Indonesia sebagai "Agama"

Indonesia sebagai agama adalah harapan kita semua untuk mewujudkan perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama.

Rabu, 29 Mei 2019 | 16:11 WIB
0
443
Indonesia sebagai "Agama"
Lukisan Picaso (Foto: RumahFilsafat.com)

Gejala perpecahan tampak di berbagai tempat di Indonesia sekarang ini. Karena perbedaan pilihan politik, keluarga dan pertemanan terpecah. Suasana hidup bersama menjadi muram dan penuh ketakutan. Ada kekhawatiran mendasar, ketika konflik terjadi, kelompok minoritas (suku, ras dan agama) akan kembali menjadi kambing hitam, seperti pada 1998 lalu.

Radikalisme agama tercium begitu tajam di udara. Ajaran dari ribuan tahun lalu dibaca secara mentah dan dangkal, sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada kebencian dan konflik. Agama pun dimainkan di dalam ajang perebutan kekuasaan politik. Padahal, ketika agama dan politik kekuasaan bercampur, keduanya akan membusuk.

Ekonomi tetap menjadi persoalan besar di Indonesia. Sekelompok orang menjadi begitu kaya. Sementara, sebagian besar lainnya hidup dalam kemiskinan. Tak perlu data statistik rumit untuk melihat hal ini. Kita cukup membuka mata, dan melihat ketimpangan ekonomi yang begitu besar di berbagai penjuru Indonesia. Pemerintah tampak tidak berbuat apapun soal ini.

Memang, ini adalah persoalan-persoalan yang amat rumit. Banyak sebab yang mendasarinya. Jalan keluarnya pun membutuhkan pertimbangan yang amat dalam dan luas. Namun, ada satu akar penyebab yang amat penting untuk diperhatikan, yakni ikatan Ke-Indonesiaan yang semakin melemah.

Indonesia sebagai “Agama”

Banyak orang Indonesia tidak lagi melihat diri mereka sebagai orang Indonesia. Mereka lebih memilih melihat diri mereka sebagai orang Islam, Kristen, Jawa, Batak dan sebagainya. Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lagi tertanam di hati mereka. Itu hanya menjadi slogan yang muncul, ketika upacara ataupun untuk menghindari tuduhan makar.

Di sinilah arti pentingnya melihat Indonesia sebagai “agama”. Dalam bahasa Inggris, religion (agama) memiliki akar kata Latin, yakni religare dan religio. Artinya adalah sesuatu yang mengikat atau menyatukan dalam satu kewajiban nilai tertentu. Dalam arti ini, maka Indonesia harus menjadi ikatan utama, lebih dari ikatan suku, ras ataupun agama. Ini amat penting, supaya keutuhan dan perdamaian hidup bersama bisa terlaksana, tanpa banyak hambatan yang berarti.

Baca Juga: Politik Dagang Agama

Dalam soal waktu, Indonesia sebagai ikatan politik memang lebih muda, daripada suku, ras dan agama yang sudah ada sebelumnya. Namun, ini bukan berarti, bahwa ikatan ke-Indonesia menjadi kurang berarti. Indonesia menjadi berharga, karena ia lahir dari kesepakatan bebas dari berbagai penjuru nusantara untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama. Indonesia bukan hanya warisan alamiah, seperti suku, ras maupun agama.

Maka tak heran, Indonesia seringkali disebut ibu pertiwi. Sosok ibu adalah sosok yang memeluk dan menerima, tanpa pamrih. Indonesia mengikat dan menyatukan ratusan suku, ras dan agama ke dalam pelukannya. Ia merawatnya, dan mengembangkannya dengan menyediakan gizi dan perhatian yang dibutuhkan.

Pancasila adalah bentuk dari gizi dan perhatian itu. Pancasila menyediakan dasar nilai untuk hidup bersama. Pancasila juga menyediakan arah bersama, yakni keadilan dan kemakmuran untuk semua, tanpa kecuali. Jika Indonesia dan Pancasila begitu luhur dan agung, mengapa ikatannya semakin lemah dewasa ini?

