Pesan dari Puncak Golgota

Karena hidup dalam kebersamaan penuh cinta, seperti yang terasa di “Indonesia mini”, adalah wujud sebagai ciptaan yang paling mulia dari Sang Maha Pencipta.

Sabtu, 23 April 2022 | 06:49 WIB
0
172
Pesan dari Puncak Golgota
Bukit Golgota (Foto: transformasi.com)

Satu

Benar, yang dulu selalu dikatakan Pak Jakob Oetama kepada kami para wartawannya. Kata Pak Jakob, “Kompas itu Indonesia mini.”

Maka menjadikan Kompas sebagai “Indonesia mini” adalah semacam mission sacre, tugas suci yang harus diwujudkan, apapun hambatan dan rintangan yang menghadang. Dengan harapan, terwujudnya “Indonesia mini” yang “sungguh-sungguh Indonesia”, akan menjadi batu pijakan untuk mewujudkan “Indonesia Besar yang sungguh-sungguh Indonesia.”

Namun, kami  menyadari, mewujudkan “Indonesia Besar” yang “sungguh-sungguh Indonesia” tidak mudah, terutama sekarang ini. Yakni ketika negeri ini dikuasai nafsu-nafsu, termasuk nafsu untuk kuasa dengan menggunakan segala cara demi tergenggamnya kekuasaan itu.

Pesan wanti-wanti Pak Jokowi beberapa hari lalu kepada tujuh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), menegaskan hal itu. Pak Jokowi mewanti-wanti   jangan ada lagi masyarakat yang terprovokasi isu politik identitas di dalam pelaksanaan Pemilu 2024.

Pak Jokowi ingin menegaskan bahwa Indonesia yang sungguh Indonesia adalah Indonesia yang plural, yang majemuk dalam segala hal: suku, etnis, agama, bahasa, budaya, golongan, dan lain sebagainya. Bukan Indonesia, kalau tidak plural, kalau tidak majemuk.

Tetapi, tidak cukup berhenti sampai di sini. Pluralitas itu kita akui bersama, kita jaga bersama, kita pelihara bersama, kita hidup-hidupi bersama, dan sama-sama kita hormati. Kemajemukan itu sudah ada sebelum Negara Indonesia ini ada. Pluralitas itu pula yang kemudian diteguhkan dan disatukan dalam Sumpah Pemuda 1928.

Selama 30 tahun menjadi wartawan Kompas, saya merasakan bagaimana “Kompas (yang) Indonesia mini” tersebut terus diusahakan untuk diwujudkan, dijaga, dan dilestarikan oleh semua anggota keluarga Kompas. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah.

Kami tidak pernah bersoal, tidak pernah mempermasalahkan berbagai  perbedaan antara lain suku, etnis, dan bahkan agama antar-kami. Hubungan kami, meski beda suku, etnis, maupun agama begitu cair. Tidak ada sekat-sekat. Kami satu keluarga.

Kami bisa saling meledek bahkan menyinggung hal-hal yang dianggap peka itu, tanpa menimbulkan persoalan, tanpa merasa tersakiti. Karena ada trust di antara kami. Ada keterbukaan hati untuk saling menerima apa adanya.

Setiap bulan Puasa, seperti sekarang ini, saban hari kami buka puasa bersama. Kami bergiliran menyediakan dan menyiapkan buka puasa bersama, tak peduli agamanya apa. Inilah ungkapan persaudaraan kami.  Saat buka puasa ini, semangat persaudaraan itu benar-benar terasa.

Dua

Sering saya bertanya,  mengapa kami yang beda tidak hanya etnis, suku, bahkan agama bisa bersatu bagai saudara; sementara di “Indonesia Besar” masih saja ada yang memersoalkan dan juga menggunakan untuk keuntungan diri? Terutama dalam hal berbeda agama.

Mungkin karena kami memahami seperti yang dikatakan oleh Karen Armstrong (2009) bahwa agama bukanlah sesuatu yang terutama menyangkut pikiran manusia, melainkan lebih pada perbuatan manusia. Kebenarannya diperoleh lewat amalan langsung.

