Udin, Satu Mitologi Paling Absurd dari Jogja

Kasus Udin hanya meneguhkan bahwa salah satu julukan yang paling tepat bagi Jogja adalah kota mitos. Setiap hari secara sengaja, maupun tidak sengaja orang membangun mitos-mitos baru.

Minggu, 16 Agustus 2020 | 06:11 WIB
0
290
Udin, Satu Mitologi Paling Absurd dari Jogja
Poster Udin (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Hari ini, 16 Agustus adalah tepat 24 tahun wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, yang lebih dikenal sebagai Udin meninggal. Tiga malam sebelumnya, sepulang dari kerja ia dianiaya oleh sekelompok orang. Persis di depan pintu rumahnya sendiri Dusun Gelangan Samalo, Bantul.

Siapa pelakunya, siapa yang bertanggung jawab? Sampai hari ini tak terungkap dan dianggap misteri!

Kasus ini di dunia jurnalistik sebenarnya biasa saja. Bukan yang pertama, dan jelas bukan yang terakhir. Seorang wartawan idealis, menulis berita-berita kritis yang terjadi di tanah kelahirannya. Perkara-perkara yang sesungguhnya sangat biasa: kasus korupsi, masalah-masalah pembangunan yang bertabrakan dengan pelestarian lingkungan, ambisi seorang militer untuk menjadi bupati. Bukan persoalan-persoalan luar biasa yang bisa mengguncang politik lokal, apalagi nasional.

Kasus ini, sendiri kemudian bergerak layaknya sinetron. Karena tekanan publik dan media, tak pernah jelas apa motifnya. Tiba-tiba dicarikan aktor, "si tertuduh" pelaku. Seorang bernama Dwi Sumaji alias Iwik yang sama sekali tidak saling kenal sebelumnya, lalu "diintimidasi" dipaksa mengaku sebagai pembunuh Udin.

Juga disiapkan tekanan lain seoarang perempuan yang dipaksa mengaku berselingkuh dengan Udin, padahal tidak saling kenal. Sandiwara picisan ini, kemudian mudah sekali dipatahkan ketika disidangkan.

Si sutradara sandiwara, seorang reserse bernama Serma Edy Wuryanto, kemudian justru dianggap bersalah karena melarung sisa darah Udin. Bukti bahwa sebenarnya pihak polisi sebenarnya, terlibat dalam keruwetan kasus ini. Ia tak pernah dihukum, dan realitasnya tak ada yang pernah dihukum langsung dalam kasus ini, Bahkan, tak pernah ditemukan atau diketahui sama sekali siapa sesugguhnya pelaku sesungguhnya.

Bagian anehnya lalu untuk melindungi siapa? Dan untuk apa?

Seseram atau serumit apakah sehingga semua seolah saling menutupi. Di sinilah letak absurd dan mistisnya peristiwa ini. Mengapa tak pernah sampai ke titik pokok siapa pembunuh Udin. Dan karena tak pernah ditemukan, ya jelas tak pernah ada pengadilan resmi untuk kasus riilnya.

Satu-satunya tokoh yang dianggap dalang, orang yang paling bertanggung jawab telah diadili secara prejudice oleh pers dan publik. Ia adalah Bupati Sri Roso Sudarmo, pejabat Bupati. Yang anehnya, ia kemudian oleh Pengadilan dinyatakan bersalah justru karena kasus lain yang tak ada sangkut pautnya dengan kasus Udin.

Bagi saya kasus Udin seolah perdebatan aneh dan kekanak-kanakan yang tak kunjung akhir, antara mengungkap pertanyaan siapa yang lebih dulu: ayam atau telur. Pendekatan kasus riil-nya atau membesarkan rumor-rumor motif yang ada di sekitarnya. Pers sendiri, sampai titk tertentu justru berperan untuk membuat mitologi-mitologi yang anehnya dipelintir sekedar membela profesi wartawan.

Sudah sekian banyak Tim Pencari Fakta dibentuk, sejumlah buku dituliskan, bahkan reportase lebih baru dan berulang-ulang oleh media yang berbeda. Bahkan Di era yang jauh lebih bebas dan tak ada lagi sangkut pautnya dengan Orde Baru.