Krisis Ke-Indonesiaan

Lemahnya ikatan ke-Indonesiaan terjadi, karena beberapa sebab. Pertama, kehadiran politisi busuk sebagai wakil rakyat maupun pejabat negara sungguh melunturkan harapan banyak orang atas Indonesia. Ketika pemerintah diisi oleh politisi korup, rakus, arogan dan kelompok radikal agama, maka kepercayaan rakyat pada negara pun akan lenyap. Rakyat tidak lagi melihat dirinya sebagai bagian dari Indonesia, tetapi mengecilkan kelompoknya sampai ke tingkat primordial, yakni suku, ras dan agama.

Dua, tata ekonomi yang sudah diterapkan pemerintah menciptakan ketimpangan yang begitu besar antara yang kaya dan yang miskin.

Tidak hanya itu, rakyat pun menyaksikan, bahwa pemerintah kerap kali hanya berpihak pada orang-orang kaya, supaya bisa dijadikan investor, baik dalam negeri maupun luar negeri. Ketidakpercayaan kepada pemerintah pun semakin besar. Sulit mencintai Indonesia, ketika orang hidup dalam kemiskinan yang disebabkan oleh pemerintahnya sendiri.

Tiga, mutu pendidikan Indonesia amat sangat rendah. Bahkan, beberapa pengamatan menunjukkan, bahwa radikalisme agama justru disebarkan melalui pendidikan. Sekali lagi, pemerintah tak berbuat apa-apa soal ini. Pejabat-pejabat negara yang mengurus pendidikan pun cenderung tidak kompeten, mendiamkan masalah, dan bahkan menambah banyak masalah baru.

Dengan semua gejala itu, tak heran, bahwa ikatan Ke-Indonesiaan semakin lemah, bahkan ditinggalkan. Siapa yang mampu mencintai sebuah bangsa yang pemerintahnya diisi politisi busuk, koruptor dan radikalis agama? Siapa yang mampu mencintai sebuah bangsa yang memperbodoh dan mempermiskin rakyatnya? Mungkin ada. Tapi pasti, jumlahnya amat sangat kecil.

Melangkah Lebih Jauh

F. Budi Hardiman, di dalam bukunya yang berjudul Demokrasi dan Sentimentalitas, sempat menyinggung konsep Patriotisme Konstitusi. Konsep ini kiranya sejalan dengan konsep “Indonesia sebagai Agama”. Keduanya membutuhkan kemampuan rakyat untuk melampaui pandangan-pandangan primordialnya, dan memeluk pandangan yang lebih luas dengan berpijak pada kebebasan dan akal sehat.

Baca Juga: Mengapa Jualan Agama Demikian Laku?

Namun, ini akan menjadi tidak mungkin, jika keadaan politik, ekonomi dan pendidikan Indonesia masih seperti sekarang. Pembenahan keseluruhan mutlak dibutuhkan untuk mengembalikan ikatan Ke-Indonesiaan yang sempat luntur.

Dalam konteks ini, agama-agama yang sudah ada, seperti Buddha, Hindu, Islam, Kristen, Kong Hu Cu, dan agama-agama lainnya, harus ditempatkan dalam payung Ke-Indonesiaan. Dengan kata lain, semua agama yang ada harus menjadi milik Indonesia, dan ditafsirkan dalam kerangka nilai-nilai Pancasila. Buddha dan Hindu tidak lagi menjadi milik India, melainkan menjadi Buddha Indonesia dan Hindu Indonesia. Kristen menjadi Kristen Indonesia. Islam menjadi Islam Indonesia.

Akhir kata, Indonesia sebagai agama adalah harapan kita semua untuk mewujudkan perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama. Ia harus diterus dirawat dan dibenahi. Tantangan besar, dalam bentuk politisi busuk, kemiskinan, pembodohan dan radikalisme agama, tetap menuntut untuk diselesaikan. Mari kita mulai menyelesaikannya.

***