialkitab.com).

Ayub adalah seorang nabi, seorang saleh yang taat pada Tuhan. Ketaatannya mengundang pujian Tuhan kepadanya. Tuhan bahkan membangga-banggakan Ayub di hadapan Iblis. Tidak ada tokoh Alkitab lain yang dibangga-banggakan oleh Tuhan di hadapan iblis, selain dari pada Ayub. Iblis mencibir.

Ia seakan-akan berkata kepada Tuhan, “tentu saja Ayub taat dan rajin beribadah kepada-Musebab Ia tak kurang sesuatu apapun.” Oleh karena itu kemudian Iblis menantang Tuhan bahwa Ayub akan meninggalkan-Nya, segera setelah ia kehilangan segalanya. Tuhan menerima tantangan Iblis.

Iblis kemudian mematangkan rencananya untuk menghancurkan Ayub. Diceritakan lebih lanjut dalam Alkitab, Iblis hanya butuh satu hari untuk meluluh lantakkan semua kekayaannya. Pada hari tersebutlah Ayub menerima kabar dari berbagai tempat. Lembu sapi dirampas oleh orang-orang Syeba, kambing domba terbakar oleh api dari langit, unta-unta dirampok orang Kasdim, anak-anak Ayub mati ditimpa oleh angin ribut.

Jadi, semua apa yang Ayub miliki sudah hilang lenyap, harta benda yang banyak ludes, anak-anak sudah tidak ada lagi, budak-budak yang banyak juga lenyap.

Iblis menunggu respon Ayub. Ia berharap melihat Ayub seperti orang kebanyakan. Jika mereka ditimpa musibah, mereka akan mengoyak-koyak pakaian mereka, mencukur rambutnya –seperti kebiasaan orang-orang pada masa itu- dan lebih dari itu, Iblis berharap keimanan Ayub akan goyah dan tumbang.

Iblis menduga Ayub akan menghujat Tuhannya. Sebaliknya, respon Ayub di luar dugaan Iblis. Ayub malah memanjatkan do’a kepada Tuhannya, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"

Iblis masih tidak puas. Ia berkilah kepada Tuhan bahwa Ayub masih setia kepada-Nya, lantaran ia masih sehat wal afiat. Ia bisa mendapatkan lagi semua yang sebelumnya Ia miliki dengan kesehatan tersebut. Akhirnya Iblis mencabut kesehatan Ayub. Dijangkitinya Ayub dengan penyakit langka dan menjijikan. Seluruh tubuhnya penuh dengan luka. Dulu baunya semerbak sekarang bau busuk luka-luka.

Puncaknya, isterinya sendiri meninggalkan Ayub. Bahkan dengan lancang isterinya berkata kepadanya, "masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!" Namun,  Ayub sejatinya adalah “man of God.” Ia tidak bergeming dengan penderitaannya. Sekali lagi, Iblis akhirnya kalah, dan menyingkir, mengakui kehebatan Ayub di hadapan Tuhan.

Riwayat Ayub ini sesungguhnya sejalan dengan riwayat utusan-utusan Tuhan lainnya. Dalam Islam, penderitaan dan ujian kepada Baginda Rasulullah Muhammad Saw bahkan dikatakan melebihi ujian yang pernah dirasakan oleh para nabi lainnya. Bagaimana Rasul Saw semenjak kecil sudah yatim piatu, buta huruf, paman dan kakek yang menjadi pelindungnya wafat di tengah penentangan yang sedang hebat-hebatnya dari kaumnya.

Putra-putrinya meninggal di usia belia. Isteri yang dicintainya, Khadijah wafat akibat embargo ekonomi selama tiga tahun yang berefek pada kesehatan dirinya. Ketika perang terpaksa harus dilakukan, Nabi kehilangan pamannya. Ia pun terluka parah ketika perang Uhud dan dilempari penduduk Thaif hingga bercucuran darah dari kepala dan tubuhnya.

Dus, musibah dan penderitaan bisa mencapai siapa saja. Pertanyaan “Tuhan di mana, ketika hal itu terjadi ?” Adalah pertanyaan manusiawi. Di manakah Tuhan saat terjadi Gempa di Lombok, Palu atau terakhir ketika Pesawat Lion Air jatuh?

Menyalahkan Tuhan adalah perkara gampang. Tapi, belajarlah kita dari Ayub dan Baginda Rasul. Belajar pula misalnya dari Viktor E.Frankl, seorang korban yang selamat dari genosida kaum Yahudi oleh Rezim Nazi (holokaus). Bagaimana Ia bisa selamat? Ia mengembangkan sikap bahwa “respon” kita-lah yang membuat kita bahagia atau sengsara.

Dalam kalimatnya yang indah, Frankl menulis, “Everything can be taken from a man but one thing: the last of the human freedoms—to choose one’s attitude in any given set of circumstances, to choose one’s own way.”

*** 

Referensi :

http://www.studialkitab.com/2009/11/belajar-dari-ayub-ayub-1-2.html

https://www.goodreads.com/author/quotes/2782.Viktor_E_Frankl