Wartawan "Dudal-dudul" dan Wartawan Liputan

Semua pengalaman itu akan memperkaya wawasan sang wartawan yang bukan hanya sekrup perusahaan. Dan suatu ketika si wartawan akan ikut menjalankan roda perusahaan.

Jumat, 11 Juni 2021 | 18:18 WIB
0
400
Wartawan "Dudal-dudul" dan Wartawan Liputan
Susi Susanti dan Alam Budikusuma (Foto: Jimmy S. Harianto)

Wartawan itu saksi peristiwa.

Kata-kata Jakob Oetama ini mengiang di telinga seperti mantram, karena setiap kali diungkapkan beliau saat Rapat Besar tiga bulanan bersama seluruh wartawan dan anggota Redaksi dengan Pemimpin Umum Harian Kompas.

Mantra ini juga sering kali diucapkan hampir di setiap Rapat Pagi maupun Rapat Sore dengan segenap Redaktur untuk evaluasi harian liputan kemaren, perencanaan liputan hari itu, maupun hasil liputan yang akan disajikan esok hari -- dalam Rapat Sore yang di Kompas biasa disebut sebagai “Rapat Budgeting”.

Budgeting berita apa yang bisa di-share pada publik esok hari, tentunya. Sama sekali bukan rembukan tentang budgeting finansial.

Pak Jakob (selanjutnya saya sebut Pak JO) tidak hanya menguasai teori dasar jurnalistik, ataupun publisistik, dan ilmu politik. Akan tetapi ia juga kuat melobi berbagai kalangan, bergaul dengan wartawan peliput lapangan dan fasih mengajarkannya setiap hari pada anggota Redaksi melalui rapat temu muka, yang tidak jarang bisa berlangsung berjam-jam pada saat-saat penting.

Dan Pak JO ini bukan tipe boros kata. Atau hamburan kata-kata boss yang hanya menghitung untung. Setiap kata yang dikeluarkan dari mulut seperti sudah diperhitungkan isi, konteks dan juga tak ketinggalan – berbagi filosofi. Beliau jago ekonomisasi kata-kata, agar tidak berhamburan kata-kata tak perlu.

Tiada hari tanpa “pelajaran hidup” jika bertemu muka dalam rapat-rapat Redaksi seperti itu dengan Pak JO.

Selorohnya? Yang paling sering ya: Ha, ha, ha.... You boleh! Sembari tangan kanannya mengusap bagian wajah, dari hidung sampai ke mulut. Khas Pak JO. Dan salah satu kata kesenangannya adalah kata: Passion!

Ya, menurut Pak JO, wartawan itu harus memiliki “passion”. Dimana pun ia berada, harus selalu ada passion di dirinya.

Ditaruh di bidang yang tidak disukai sekalipun? Kudu memunculkan passion, menghayati bidang yang dikerjakannya dengan mendalam. Mengerti yang dilakukan, dan melakukannya pun sepenuh hati, bukan seperti robot yang mengeksekusi perintah sang majikan. Selesai dikerjakan, habis perkara!

Tidak heran, jika wartawan Kompas -- di era belum digital dan serba “real time” dalam satu klik jari tangan seperti sekarang ini -- wartawan itu kudu meliput langsung di lapangan. Wartawan Kompas kudu aktif wawancara dengan nara sumber di lapangan, serta wawancara narsum lain untuk framing peristiwa yang terjadi.

Bukan cuma jadi “wartawan statistik” lihai bermain angka, bermain rekor, bermain data tercatat dalam rekaman arsip, akan tetapi juga harus menjadi “wartawan liputan” yang hadir langsung di lapangan, dan melakukan wawancara langsung. Bukan memutar rekaman dari cakram rekam teman yang hadir, atau bahkan lebih parah lagi copy paste dari berbagai sumber. (Yang terakhir ini, mestinya hanya pantas dilakukan oleh wartawan pensiunan seperti saya, tanya mbah Google, dan klik mbah Wiki, atau nyontek arsip pdf, paling-paling baca buku untuk framing tulisan dan ngobrol dengan narsum secukupnya...)

Mengapa wartawan harus hadir di lapangan, pada saat kejadian, meskipun sudah banyak wartawan lain bahkan kamera televisi yang mengabadikannya? Ya tidak lain “wartawan itu saksi peristiwa”. Bukan cuma jadi ‘kemporter’ alias kempongan reporter, alias menulis dari liputan orang lain seperti wartawan pensiunan saja. Itu liputan bo’ongan, liputan pangsiunan.

