Ucapan Natal Umat Katolik dan Protestan

Menunjukkan bahwa gap antar generasi itu memang nyata! Selalu pergeseran generasi menyebakan lahirnya gaya hidup dan cara pandang baru.

Sabtu, 25 Desember 2021 | 13:07 WIB
0
217
Ucapan Natal Umat Katolik dan Protestan
Kartuspos lama (Foto: dok. pribadi)

Pada masa lalu, membedakan orang Katolik dan Protestan merayakan Natal itu gampang ditandai dari cara mengucapkannya. Bagaimana mereka menuliskannya atau melafalkannya. Tapi mereka sepakat merayakannya pada tanggal yang sama: 25 Desember.

Sebenarnya pilihan tanggal itu, semacam "kesepakatan" bersama di antara mereka yang disebut sebagai Gereja Barat yang lebih berciri pada kemodernan karena sifat ekspansif dan renaisantisnya. Terlepas bahwa Katolik dan Protestan tak pernah bisa betul-betul satu dalam banyak cara beribadah dan memaknai detail-detail peribadatan. Namun mereka satu dalam hal pemaknaan hari kelahiran dan kebangkitan "Si Anak Tuhan, Si Putra Yang Kudus".
Minimal dalam memilih tanggal dan bulan.

Sekalipun demikian, tanggal tersebut ditolak oleh kalangan Gereja Ortodok yang baru merayakan Kelahiran Yesus, 13 hari kemudian. Gereja Ortodok ini tersebar sangat luas mulai dari Ethiopia di tanduk Afrika, hingga di Russia yang berpusat di kawasan Moskwa.

Menjelaskan kenapa mereka merasa dirinya lebih orthodoks, lebih kuno, lebih purba. Mereka merayakan pergantian tahun dulu baru kemudian merayakan Hari Natal.

Di Indonesia sendiri, gereja Orthodok pernah hidup di lingkungan migran Armenia yang sekalipun sangat minoritas dan hanya berjumlah belasan keluarga. Tapi jejak peninggalan sejarahnya sangat kuat di negeri ini. Mereka terlibat dalam bisnis hotel, perkebunan, perdagangan logam mulia. Bahkan karya fotografi. Dan semuanya selalu menjadi yang terbaik!

Sayang gereja satu-satunya yang pernah mereka miliki, yang terletak di Kebon Sirih diruntuhkan, untuk memberi tempat pembangunan gedung baru Bank Indonesia. Gereja ini kecil saja, lebih tepat disebut kapel. Tapi sangat indah dan berselera. Menunjukkan mereka ini adalah "komunitas yang tahu diri". Tapi selalu berhasil menunjukkan jejak kuat eksistensinya.

Lucunya mereka disebut Gereja Timur, walau areanya sama sekali tidak mencerminkan hal tersebut. Barangkali "Timur" ini lebih bermakna bahwa mereka merasa diri sebagai yang lebih awal (atau lebih murni). Orang Jawa sendiri suka menyebut anak kecil sebagai "bocah isih Timur". Atau membahasakan dirinya saat masih pra-akil balik sebagai "rikala kula taksih Timur". Tentu dengan bahasa krama inggil yang sangat halus, sopan, dan penuh kerendahan hati.

Dalam banyak kartu pos era pasca Perang Dunia II. Agak mengherankan banyak kartu pos lama pada era keemasannya (periode 1890-1940). Tak banyak memproduksi kartu pos ucapan Natal dan Tahun Baru. Justru ketika era Perang Revolusi, saat kemerdekaan RI telah diproklamasikan. Tetapi Belanda belum lagi rela melepas daerah koloninya itu. Saya tak lagi merasa tega menyebut sebagai daerah jajahan. Menyebutnya demikian, untuk ukuran saat ini itu jadi terasa sangat rasis dan sinis bagi saya!

Banyak sekali, kartu pos tersebut dibikin oleh masing-masing komunitas militer atau kelompok pasukan di berbagai kota. Sebagian dengan gambar yang lucu-lucu. Bagi sebagian "orang tua", menganggap perilaku anak-anak muda yang demikian itu. Mereka yang dikirimkannya sebagai "tentara amatiran" itu sebagai alasan kenapa Hindia Belanda akhirnya lepas dari tangan mereka. Mereka menganggap para tentara muda mereka lebay, terlalu banyak guyon dan tak serius.

Menunjukkan bahwa gap antar generasi itu memang nyata! Selalu pergeseran generasi menyebakan lahirnya gaya hidup dan cara pandang baru.

Saya memiliki sebuah kartu pos yang kebetulan dikirimkan oleh seorang "domba", begitu mungkin orang Katolik menyebut dirinya sebagai umat kepada seorang "gembala" yang tak lain Sang Bruder atau Romo. Saya gak tahu, walau secara literasi itu salah, tapi abadi cara penulisannya. Bukan Rama sebagaimana seharusnya. Sebagaimana sebenarnya telah lama diteladankan dalam kartu pos ini. Mungkin takut tertukar dengan Rama yang menjadi pasangan Sinta dalam epos Ramayana. Ah!

Di dua kartu pos ini, dengan mudah kita mengenali bahwa ucapan "kerstmis" itu menandakan ia seorang Katolik, sedangkan orang Protestan akan mengucapkannya sebagai "kerstfeest." Keduanya sama penterjemahan bebas dari "chrismast" yang di hari-hari ini menunjukkan bahwa bangsa ini memang jadi lebih "keminggris". Tiba-tiba malah jadi Anglo Saxon, walau sesungguhnya mereka punya bentuk gereja lain yang sama sekali tak dikenal akrab di negeri ini.

Karena saya dibesarkan dalam lingkungan Katolik, saya memilih ngaturake kagem sedaya sederek Kritiani: Sugeng Kersmits lan Warsa Enggal. Mugi tansah pinaringan sehat, berkah lan rahayu.

NB: Saya makin paham kenapa pada masa lalu, saat para tentara remaja itu sangat suka menganalogikan dirinya sebagai "monyet". Primata kurang cerdas yang belum semaju kera perkembangan otaknya. Monyet si primata berekor adalah ironi yang menunjukkan sisi tragis dari nasib mereka yang tak berdaya. Harus bersedia dikirim ke medan perang, yang mereka yakin tak mungkin dimenangkannya. Tanah yang sudah terlepas, kuasa yang hilang yang tak mungkin direngkuhnya lagi.

Setiap ucapan selamat ke kampung halaman mereka, yang seolah selalu bermakna sinyal tanda perpisahan. Entah akan pulang selamat atau tidak!

Dari kartu pos yang dikirimkan dari Blitar ke Madiun, saya mencatat bahwa penggunaan kata "paduka" pada masa itu masih sangat jamak. Yang tak terbatas disampaikan pada Raja atau Kepala Negara, tetapi kepada seorang agamawan. Sesuatu yang jadi berlebihan bila diucapkan kepada siapa pun pada hari ini. Bahkan untuk Presiden sekali pun. Untuk Raja?

Entahlah. Tak ada lagi Raja yang pantas menyandangnya. Kaum agamawan? Di lingkungan umat Kristiani, mereka tak lagi butuh "kegilaan" seperti ini.

Mungkin justru untuk kalangan para mayo itu? Sayangnya mereka tak punya tradisi itu. Mereka merasa sudah cukup dengan istilah sebagai "keturunan Nabi", yang kekuatan magisnya dianggap lebih sakti dan menjual!

***