Kami sama-sama meyakini bahwa  iman tanpa perbuatan (baik) adalah omong kosong. Iman tanpa perbuatan (baik) adalah mati. Bukankah semakin beriman, berarti semakin bersaudara. Dan, semakin berbelarasa? Meski bukan berarti kami tanpa cela.

Armstrong  mengibaratkan, tidak ada gunanya membayangkan dapat menyetir mobil hanya dengan membaca manual atau memelajari peraturan lalu lintas. Baru setelah kita mencoba menyetir, pada saat itulah semuanya terasa tepat pada tempatnya.

Sama halnya, hampir semua orang tahu bahwa  tiada satupun agama yang menganjurkan, yang memerintahkan para penganutnya untuk saling membenci, apalagi membenci yang tidak seagama.  Semua agama mengajarkan cinta kasih kepada sesama manusia,  meski dalam rumusan yang berbeda-beda.

Tahu saja tidak cukup, tentu saja. Tetapi harus berani memraktikkannya, bukan justru melakukan hal yang sebaliknya. Sebab, bukankah agama pada dasarnya mengajarkan hal-hal yang baik saja.

Karena itu, orang beriman bersama dengan semua orang apapun agamanya yang berkehendak baik: menumbuh-kembangkan hati nurani yang baik, bersih, benar, mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya dihadapan Tuhan dan sesama. Peka dan terbuka terhadap bimbingan Ilahi. 

Kata Karen Armstrong (2015) dalam semua tradisi spiritual besar ditegaskan bahwa kepedulian kepada semua orang (tidak hanya kepada yang segolongan atau yang cocok dengan kita) adalah tolok ukur spiritualitas yang sejati.

Dengan itu, yang dicari adalah  mencapai suasana batin yang tidak mementingkan diri sendiri, seperti juga yang dicari orang dalam yoga, yang tujuannya melepaskan unsur “kita”  dari pikiran dan perilaku kita—obsesi diri yang membatasi kemanusiaan kita dan menghalangi kita menuju transendensi, yang dikenal dengan beragam nama seperti Brahman, Dao  Nirwana, atau Allah.

Ketiga

Pernah saya baca  naskah yang disampaikan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, pada Studium Generale, 19 Agustus 2019, Fakultas Teologi Wedabhakti Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kardinal mengingatkan arti penting Pancasila bagi kita, bangsa Indonesia yang majemuk ini:

Nilai-nilai kemanusiaan yang luhur seperti yang ada dalam Pancasila itu terdapat juga dalam ajaran Gereja. Andaikata tidak ada Pancasila, nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan sosial, itu juga sudah harus dijunjung tinggi dan diperjuangkan oleh Gereja Katolik.

Dengan menerima Pancasila itu, kata Kardinal, umat Katolik tidak merasa menerima tambahan beban, melainkan mendapat tambahan dukungan dan bantuan dari Negara Republik Indonesia.

Mayoritas Umat Muslim, melanjutkan semangat para Pendiri Bangsa yang beragama Islam, sampai sekarang menerima Pancasila sebagai ideologi Bangsa. Ideologi yang merupakan kesepakatan bersama seluruh unsur bangsa.

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai arus utama umat Muslim yang mendukung NKRI yang berdasarkan ideologi Pancasila, menekankan Ukhuwah Wathoniyah, kerukunan dalam bingkai kebangsaan Indonesia, di samping Ukhuwah Islamiyah dan bahkan terbuka kepada Ukhuwah Insaniyah/Basariyah, kerukunan berdasarkan: sama-sama manusia ciptaan Allah.

Terhadap arus radikalisme dan kekerasan, mereka bersikap: jalan tengah atau wasatiyyah tidak ekstrim ke kiri sampai kurang peduli terhadap agama, dan tidak ekstrim ke kanan sampai memandang hanya fahamnya yang benar dan menganggap salah semua yang lain dan memusuhinya.

Umat Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan para penghayat Kepercayaan, sama-sama mendukung Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan NKRI.