(Tidak heran jika ketika Pak JO wafat pada 9 September 2020 silam, Ganjar Pranowo yang merasa diri dulu pernah jadi “cah ra cetho” alias bocah ora jelas di hadapan Jakob Oetama saat Gubernur Jawa Tengah ini masih muda, Ganjar katakan bahwa “Pak Jakob Oetama itu tokoh media yang menjadi saksi hidup perubahan besar bangsa Indonesia...,” Antara 9/9/2020)

Apakah “wartawan liputan” itu sudah tidak diperlukan, pada zaman yang serba “dudal-dudul” dari gadget habis perkara? Ngapain, kata pemimpin surat kabar masa kini, koran harus mengirim wartawan ke pertandingan Piala Eropa yang kini akan mengharu-biru jagat olahraga? Atau turnamen tenis Grand Slam Perancis Terbuka yang diawali dengan huru-hara mundurnya jagoan tenis kebanggaan Asia, Naomi Osaka? Ngabisin budget?

Wartawan, pada masa Jakob Oetama masih Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi harian Kompas, adalah “aset perusahaan”. Bukan hanya sekrup pabrik, yang puas dengan posisi sekrup. Wartawan harus menjadi saksi peristiwa, saksi kejadian dan bahkan saksi zaman seperti Pak JO.

Dan pada saatnya, wartawan itu juga harus menjadi pemimpin yang tentu saja penuh pengalaman liputan, dan pengalaman menulis. Sehingga tulisannya tidak kering berisi statistik melulu, catatan data melulu. Akan tetapi juga ada “duduh” (kuah pada sayur di meja makan) berupa penggambaran atmosfer atau suasana peristiwa yang tengah atau pernah disaksikan langsung. Dan tidak sekadar menyajikan tulisan yang kering kerontang seperti gorengan dengan minyak jenuh mbah Google dan mbah Wiki semata.

Apakah tiada guna, mengirim wartawannya ke lapangan, dalam peristiwa olahraga seperti Piala Eropa, UEFA Euro 2020 seperti yang sekarang tengah akan berlangsung ini?

Bagi sebuah media besar, yang menganggap “wartawan adalah aset perusahaan” dan bukan sekadar buruh, tentu menjadi saksi berbagai peristiwa itu perlu. Meski liputan rutin sudah dihabisin oleh media televisi, media cetak raksasa dunia, atau kantung berita (pool pemberitaan) seperti juga terjadi di setiap peristiwa dunia. Setidaknya, wartawan di zaman “dudal-dudul” ini seharusnya masih menjadi saksi peristiwa.

Dan ia bisa menceritakan, nuansa di balik berita. Tidak sekadar berita tertulis hasil liputan dunia, yang tentu saja habis dilalap semua media. Akan tetapi juga menulis berita yang memiliki “kedekatan” dengan publik pembacanya, publik Indonesia tentunya. Bukan versi mata Barat semata.

Proximity, kedekatan juga harus dihadirkan di zaman jurnalisme serba real time, dudal-dudul seperti sekarang ini. Sehingga peristiwa yang jauh di mata, di Eropa, bisa hadir ke Jakarta sesuai dengan kedekatan hati publik pembacanya. Menghadirkan suasana Eropa dengan nuansa yang perlu diketahui oleh warga Jakarta, warga Nusantara.

Bagaimana seorang tidak terjerumus menjadi semata-mata wartawan statistik, jika tidak pernah melihat langsung – bagaimana suasana merdekanya tribun Roland Garros di 2 Avenue Gordon Bennet, 16e Arrondissement Paris? Bagaimana enaknya pelayanan terhadap jurnalis, kalau tak boleh dibilang terbaik jika dibandingkan dengan Grand Slam lain, Wimbledon, ataupun Australia Terbuka? Bagaimana bisa mengungkap sisi lain serta memahami peristiwa Naomi Osaka, yang didenda jutaan hanya karena menolak tampil dalam jumpa pers di Roland Garros, kalau tak pernah merasakan betapa hangatnya suasana wawancara di ruang pers dengan para petenis, di Perancis Terbuka, Australia Open, Wimbledon, atau berbagai kejuaraan sepak bola Eropa, Piala Dunia dan Olimpiade?

Semua pengalaman itu akan memperkaya wawasan sang wartawan yang bukan hanya sekrup perusahaan. Dan suatu ketika si wartawan akan ikut menjalankan roda perusahaan.

Suatu ketika jadi komentator olahraga, komentar politik? Akan terlihat, mana yang dulunya menjadi “saksi peristiwa” seperti mantra jurnalistik yang diungkapkan oleh Pak Jakob Oetama.

Atau hanya seumur-umur ‘kemporter’ yang pengalamannya semata-mata mengoper berita, dari dunia maya ke dunia nyata. Tanpa beranjak dari tempat duduk....

***

Jimmy S. Harianto, wartawan Kompas 1975-2012