Hasinya sama: nihil! Yang semakin banyak justru sampiran data, motif-motif peristiwa. Tapi tak pernah menjangkau dan mendekat pada pelaku eksekusi!

Suatu ketika, saya pernah berkunjung ke rumah Sri Roso Sudarmo. Karena kebetulan, adik ipar saya kost di sana. Ketika sedikit saya lakukan wawancara: ia sedemikian terbuka, menjelaskan ihwalnya dengan lancar, dan ia merasa dan beranggapan bahwa pers terlalu mendeskreditkan dirinya oleh kasus itu.

Sependek intuisi dan indera keenam saya: ia tidak berbohong! Entahlah, kalau memang ia aktor watak yang piawai yang bisa menyembunyikan sesuatu. Tapi realitasnya ia adalah seoarang tentara AD yang kaku dan fakta bahwa ia tak pernah kemana-mana untuk lari dari kasus yang membelitnya.

Saya melihat kasus ini sebagai bagaimana dunia pers juga melulu membangun mitologi dan pencitraan tentang dirinya. Mitos bahwa Udin dibunuh karena berita yang ditulisnya. Berita yang barangkali, untuk ukuran hari ini biasa-biasa saja. Bahkan bila kurang hati-hati dan kurang cukup bukti, dapat berbalik menjadi pencemaran nama baik. Bila memang benar adanya, tentu gelar perkaranya tidak serumit dan pelik seperti kali ini.

Sedikit merefresh balik, sekeras apakah tulisan Udin? Bagi saya lebih tepat, sekeras apakah "profiling berita" yang dimunculkan oleh Bernas yang pada saat itu memang baru diakuisisi secara manajemen oleh Kompas-Gramedia. Dan diberi visi sebagai "Kompas Yang Lebih Berani". Masyarakat Jogja beralih membaca dan langganan Bernas karena alasan tersebut. Adakah persaingan bisnis antar media, tak pernah menyentuh sampai ke sana. Dibicarakan pun tabu!

Tahun 2014 lalu, kasus ini secara hukum telah dianggap kedaluarsa karena telah melewati batas waktu 18 tahun sejak kasus terjadi. Namun banyak pakar hukum dan penggiat HAM meolak expired, karena realitasnya dianggap tak pernah ada kasus sama sekali yang terkait langsung yang pernah sampai di pengadlan, Karena bahkan pembunuhnya pun tak pernah mampu diidentifikasi. Sependek ingatan saya hanya berhenti pada sketsa-sketsa wajah yang bisu.

Lalu sampai kapan?

Dalam kasus Udin ini, tanpa mengurangi rasa hormat yang mendalam kepada diri dan keluarga Udin. Ia akan akan terus berhenti sebagai komoditi berita. Ia hanya berhenti sebagai discourse atau wacana. Lebih mulia sedikiti sebagai isu HAM, keadilan, dan ujungnya adalah menjadikannya sebagai monumen dunia pers. Sebagaimna juga ia terjebak dan dimitoskan mati karena berita yang ditulisnya. Ia berhenti oleh penghargaan ini itu dari berbagai lembaga. Tapi kasusnya bahkan sedikit pun tak bergerak, diam di tempat!

Kasus Udin untuk ke sekian lagi, hanya meneguhkan bahwa salah satu julukan yang paling tepat bagi Jogja adalah kota mitos. Setiap hari secara sengaja, maupun tidak sengaja orang membangun mitos-mitos baru. Sambil terus melestarikan mitos-mitos yang lama.

Dalam konteks Udin, selama kasus tak pernah terungkap secara tuntas. Maka akan abadi pula mitos bahwa profesi wartawan itu mulia, penuh resiko, dan taruhannya nyawa. Karena itu harus dilindungi, dihargai, dijamin hak-haknya, bla bla bla...

Padahal kalau meminjam gaya bicara dan gojekan anak milenial: mitos itu seru dan tampak gagah, padahal boong....

***
.