Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) masih saja jadi bahan pembicaraan publik, padahal pegawai KPK sudah diangkat jadi ASN sejak 1 Juni 2021 lalu. Ujian ini tetap viral karena ada yang memprotesnya dan membawanya ke Komnas HAM. Padahal TWK adalah saringan untuk mencegah radikalisme pada seluruh pegawai KPK.
KPK adalah lembaga yang terkenal galak, karena tugasnya memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia. Sebagai lembaga negara, tentu KPK tunduk di bawah Undang-Undang, termasuk ketika seluruh pegawainya harus melakukan tes wawasan kebangsaan sebagai syarat masuk menjadi ASN.
Akan tetapi ada saja yang kurang setuju dengan tes wawasan kebangsaan lalu menuduh ada main belakang, padahal TWK adalah sarana untuk menyeleksi apakah ada pegawai KPK yang tercemari oleh radikalisme. Jika mereka bekerja pada lembaga negara, tidak boleh jadi kaum radikal yang menghianati negara, bukan? Radikalisme harus diberantas, termasuk di dalam intern KPK.
Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institue menyatakan bahwa TWK adalah cara untuk mencegah intoleransi dan radikalisme di KPK. Pemerintah sedang memberantas radikalisme tak hanya di KPK. Namun juga lembaga lain seperti TNI, POLRI, dan lain sebagainyal. Dalam artian, radikalisme sedang gencar diberantas di Indonesia dan TWK bukanlah tes yang dibuat-buat.
Lagipula TWK tak hanya dilakukan di KPK tetapi juga di lembaga, kementerian, dan instansi lain. Setiap CPNS wajib mengerjakannya. Jadi,salah besar jika menuduh ada apa-apa di balik tes ini. Apalagi soal tes tidak dibuat oleh petinggi KPK, jadi mustahil jika ada kongkalingkong di dalamnya.
Tes untuk mengetahui apakah seorang calon ASN memiliki keterlibatan dengan kelompok radikalisme sangat penting, karena sebagai abdi negara mereka harus setia pada negara. Bayangkan jika tidak ada tes wawasan kebangsaan sebagai saringan radikalisme, lalu ada pegawai KPK yang ternyata berafilasi dengan kelompok radikal, apa yang terjadi?
Bisa-bisa ia menyalahgunakan pangkat dan jabatannya untuk menyuburkan radikalisme di Indonesia, atau menggunakan fasilitas lembaga untuk mendukung kelompok radikal. Padahal KPK adalah lembaga anti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh sebab itu, jika ada pegawai KPK yang berani melakukannya akan ditindak tegas karena dapat menghambat tugas dan kewajibannya.
Bisa juga pegawai itu tersebut beropini di media sosial tentang radikalisme dan publik mengira bahwa pernyataannya mewakili KPK, padahal pernyataan pribadi. Nama baik KPK jadi tercemar. Tak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia, karena saat ini berita bisa dengan cepat viral di internet.
Mau jadi apa Indonesia jika semua kemungkinan buruk ini terjadi? Sangat mengerikan. Selain merusak nama KPK juga merusak nama besar Indonesia, dan bisa-bisa negeri kita dicap sebagai negara yang radikal dan mendukung ISIS. Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan, oleh karena itu tes wawasan kebangsaan dibuat untuk memfilter apakah ada pegawai KPK yang error dan bersimpati pada kelompok radikal.
Soal-soal pada TWK juga didesain agar menyeleksi tentang radikalisme, apakah pegawai KPK memahami pancasila, isu SARA, menolak LGBT, dan lain sebagainya. Jadi sudah jelas bahwa TWK adalah alat untuk mengetahui apakah mereka berada di jalan yang lurus atau malah tergoda oleh radikalisme dan hal-hal negatif lain.
Radikalisme harus diberantas karena merusak sebuah negara dari dalam, dan kaum radikal menolak setiap perbedaan. Padahal Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan berprinsip bhinneka tunggal ika. Oleh karena itu, radikalisme wajib dihapus, termasuk di KPK. Tujuannya agar tidak ada pegawainya yang jadi penghianat negara. (Muhammad Yasin)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews