Musik, Manipulasi dan Transendensi

Memang, kita semua butuh hiburan. Musik pun menjadi potongan cerah di hari yang berat, karena berbagai tekanan kehidupan. Namun, jangan sampai musik berhenti disisi ini.

Jumat, 4 Desember 2020 | 06:30 WIB
0
171
Musik, Manipulasi dan Transendensi
Ilustrasi mendengar musik (Foto: republika.co.id)

Sejak kecil, saya suka sekali mendengar musik. Masih terngiang teriakan Achmad Albar dengan lagu Semut Hitam-nya. Waktu itu, di dekade 1980-an,setiap hari lagu tersebut diputar di rumah kami. Gebukan drum dan melodi sangar para musisi Godbless terdengar keras, bahkan sampai di ujung gang.

Masa remaja saya pun diisi dengan musik. Karena pengaruh kuat dari Godbless, musik Rock menjadi pilihan saya. Lengkingan Axl Rose dari Guns and Roses dan sayatan gitar dari Eddie Van Halen mengisi hari-hari saya di masa itu. Pengaruh musisi Indonesia, seperti Dewa, Jamrud dan Boomerang, juga tak kalah kuat.

Musik, sejatinya, memang sebuah ekspresi kehidupan. Hampir semua relung kehidupan menemukan suaranya dalam lirik dan alunan musik yang khas. Pada musik Rock, ciri kebebasan dan pemberontakan terhadap tradisi menjadi warna yang kuat. Jenis musik lain memiliki nilai lain pula yang unik.

Musik juga sebuah eksplorasi. Warna musik baru ditemukan. Gaya menyanyi baru dirumuskan. Sejak lahirnya iTunes dan Spotify, seluruh industri musik pun berubah total.

Salah satu tema favorit adalah soal ingatan. Kejadian masa lalu dituliskan ulang dalam bentuk lirik yang menyayat. Tema patah hati dan perpisahan menjadi tema unggul sepanjang masa. Ratusan, bahkan ribuan, lagu telah ditulis atas nama kedua hal tersebut.

Dalam hitam kelap malam
Ku berdiri melawan sepi
Di sini di pantai ini
Telah terkubur sejuta kenangan
Di hempas keras gelombang
Dan tertimbun batu karang
Yang tak kan mungkin dapat terulang

(Lirik lagu Mimpi dari Anggun)

Harapan juga menjadi tema yang kerap diangkat. Orang berharap cinta akan berjalan lancar sampai akhir hayat. Ada juga lagu-lagu yang menawarkan harapan di bidang politik. Lagu-lagu religi bertemakan surga pun cukup laku di kalangan masyarakat tertentu.

Pada dasarnya, musik adalah karya imajinasi. Ia adalah abstraksi dari pengalaman-pengalaman hidup manusia. Ia adalah bayangan, baik tentang masa lalu yang kelam, ataupun masa depan yang penuh harapan. Musik, dalam arti ini, bukanlah kenyataan.

Di sinilah manipulasi terjadi. Musik menjadi candu yang membuat orang terlena di dalam khayalan. Ia mencabut manusia dari kenyataan disini dan saat ini. Musik menjadi produk budaya yang tidak memberdayakan, melainkan menumpulkan daya-daya kehidupan.

Dalam alunan musik dan lirik yang syahdu, orang dibawa ke masa lalu. Orang juga digiring ke masa depan, yakni ke dalam harapan yang kerap kali tak berdasar. Semuanya menjadi barang jualan yang amat menguntungkan. Seluruh industri musik modern berpijak pada hal ini.

Memori
Kau membuka luka lama
Yang ku ingin lupa
Memori
Tolong daku pergi jauh
Janji takkan kembali
Memori

Sekedip matamu seakan dalam mimpi
Senyummu, lesungmu, wajahmu menjelma
Hayalan lembut memukau hati
Ke dulu kala hari yang bahagia

(Lirik lagu Memori dari Ruth Sahanaya)

Dengan manipulasi, kita diajarkan hal-hal yang salah. Kita diajarkan untuk melekat pada kenangan masa lalu. Kita juga diajarkan untuk melekat pada harapan yang tak punya dasar di kenyataan. Kelekatan, dalam arti ini, adalah ilusi, bahwa kita tidak dapat bahagia, tanpa obyek kelekatan yang kita punya.

Kita tidak dapat bahagia, jika mantan kita tidak kembali ke pelukan. Kita tidak dapat bahagia, jika pasangan yang diinginkan lepas dari genggaman. Kita tidak dapat hidup, tanpa satu sosok perempuan atau lelaki yang didambakan. Semua ini adalah omong kosong yang dijual oleh industri musik populer.

I can’t live
If living is without you
I can’t live
I can’t give anymore

(Lirik lagu Without You dari Mariah Carey)

Triliunan rupiah dihasilkan dari pola ini. Korbannya adalah kemiskinan akal sehat. Banyak orang hidup dalam ilusi dan kelekatan. Musik pun, terutama musik populer, menjadi alat pembodohan masyarakat luas.

Ini semua terjadi, karena musik telah mengalami penyempitan makna. Ia menjadi sekedar hiburan dangkal semata. Lirik telah dibuat sedemikian dangkal dan bodoh sekedar untuk menjadi perhatian sesaat. Alunan musik telah dibuat semurah mungkin sekedar untuk joget-joget dan pamer di media sosial.

Padahal, musik memiliki makna yang jauh lebih dalam, daripada sekedar hiburan. Ia bisa mengantarkan orang pada pembebasan batin, misalnya musik sebagai penopang Samadhi. Ia bisa mengantarkan masyarakat pada pembebasan sosial politik, seperti musik yang terus menyuarakan ketidakadilan dan kemunafikan masyarakat. Bahkan, musik bisa membawa orang pada Tuhannya, sehingga orang bisa meruntuhkan semua kebencian dan kerakusan di dalam dirinya.

Hal inilah yang tak boleh terlupakan. Memang, kita semua butuh hiburan. Musik pun menjadi potongan cerah di hari yang berat, karena berbagai tekanan kehidupan. Namun, jangan sampai musik berhenti disisi ini.

Ia haruslah menjadi alat transendensi. Ia harus mengajak manusia keluar dari kesempitan dirinya, dan memeluk segala yang ada. Musik harus menjadi alat perdamaian, baik damai di hati maupun damai di bumi. Ia harus menjadi alat pencerahan yang membangunkan kita dari kebodohan yang kita buat sendiri.

Jangan ditunda lagi.

***