Berpikir Distingtif

Revolusi mental adalah revolusi cara berpikir. Ini bukan slogan kosong, tetapi visi bersama yang bermakna. Ini bukan hanya soal membangun jalan tol, atau heboh dengan perlombaan otomotif.

Senin, 14 Februari 2022 | 16:10 WIB
0
141
Berpikir Distingtif
Berpikir béda (Foto: finansial ku.co

Sore itu, saya berjalan di trotoar Jalan Casablanca, Jakarta. Seperti biasa, Jakarta macet dan kacau. Saya hanya berjalan, dan tak menggunakan kendaraan apapun. Itu pun, ternyata, sulit.

Banyak orang berdagang di trotoar. Banyak supir ojol (ojek online) yang parkir sembarangan di trotoar. Naik kendaraan sulit, dan berjalan di trotoar juga sulit. Saya mesti bagaimana?

Trotoar adalah milik bersama. Ia digunakan untuk kepentingan bersama. Para pedagang dan ojol tidak punya hak untuk memonopolinya. Mereka melanggar hukum, dan merugikan orang lain, terutama pejalan kaki, seperti saya. Namun, seperti biasa di Indonesia, terutama Jakarta, tak ada satupun aparat yang menegur.

Terkejut di Kegelapan

Saya suka berkendara motor pagi-pagi, sebelum matahari terbit. Udara segar. Jalanan sepi. Hati jadi tenang, dan pikiran jadi jernih.

Pagi itu, badan sudah mulai lelah. Saya memutuskan untuk pulang. Mendekati rumah, jalan masih gelap. Tiba-tiba ada motor melawan arah.

Saya kaget. Otomatis, saya membunyikan klakson. Dia juga kaget. Seperti yang biasa terjadi di Jakarta, kami saling memaki.

Jalan raya itu milik bersama. Ada aturan bersama yang mesti dipatuhi. Ini semua demi keselamatan kita bersama. Si pelawan arah jelas melanggar hukum, dan membahayakan orang lain. Namun, seperti biasa di Jakarta, tidak ada satupun aparat yang menegur.

Minggu Yang Bising

Minggu pagi, waktunya para pekerja beristirahat. Orang tidur sampai siang. Setelah lelah bekerja 6 hari penuh, hari Minggu jadi hari tenang. Saya juga begitu.

Namun, saya tak biasa bangun siang. Jam 6 pagi, saya bangun, dan meditasi. Tiba-tiba, ada suara orang berteriak di rumah ibadah terdekat. Ia berbicara begitu keras, seperti marah-marah.

Mengapa orang beribadah menganggu orang lain? Mengapa berdoa perlu menciptakan keributan? Polusi suara, akibat suara kendaraan dan rumah ibadah, adalah masalah besar di Jakarta. Namun, seperti biasa di Jakarta, tak ada otoritas apapun yang menegur.

Berpikir Distingtif

Ini semua terjadi, karena di Indonesia, kita tidak diajar berpikir distingtif. Kita hanya diajarkan untuk patuh buta pada guru-guru yang bodoh. Kita hanya diajarkan untuk menghafal hal-hal tak berguna. Akibatnya, kita jadi bangsa bodoh.

Berpikir distingtif adalah berpikir dengan pembedaan yang tepat. Kita tahu beda antara ruang privat dan ruang publik. Di dalam ruang privat, yakni di rumah dan kamar kita, kita bisa berbuat semaunya. Kita bisa berdoa semaunya, tanpa menganggu orang lain.

Namun, di dalam ruang bersama, kita hidup bersama orang lain. Ada orang yang memiliki kepentingan berbeda. Ada pengguna jalan raya lain, dan pejalan kaki yang butuh trotoar. Ada orang yang butuh istirahat, dan butuh tenang dalam hidupnya.

Korupsi dan Diskriminasi

Uang negara dianggap uang pribadi. Kendaraan dinas dipakai untuk tamasya. Rumah dinas dipakai untuk pesta pora. Ini juga tanda, kita tidak bisa berpikir distingtif.

Korupsi besar-besaran pun terjadi. Dari menteri sampai lurah, semua korupsi. Korupsi berjamaah, kata seorang teman. Negeri ini tetap miskin dan terbelakang, karena korupsi para pemimpinnya.

Saya menyebutnya sebagai kebiadaban publik. Ruang publik dipakai untuk kepentingan pribadi, seperti untuk jualan, atau untuk teriak-teriak sembarangan atas nama agama. Ruang publik pun jadi kacau, karena tak ada hukum dan aturan yang tegas. Tak usah terlalu heboh dengan MotoGp dan Formula E, perbaiki dulu cara berpikir bangsa kita.

Revolusi mental adalah revolusi cara berpikir. Ini bukan slogan kosong, tetapi visi bersama yang bermakna. Ini bukan hanya soal membangun jalan tol, atau heboh dengan perlombaan otomotif. Sudah cukuplah pencitraan dilakukan. Rakyat sudah muak.

***