Liputan Menyebalkan

Liputan yang persiapannya sembilan bulan, sangat menguras tenaga, pikiran, dan duit tentunya, pada pelaksanaannya cuma dapat satu berita, dengan rekaman pertemuan selama 16 detik.

Senin, 18 Mei 2020 | 21:10 WIB
0
544
Liputan Menyebalkan
Hasan Wirayudha dan Condoleezza Rice (Foto: 2001-2009.state.gov)

Liputan paling ‘ribet’ yang saya alami selama jadi jurnalis adalah ketika meliput pertemuan empat mata antara Menlu RI, Hassan Wirayudha dengan Menlu Amerika Serikat, Condoleezza Rice pada perhelatan APEC 2005 di Busan, Korea Selatan.

Sembilan bulan sebelum pertemuan APEC 2005 digelar pada November, panitia melalui website resmi membuka pendaftaran bagi media yang akan meliput event tersebut. Dengan rinci ditampilkan semua jadwal pertemuan yang akan dilakukan oleh semua anggota delegasi dari semua negara anggota, termasuk jam dan tempatnya.

Semua jadwal dibuat sedemikian rapi, siapa saja yang akan hadir terdata dengan baik. Itu dilakukan guna mencegah aksi sabotase atau terorisme. Maklum, tiga tahun sebelumnya terjadi peristiwa September 11, 2001. Mereka sangat preventif, kalo tidak bisa dibilang paranoid.

Salah satu event yang kami (Antv) pilih untuk diliput adalah pertemuan empat mata antara Menlu RI, Hassan Wirayudha dengan Menlu Amerika Serikat, Condoleezza Rice, 18 November 2005 pukul 14.00 waktu setempat, di Hotel Westin Chosun, Busan. Enam bulan sebelum dilaksanakan, Kedubes Amerika Serikat meminta semua data terkait tim peliput, saya dan Iskandar Mandala (kamerawan). Data yang ditanyakan seperti kita mengajukan permohonan kartu kredit.

Dua minggu sebelum forum APEC dimulai, Kementerian Luar Negeri Amerika meminta konfirmasi, apakah jadi akan meliput pertemuan Wirayudha dengan Condy? Apakah tidak ada pergantian orang dalam tim peliputnya? Tanggal 10 November 2005 kami berlima, berangkat ke Seoul.

Pengalaman menyebalkan saya rasakan ketika berhadapan dengan petugas imigrasi Korea Selatan di Bandara Incheon. Saya menyerahkan paspor dengan dokumen perjalanan yang waktu itu harus ditunjukkan. Begitu petugas imigrasi itu membaca nama saya memakai ‘Mochamad’ dan saya lahir di Cianjur, dia langsung meminta saya masuk ke ruang khusus. Salah satu yang mereka tanyakan, “Apakah Anda kenal dengan Hambali (teroris)?” Dalam hati saya, “Halaahhh ... ini petugas imigrasi kok blo'on gini?”

Lalu saya jelaskan, bahwa jumlah warga Cianjur (2005) sekitar 2,5juta. Mungkin, orang yang bernama Hambali lebih dari 2000 orang, dan tak satupun yang saya kenal.” Untuk meyakinkan petugas itu, saya bilang, “Saya jurnalis, kalau Anda perlu dengan saya, silakan Anda tanyakan langsung ke Dubes RI untuk Korea, Pak Jacob Tobing. Ini nomor kontaknya!” Selesai.

Saya sudah perkirakan kalau pengamanan event itu akan sangat ketat. Kenyataannya, lebih ketat dari yang saya duga. Bukan hanya polisi dan Pasukan Anti Teror Korea yang menjaga setiap sudut bandara, tapi Marinir Amerika pun ikut berjaga. Mereka sudah berlagak seperti majikan di Korea.

Dari Incheon perjalanan dilanjutkan ke Busan, sekitar satu jam penerbangan. Ceritanya kami sudah duduk manis di pesawat Asiana Airlines. Tiba-tiba seorang bule setengah baya berdiri, dia meminta awak pesawat menunda penerbangan. “I saw something like a detonator on a passenger’s bag,” katanya setengah teriak. Belakangan diketahui, lelaki itu adalah seorang Secret Service.

Kami langsung dievakuasi, semua barang bawaan ditinggal dipesawat untuk diperiksa. Keluar dari pesawat langsung antre untuk melewati metal detector. Sepatu pun harus dibuka. Tiba-tiba saya dapat ilham. Si Rendra (video editor) yang berdiri di depan saya, saya bisikin, “Kaos kaki lu juga dibuka.” Ehh ... beneran dia buka kaos kaki. Petugas operator scaner terlihat menutup hidung saat menarok sepatu Si Rendra ke scaner conveyor.

