Naluri Terhubungkan

Uusai pensiun dari Kompas, saya tetap memelihara keterhubungan ini dengan titik-titik yang sudah membentuk pola, bahkan saya berusaha memperluas atau menciptakan titik-titik lainnya.

Jumat, 26 Maret 2021 | 08:16 WIB
0
230
Naluri Terhubungkan
Sampul majalah Hai tahun 1984 (Foto: Daniel Supriyono)

Naluri manusia untuk terhubung satu dengan yang lain sesungguhnya merupakan naluri purba yang tetap melekat pada masing-masing orang. Sulit membayangkan manusia bisa hidup seorang diri, tanpa saudara, kerabat dan sahabat di sebuah pulau terpencil, kecuali dalam sebuah tayangan televisi yang sering saya tonton.

Sebagai makhluk sosial, manusia harus bersosialisasi, berkumpul, menyatu dengan manusia lainnya. Lebih dari itu, manusia harus selalu terhubung satu dengan yang lainnya, mengatasi jarak dan waktu. Orang bilang, sekarang eranya berkolaborasi, kerjasama, meski tidak boleh melumpuhkan semangat kompetisi.

Foto di bawah ini dikirim rekan Daniel Supriyono yang dulu bekerja di Majalah Hai (atau kelompok Kompas Gramedia) sebagai fotografer. Rupanya Mas Daniel menemukan surat permohonan saya kepada khalayak pembaca Hai di Rubrik "Hai Sayang", ditulis tahun 1984, semasa saya masih duduk di bangku SMA.

Mengapa saya terpikir menulis surat terbuka semacam itu? Intinya, di kota Tasikmalaya, sulit ditemukan partitur gitar klasik di mana saat itu saya mempelajarinya dengan tekun di Kursus Gitar Yamaha, sehingga saya meminta tolong kepada siapapun pembaca Hai yang memiliki partitur gitar klasik tersebut dan sudi mengirimkan fotokopiannya untuk saya bayar.

Jangan membayangkan sekarang ini, saya curhat di Facebook bahwa saya ingin memiliki partitur gitar komposisi apapun, misalnya, dengan mudah saya lakukan. Atau masuk saja ke komunitas gitar klasik di media sosial, dengan sekejap apa yang saya inginkan sudah saya dapatkan.

Tapi tulisan sederhana ini bukan tentang partitur gitar, tetapi naluri terhubungkan itu. Naluri itu membimbing saya, bahwa saya tidak hidup sendiri di kota kecil ini, ada banyak orang yang sehobi (gitar klasik) yang tersebar di seluruh dunia dan upaya saya menulis surat kepada Majalah Hai itu sebagai langkah menuju keterhubungan secara sosial dimaksud.

Kelak prinsip ini saya pegang dalam perjalanan hidup saya, bahkan sampai sekarang, betapa "connecting dot" ini, menghubungkan satu titik dengan titik lainnya itu, sangat menunjang kehidupan. Tepatnya memudahkan, barangkali.

Contoh kecil, sebagai wartawan pada masa lalu, saya selalu meminta nomor kontak kepada narasumber, kepada sesama wartawan, kepada orang-orang "tidak penting" tetapi punya akses ke berbagai orang dan lembaga, yang memudahkan pekerjaan saya. Saya menjadi terhubungkan dan sebagian besar pekerjaan jurnalistik menjadi mudah dilakukan, karena terhubung itu tadi.

Baca Juga: Kompas Inside [11] Petrus Kanisius Ojong atau Auw Jong Peng Koen

Saat saya membangun Kompasiana, saya mengumpulkan warga penulis yang terhubung satu dengan yang lain, terinspirasi oleh Friendsters dan Bolehcom yang memungkinkan penggunanya terhubung, juga Facebook dan lain-lain. Alhasil, interaktivitas itu ternyata kata-kunci yang memungkinkan Facebook dan bahkan Kompasiana menjadi entitas bisnis besar.

Kini usai pensiun dini dari Kompas sejak 4 tahun lalu, saya tetap berusaha memelihara keterhubungan ini dengan "dot-dot" (titik-titik) yang sudah membentuk pola, bahkan saya berusaha memperluas atau menciptakan titik-titik lainnya. Tentu titik-titik yang tidak berdiri sendiri, melainkan titik-titik yang sudah terhubungkan.

Sayalah yang menghubungkan titik-titik itu.

***