Menjadi Anjing atau Singa?

Kita bisa cukup jernih melihat keadaan. Kita bisa mulai mengatur strategi untuk bertahan hidup. Kita bisa melakukan kritik terhadap pemerintah yang memperbodoh dan mempermiskin rakyatnya sendiri.

Selasa, 14 September 2021 | 07:48 WIB
0
202
Menjadi Anjing atau Singa?
Ilustrasi anjing dan singa (Foto: youtube.com)

PPKM tidak selesai-selesai. September 2021, kebijakan yang menyiksa itu masih berlanjut. Rakyat tersiksa dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Sementara, para wakil rakyat di DPR dan para pemimpin politik hidup nyaman di rumah dinas mereka, dengan gaji pasti setiap bulan dari uang rakyat.

Itu kiranya yang menyiksa pikiran seorang kawan (dan saya juga). Di tengah hampanya kegiatan, pikirannya merantau ke masa lalu. Ia teringat perceraiannya yang berdarah-darah. Itu sudah terjadi belasan tahun lalu, namun terasa baru seperti kemarin terjadi.

Tidak hanya masa lalu yang menyiksanya. Ketidakpastian akan masa depan juga mencekam. Bagaimana menjalankan hidup, jika tidak ada pendapatan pasti? Bagaimana menjalani hidup di negara yang terus memperbodoh dan mempermiskin rakyatnya sendiri?

Dalam kegalauannya tersebut, ia teringat keluarga di desa. Ia malu pulang, karena tak ada biaya, dan hanya akan merepotkan mereka. Kecemasan pun semakin tinggi. Ia tidak hanya cemas, tetapi juga rindu kampung halaman.

Gejala fisik pun mulai tampil. Jantung berdetak cepat dan keras. Keringat dingin. Sakit di kepala menusuk. Apakah ia mengalami serangan jantung? Atau mungkin serangan panik?

Inilah cerita yang banyak sekali terjadi di Indonesia. PPKM tanpa henti, tanpa kebijakan ekonomi dan bantuan sosial yang memadai dari pemerintah, adalah pembunuhan terhadap rakyat. Banyak rakyat murka, namun tetap tanpa daya. Di dalam kemiskinan dan kesepian, serta jauh dari kampung halaman yang dirindukan, kawan saya semakin hanyut dalam pusaran penderitaan.

Menjadi Anjing

Anjing adalah sahabat manusia. Ia begitu cantik. Ia begitu setia. Dalam banyak hal, anjing lebih sempurna daripada manusia.

Ketika bermain lempar bola, anjing mengejar bolanya. Itu terus dilakukannya secara otomatis. Dilempar apapun, ia akan mengejarnya. Itu pola perilaku anjing yang hampir tak dapat diubah.

Kerap kali, kita pun sama seperti anjing. Kita mengejar pikiran kita. Pikiran kita ke arah masa lalu, kita mengejarnya. Pikiran ke masa depan, kita pun mengejarnya. Kita mengejar ilusi, lalu lelah sendiri.

Ada benda yang bagus, kita mengejarnya. Ada benda yang jelek, kita berlari menjauhinya. Batin kita terus berlari. Ia tidak pernah tertanam tenang disini dan saat ini.

Ingatan pun kita kejar. Kita merasa, itu nyata. Trauma, kita ikuti. Kecemasan dan ketakutan, kita ikuti. Hidup kita terombang ambing oleh gejolak batin kita sendiri.

Padahal, bentuk dan pikiran itu ilusi. Itu tidak ada di dalam kenyataan. Segala hal di dunia nyata adalah ciptaan batin kita sendiri. Fisika modern dan penelitian-penelitian neurosains sudah sampai pada kesimpulan ini.

Kawan saya, dan juga terkadang saya, sama seperti anjing. Kita berdua mengejar pikiran kita. Kita berdua mengejar benda-benda material. Padahal, itu semua ilusi. Ia terus berubah, dan tak punya inti nyata pada dirinya sendiri.

Kita seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri. Kita capek. Kita frustasi dan menderita. Juga tak ada hasil yang didapat.

Menjadi Singa

Apa yang terjadi, jika kita melempar tongkat di hadapan singa? Dia akan menyerang kita. Singa tidak mengejar tongkat. Ia mengejar sang pelempar tongkat.

Ia mengejar sumber. Ia tidak terpengaruh oleh hal-hal yang berubah. Ia mencari asal muasal dari lemparan. Kita perlu belajar dari singa.

Kita tidak perlu mengejar benda-benda material atau pikiran yang muncul. Kita tidak perlu mengejar ingatan yang ada. Sebaliknya, kita justru perlu mencari sumber dari pikiran dan ingatan tersebut. Disini, kita beralih dari ilusi menuju kenyataan.

Ketika kita mencari sumber dari pikiran dan ingatan, kita akan berjumpa dengan kesadaran. Kita akan lepas dari ilusi. Kita akan bangun pada kenyataan sebagaimana adanya. Kita akan bangun pada kebenaran disini dan saat ini itu sendiri.

Segalanya adalah ciptaan kesadaran. Warna, bau dan bentuk adalah ciptaan kesadaran. Itu semua terbentuk dalam mekanisme yang kompleks dengan otak maupun struktur saraf manusia. Maka, yang perlu disentuh bukanlah pikiran, ingatan ataupun benda-benda material, tetapi kesadaran yang menjadi sumber segalanya tersebut.

Kesadaran itu adalah kehidupan. Ia adalah pencipta dari segala sesuatu. Ia bersifat kosong, namun sadar sepenuhnya. Ia juga tidak memiliki batas.

Kita perlu untuk tetap disana. Saat ke saat, arahkan perhatian kita ke sumber dari segala sesuatu di dalam diri. Jangan mengejar benda-benda material. Jangan mengejar pikiran ataupun ingatan.

Kita pun hidup dalam kebenaran. Kita keluar dari ilusi yang kita buat sendiri. Kita lepas juga dari penderitaan yang mencekam. Kita pun mengalami kebebasan yang sesungguhnya.

Mengritisi PPKM

Di masa PPKM, kita diminta menjaga jarak. Kita diminta untuk tetap di rumah. Jika kita belajar dari singa, dan menyentuh sumber dari pikiran maupun ingatan, maka kita akan tenang dengan diri sendiri. Kita tetap merasa damai, walaupun tak banyak kegiatan, dan jauh dari keramaian.

Baru setelah itu, kita bisa cukup jernih melihat keadaan. Kita bisa mulai mengatur strategi untuk bertahan hidup. Kita bisa melakukan kritik terhadap pemerintah yang memperbodoh dan mempermiskin rakyatnya sendiri. Lalu, kita juga bisa berbuat sesuatu untuk menolong orang-orang yang kesulitan.

Kita berhenti meniru perilaku anjing, dan mulai menjadi singa di dalam hidup kita. Jangan ditunda lagi!

***