Musailamah dan Para Penyebar Hoax

Kamis, 3 Januari 2019 | 18:41 WIB
0
520
Musailamah dan Para Penyebar Hoax
Ilustrasi

Cerita tentang Musailamah, yang oleh Nabi diberi gelar AlKadzab – si pembohong besar, ini banyak diketahui umat Islam, sebagai pengingat bagaimana pembohong berkeliaran di jaman Nabi.

Musailamah si Pembohong ini mati ditombak oleh Wahsy – si jagal Quraishy dalam perang Yamama, tahun 632M.

Sepeninggal Nabi, umat yang baru seumur jagung ini banyak diracuni oleh para pembohong dan munafik. Nabi palsu pun bermunculan, laki-laki dan perempuan.

Untuk menegakkan kedaulatan pemerintahan Madinah, khalifah yang baru diangkat; Abu Bakar mengirim ekspedisi perang yang dipimpin oleh Khalid alWalid ke daerah-daerah yang ditengarai melakukan pemberontakan, khususnya yang mendaku diri sebagai nabi-nabi baru.

Pengakuan nabi baru ini tidak saja merongrong kekuasaan Medinah, tapi juga men-delegitimasi kenabian Muhammad SAWW yang sejak hidupnya sudah menegaskan tak ada lagi nabi dan rasul setelah beliau.

Bahkan setelah mereka bertemu dan mendengar sendiri kalam Tuhan dari sang Nabi, tapi cahaya hidayah seperti tak melintas di hati mereka.

Jadi ini bukan hal baru. Jangankan mereka yang hanya bermodalkan jubah agama saja, bahkan manusia yang sudah pernah menatap wajah Rasul yang mulia di zamannya, masih saja bisa menyebarkan kebohongan.

Musailamah yang berasal dari Banu Hanifa, tak sendirian menyebarkan kebohongan. Ada juga Tulayha dari Banu Asad dan perempuan Sajah dari Banu Tamim. Berkat kemampuan sihir dan retorikanya, para nabi palsu itu berhasil menghimpun lebih dari 4000 jemaah.

Bahkan ketika Nabi masih hidup, dia terang-terangan menulis surat ke Nabi tentang keinginannya berbagi dunia dgn umat Islam. Separuh untuk umat Nabi Muhammad, separuhnya untuk umat dia.

Musailamah tak diusik oleh Nabi sampai wafatnya beliau, kecuali tadi, diberi gelar al-Kadzab si Pembohong besar.

Ketika Nabi Muhammad SAWW mangkat, Musailamah semakin bergelora. Dia merasa punya kesempatan meluaskan “kenabian palsunya” itu. Bahkan ia menikahi perempuan yang sama-sama mengaku Nabi juga, Sajah bin Alharith.

Untuk menyatukan umat palsu mereka, Sajah turut mengakui kenabian Musaylamah. Jadilah dua nabi palsu berkelindan dalam biduk rumah tangga politik yang menggelikan.

Panglima Khalid AlWalid kemudian menumpas kedua pasangan nabi palsu ini di perang Yamamah. Musaylamah tewas oleh tombak Wahsy. Sajah, si nabi palsu perempuan, tak terbunuh. Ia diampuni dan kemudian menyerahkan diri menjadi mualaf.

Anda melihat kesamaan dengan Pilpres 2019?

Ya, kebohongan merajalela. Baru tiga hari di awal 2019, kita sudah mencatat 3 hoax bersebaran; soal tuduhan RSCM menggunakan selang cuci darah berkali-kali, hoax soal 70 juta surat suara di Priok, Tol Palimanan tanpa Utang.

Semuanya bohong, terang-terangan.

Tapi mereka diperlakukan bukan sebagaimana si Musaylamah dan istrinya, Sajah: ditumpas. Penyebar hoax pilpres 2019 ini justru dielu2kan oleh pendukungnya, jutaan jumlahnya. Lewat media, kabar bohong ini disebar-sebarkan kemana-mana.

Sebaran kebohongan ini seperti skenario Musailamah, melakukan delegitimasi atas kebenaran. KPU yang sudah bersungguh-sungguh bekerja dijatuhkan integritasnya. Rumah Sakit yang tak henti mendarmabaktikan dirinya untuk mengobati umat malah dicemooh kabar palsu.

Kita tak hanya butuh Khalid Alwalid untuk menumpas mereka, tapi kita juga butuh Wahsy – orang-orang yang bertobat setelah melakukan kejahatan di masa sebelumnya, untuk menyadarkan bahwa pilpres ini hanyalah kontestasi politik biasa. Tak layak ditimpali dengan kebohongan demi kebohongan.

***