Karena Si Rendra lelet, saya mengambil sepatu duluan. Tahu ada sepatu Si Rendra di situ, langsung kedua talinya saya ikatkan, ikat mati. Lalu saya menuju ruang tunggu. Dari jauh saya lihat coba melepas ikatan tali sepatunya. Karena agak sulit, sambil ngedumel dia jalan sambil nenteng sepatunya yang masih terikat. Pasukan Anti Teror Korea yang tadinya berdiri kaku, geleng-geleng kepala sambil tertawa lihat Si Rendra ngomel-ngomel sambil jalan. “Bangsat lu ngiketin tali sepatu gw ... !” umpatnya. Saya tertawa.

Tanggal 17 November 2005 kami dihubungi oleh petugas Kedubes Amerika di Korea, yang menanyakan lagi, “Apakah bosok jadi Anda meliput pertemuan Wirayudha dengan Condy?” Dia memberitahu, pertemuan akan dimulai pukul 14.00 berlangsung selama 30 menit. Kami harus sudah datang pada pukul 10.00. Waduuuhhh ... !

Besoknya, pukul 09.45 taksi yang membawa saya dan Iskandar, sudah sampai di jalan dekat Westin Chosun, Busan, hotel tempat Presiden Bush dan rombongan menginap. Jarak dari tempat turun dari taksi ke hotel itu sekitar 500 meter. Begitu turun dari taksi kami langsung disambut dan diantar Marinir Amerika menuju hotel.

Selama Presiden Goerge Walker Bush berada di Busan, Hotel Westin Chosun yang berada di tepi pantai, dijaga sangat ketat. Marinir Amerika berjaga melingkari hotel itu. Sedangkan Secret Service bertebaran di halaman dan lobby hotel. Secara teknis, hotel itu seperti dioperasikan oleh Secret Service. Tidak hanya itu, di langit bergantian helikopter US Navy berputar-putar selama 24 jam tanpa henti. Sementara di lepas pantai tampak dari jauh CVN-72 USS Abraman Lincoln dan LDH-6 USS Richard Bonhomme bersama puluhan kapal escortnya.

Memasuki halaman hotel, kami diperiksa dengan sangat teliti, semua peralatan yang dibawa masuk scaner. Begitu juga ketika memasuki lobby, diperiksa lagi. Kami disambut oleh dua orang Secret Service yang cukup ramah. “Gentlemen, welcome for coming. I would like to let you know that in this hotel, two VVIPs stay. President of United State and US State Secretary. Please follow all our regulatios here. Any question?”

Setelah diperiksa lagi, kami dibawa ke satu ruang kaca yang mengahadap ke laut. Di situ kami diberitahu, bahwa kami satu-satunya media yang meliput pertemuan tersebut. Kami didampingi dua orang yang ramah, tapi terus-menerus bertanya tentang kami, tentang pengalaman liputan, tentang Indonesia. Di ruang itu sekitar satu jam. Kami sempat berfoto-foto.

Kemudian kami dipindah ke satu ruang di samping ruang tadi. Dua orang masuk, satu negro dan satu lagi berwajah Korea. Mereka juga ramah dan terus-menerus bertanya hal yang sama, yang sudah ditanyakan dua orang sebelumnya. Mungkin mereka menguji konsistensi jawaban kami. Di ruangan ini pun kurang lebih satu jam. Lalu dipindah lagi ke ruangan lain. Ternyata kami dijamu makan siang. Dua orang menemani makan siang. Juga bertanya-tanya dengan pertanyaan yang sama.

Menjelang pukul 14.00 masuk seorang bule masuk ruangan. “Gentlemen, thanks for yor cooperation. Right now US State Secretary and Mr. Wirayudha has been at the room. You are clean, and welcome into the room to take picture.” Lega mendengar dia ngomong begitu.

Kami berjalan mengikuti bule itu ke ruang pertemuan dua Menlu. Tapi tiba-tiba dia berhenti dan meminta kami berdua berdiri, tas dan semua peralatan termasuk sepatu dibuka, diletakan di lantai. Lalu datang seorang marinir membawa dua anjing pelacak. Kami dan semua barang bawaan diendus sama tuh gogog, layaknya tersangka kurir narkoba. Duh kok gini amat ...?!