Itu semua berarti bahwa dengan terang iman agama dan kepercayaan masing-masing, dengan penyelenggaraan Ilahi, terdorong untuk hidup sebagai warga bangsa dan negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila serasi dengan nilai-nilai dasar iman mereka masing-masing.

Empat

Maka kata Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii (2010), dengan Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab, semua kecenderungan politik identitas negatif-destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini pasti dapat dicegah.

Pluralisme etnis, bahasa lokal, agama dan latar belakang sejarah kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberikan keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.

Itulah udara kemanusiaan dalam keluarga manusia kita, yang terbebas dari kepentingan sempit. Karena kita semua berada di perahu yang sama, di tengah badai sejarah yang belum reda.

Karena itu, bukan tanpa alasan kalau  Pak Jokowi, mengingatkan bahkan berpesan, jangan lagi membuat masyarakat terprovokasi oleh isu-isu politik identitas. Pak Jokowi, tidak ingin bangsa ini  terpecah-belah karena nafsu kuasa bersenjatakan atau bermantel atau berselubung politik identitas. Pilkada DKI 2017, menjadi contohnya; juga Pemilu 2019.

Hanya keledai  keras kepala, bodoh, dan dungu saja yang dua kali terperosok pada lubang yang sama. Begitu kata pepatah. Artinya, tidak semua keledai keras kepala, bodoh, dan dungu.

Kalau tidak semua keledai keras kepala, bodoh, dan dungu maka hanya manusia keras hati, keras kepala, bodoh, dan dungu yang hatinya diselubungi nafsu hewani saja yang terperosok untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Dan akhirnya, menjerumuskan bangsa ini ke jurang yang dalam.

Sebab, menggunakan politik identitas untuk meraih kekuasaan adalah pengingkaran terhadap pluralitas, kemajemukan bangsa ini. Politik identitas juga bentuk penyangkalan terhadap nilai-nilai demokrasi, hak-hak asasi manusia, toleransi, dan juga kesetaraan gender.

Bila demikian, kata Buya Syafii mengutip ucapan mantan presiden Ceko, Vaclav Havel, “….modern man has lost his transcendental anchor.”

Lima

Sebenarnya,  2000 tahun silam, pesan itu sudah pernah disampaikan di puncak Golgota. Di puncak bukit itulah  tumbuh pohon kasih yang berbuah cinta. Cinta  yang telah membebaskan manusia berpikiran sempit, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, kelompoknya sendiri, golongannya sendiri.

Mereka yang terbebas dari kepentingan sempit—entah itu suku, agama, ras, kelompok, maupun golongan, dan segala yang membedakan—serta mengutamakan kepentingan bersama telah menegaskan martabat manusia sebagai pribadi. Pribadi yang penuh cinta.

Manusia yang terbebas dari kepentingan sempit—hati dan pikirannya—akan terus menabur kebaikan untuk kepentingan orang lain, menanamkan tindakan kebaikan dengan cuma-cuma, dan menjadikan dirinya bagian dari cakrawala rencana kebaikan Tuhan yang luar biasa.

Manusia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, yang dapat mengimani dan mencintai Sang Pencipta.

Inilah antara lain yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain. Meskipun tetap saja masih ada yang tidak bisa melepaskan “nafsu hewani”-nya. Kata Karen Armstrong, dorongan “mendahulukan aku” yang diwarisi manusia dari nenek moyang reptil ini bersifat otomatis, langsung, dan sangat kuat. Dorongan-dorongan itu memasuki semua kegiatan manusia, termasuk agama, dan sulit dilawan.

Maka itu, manusia yang telah terlepas dari kepentingan sempit itulah yang akan terbang dengan sayap seperti rajawali; meskipun berlari tidak akan menjadi lelah, meskipun berjalan tidak akan pernah lelah. Karena hidup dalam kebersamaan penuh cinta, seperti yang terasa di “Indonesia mini”, adalah wujud sebagai ciptaan yang paling mulia dari Sang Maha Pencipta.

Semoga demikian pula terjadi di “Indonesia Besar.”

Selamat Paskah 2022.

***