"Post-Truth" di Masa Pandemi

Adalah tugas otak cortex kita untuk menganalisis dan mengolah informasi-informasi tersebut, mana yang paling logis dan verified dapat dijadikan sebagai rujukan.

Rabu, 27 Mei 2020 | 22:32 WIB
0
426
"Post-Truth" di Masa Pandemi
Ilustrasi misinformasi masa pandemi (Foto: noted.co.nz)

Saya memperhatikan, tentu artinya menggunakan mata saya, yang bisa saja tidak sama di pandangan orang lain, tren post-truth di masa pandemi ini semakin menguat, melebihi perilaku post-truth saat masa Pilpres sejak 2014 lalu.

Bagi saya ini memiriskan, membahayakan dan sangat memberi pengaruh negatif pada bidang apapun. Karena isu yang berkenaan dengan pandemi Corona adalah isu kesehatan yang erat hubungannya dengan data dan fakta ilmiah.

Termasuk sebuah kebijakan yang berkaitan dengan pandemi corona, dalam tingkatan apapun dan di mana pun, harus diambil secara prudent berdasarkan data dan fakta yang empirically telah teruji. Berbeda dengan dunia politik yang masih menggunakan rasa-rasa, keyakinan dan psikologi massa, bisa saja berlaku dan sah-sah saja, di luar konteks moralitas dan etika universal.

Namun ketika berkaitan dengan pandemi corona dan anda menggunakan ala-ala post-truth dalam menggali informasi, bagi anda mencari pemahaman yang benar atas berbagai teori medis, meng-collect data dari berbagai sumber atau menggali kebenaran data yang disorongkan ke depan mata anda, menjadi tidak begitu penting.

Karena anda sudah memegang keyakinan anda sendiri bahwa sumber informasi A adalah benar dan sumber informasi B atau selain A adalah salah. That's so called "post truth".

Dalam kondisi seperti ini, somehow saya jadi berterima kasih kepada almarhum ayah saya, yang tanpa disadarinya, telah mengajarkan saya bagaimana cara untuk tidak terjebak post-truth meskipun dalam eranya post-truth seperti di zaman digital sekarang ini.

Sejak kecil saya sudah dipertontonkan bagaimana berlaku imbang dalam menggali informasi dari bagaimana ayah saya berlangganan majalah dan koran harian.

Beliau selalu berlangganan 2-3 buah terbitan dengan pangsa pasar yang berbeda atau saling bersaing, seperti Kompas vs Republika, Tempo vs Gatra vs Panjimas, Bola vs GO, hingga Kartini vs Femina vs Intisari, dll.

Kebiasaan di dalam rumah yang saya lihat setiap hari pun mungkin tertanam dalam alam bawah sadar saya menjadi sebuah panduan dalam menggali bacaan, bahkan sejak sebelum usia sekolah.

Sejak sudah bisa membaca, di usia 5 tahun dengan 'serakah'nya saya meminta ijin kepada orang tua untuk ikut berlangganan majalah anak-anak, sekaligus 2! Bobo vs Ananda, dan Alhamdulillah diijinkan. Dan terus bertambah usia kebiasaan itu mengikuti, berlangganan Anita Cemerlang vs Aneka Yes vs Gadis, Ummi vs Annida, Cinemag vs M2, hingga tontonan televisi Metro TV vs tvOne, dst.

Di atas hanyalah khasanah bacaan kami di tahun 90-an. Di era google bacaan kita sudah sangat tanpa batas. Termasuk kita mendapat tambahan sumber informasi primer dari institusi pemerintah yang juga bisa demikian mudah kita dapatkan seiring dengan penerapan sistem Clean and Good Governance melalui keterbukaan informasi publik.

Bahwa sumber informasi A & B adalah berorientasi pada X & Y, milik anu & ono, berafiliasi pada ini & itu, dst, adalah background dari sumber-sumber informasi tersebut, namun bukan untuk mencegah kita untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber.

Adalah tugas otak cortex kita untuk menganalisis dan mengolah informasi-informasi tersebut, mana yang paling logis dan verified dapat dijadikan sebagai rujukan. Bukan pemberian label kepada sumber-sumber informasi yang menentukan pijakan kita.

Sayangnya yang terakhir itu yang seringkali menjadi dasar perilaku orang menggali informasi. Dan perilaku ini terlihat makin menguat di masa pandemi ini.

So, saya men-challenge Anda semua, wabil khusus kaum yang merasa cerdas, di seantero jagad maya. Nilailah diri anda sendiri, apakah anda bagian orang yang masih terbelenggu oleh jebakan "post-truth?

Beware... Bisa jadi anda selama ini tertipu oleh isi kepala anda sendiri.

***