Setelah selesai, kami diantar masuk ke ruang pertemuan. Begitu kami masuk, Condy yang mengenakan baju merah dan rok hitam langsung melambaikan tangan tersenyum ‘manis’. Menlu Hassan hanya mengangkat tangan. Secret Service yang mengantar kami ngomong. “Oke Gentlemen, your time to take picture is one minute.” Bujug buneeeng ...! Alhasil Iskandar hanya bisa mengambil gambar efektif selama 16 detik!

Dengan terpaksa kami keluar, menunggu pembicaraan kedua Menlu selesai. Kami dipersialakan memasang tripod dengan jarak sekitar lima meter dari pintu ruangan. Akhirnya pintu terbuka, Condy keluar duluan sambil dadah-dadah. “Mrs. Condy, may I have two minutes for a question?” sapa saya. “We have good news for you. All things I have told to Mr. Wirayudha. Please ask His Excellency,” jawabnya sambil berjalan menuju lift. Lalu seseorang memberi saya dua lembar kertas Press Release.

Akhirnya kami wawancara cukup lama dengan Menlu Hassan Wirayudha. Selesai wawancara, sambil berjalan ke luar Menlu Hassan menggandeng saya. “Eta hasil wawancara barusan, jangan dulu ditayangkan nya. Saya mau laporkan dulu ke Presiden,” pintanya dalam logat Sunda. Besok, Jumat, 19 November 2005, Presiden SBY akan bertemu dengan Presiden Bush. Menlu Hassan masuk mobil dan berlalu. Ada yang tidak match antara ‘good news’ yang dikatakan Condy dengan wajah Menlu Hassan yang gak happy.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirayudha menjelaskan, dalam pertemuan itu, Menlu Condoleezza Rice mengatakan, tanggal 14 November 2005 Presiden Bush telah menandatangani dua undang-undang yang berkaiatan dengan Indonesia. Pertama, Undang-undang Apropriasi House of Representative 3057 mengenai pencabutan embargo senjata. Kedua, Undang-undang Apropriasi House of Representative 2601 mengenai pencabutan agenda pembahasan isu Papua di Kongres.

Mendengar penjelasan itu, pikiran saya langsung nyerocos, “Berarti kita sudah bisa mengajukan pembelian peralatan militer yang dibutuhkan kepada Pemerintah Amerika, para perwira TNI dan Polri sudah bisa lagi ikut pendidikan militer di Amerika kayak IMET.”

Lalu saya baca Press Release itu. Barulah jelas. Untuk bisa mengimplementasikan undang-undang apropriasi HR 3057 dan 2601 itu Presiden Bush menyodorkan lima persyaratan yang harus dipenuhi Pemerintah Indonesia. Kelima persyaratan tersebut antara lain, Pemerintah Indonesia harus menyerahkan perwira TNI yang mereka tuduh telah melanggar HAM di Timor-Timur ke pengadilan HAM Internasional. Wah ini tidak mungkin bisa dipenuhi.

Penawaran dari Presiden Bush melalui dua undang-undang tersebut, hanya berlaku selama 180 hari terhitung sejak ditandatangi 14 November 2005. Jika dalam waktu 180 hari Pemerintah Indonesia tidak bisa memenuhinya, maka dua undang-undang itu akan ditinjau kembali. Artinya penawaran itu ditarik lagi.

Keesokan harinya, setelah mendapat laporan dari Menlu Hassan Wirayudha, Presiden SBY tampak bete. Tadinya sawa mau wawancara seusai shalat Jumat di hotel, dikasih tahu sama Andi Mallarangeng, Presiden gak happy dengan sikap Amerika. Rencana pertemuan dengan Presiden Bush dan Presiden Vietnam, Tran Duc Luong dibatalkan.

Gantinya Presiden SBY mengadakan pertemuan dengan Presiden Putin. Hampir semua wartawan Indonesia yang meliput APEC 2005 diajak ke pertemuan itu. Kami para wartawan dikasih waktu sekitar 15 menit untuk bercengkrama dalam jarak dekat dengan Presiden Putin. Dalam pertemuan itu Presiden SBY dan Presiden Putin membahas pembelian Sukhoi-30 oleh Indonesia.

Liputan yang persiapannya selama sembilan bulan, sangat menguras tenaga, pikiran, dan duit tentunya, pada pelaksanaannya cuma dapat satu berita, dengan rekaman pertemuan selama 16 detik. Benar-benar ‘good news’ kata Condy is bad news kata saya.

***