Bila Kita Punya Anak Milenial

Inilah ironi dari generasi milenial: cerdas, sukses, dan bergaya. Tapitidak memiliki kedalaman, instant, dan nyaris tak punya pondasi kokoh. Miskin integritas, dan tak berbekal hal-hal asketis.

Rabu, 29 Juli 2020 | 18:54 WIB
0
248
Bila Kita Punya Anak Milenial
Ilustrasi milenial (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Beberapa waktu terakhir ini, saya lebih punya perhatian lebih pada "trend sukses instant" anak-anak generasi milenial. Awalnya sih, kejengkelan pada Jokowi yang kalau menurut seorang teman "gumunan", dan kalau bagi saya sebagai orang Jawa "nggege mangsa".

Jokowi tidak pernah berpikir panjang, bahwa sukses instant itu selamanya bernilai buruk. Mungkin juga dia frustasi dengan orang seumurannya, sehingga merasa perlu potong generasi. Hal hari ini ya harus ditangani orang hari ini. Hukum alam yang seolah dipaksakan.

Ia lupa bahwa selamanya revolusi hanya membunuh anaknya sendiri!

Mungkin juga ia terobsesi dimana di setiap generasi, selalu saja orang muda menjadi pelopor perubahan di zamannya. Dalam kasus ini, memang buktinya ada. Sejak Angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998 penggeraknya adalah orang muda. Sebagian dikenang dengan tinta emas, dengan bagian yang sangat besar dilupakan. Bahkan yang pada awalnya dianggap sebagai "hero" pada akhirnya jatuh sebagai zero.

Pada dasarnya akarnya sama: siap sukses, tapi gagap ketika dianggap gagal dan mengecewakan. Yang ndableg bertahan, yang lain bersembunyi, tapi bagian sangat besar hanya dikenang ketika ia mati. Karena pada pintu kematian: konon orang berkewajiban hanya mengenang hal-hal baik.
Dalam konteks inilah, Jokowi kepleset-pleset. Saya mencatat dia dua kali "terantuk batu".

Pertama, tentu oleh staf khusus dari kalangan milenial yang ia pilih. Tiga orang di antaranya sudah mengundurkan diri dengan membawa citra dan contoh buruk. Satu orang menggunakan kedudukannya untuk membesarkan bisnisnya, melalui katebelece yang tak elok. Yang satunya, menumpang proyek pra-kerja dengan dana segede gaban yang sungguh tidak membuat siapa pun nyaman dengan kebijakannya.

Jangankan yang menjadi target menerimanya, yang bingung memanfaatkan. Juga orang-orang yang bukan target, dan hanya menjadi penonton. Dan hanya melihat program tersebut sungguh konyol dan buang-buang uang negara.

Kedua, tentu saja oleh anaknya sendiri yang apa pun argumentasi dan situasi pra-kondisinya. Tiba-tiba maksa menjadi Calon Walikota di kota kelahirannya. Tentu dengan statusnya sebagai "anak presiden" ia bisa melampaui para pesaingnya. Saking tanpa kompetitor-nya, tak satu pun partai politik yang ada yang tidak mendukungnya. Alih-alih ini berita baik, tentu ini sangat menyedihkan!

Bapaknya sebagaimana biasa, akan bersikap pragmatis: itu kan maunya anak saya. Ia barangkali lupa, ketika hari pertama ia dan keluarganya, dengan seluruh anak-anaknya masuk dan tinggal di Istana Negara. Gibran Rakabuming justru adalah anak yang paling kolokan, dengan gagu dan tidak ramah dengan mass media. Ia tak siap dengan statusnya sebagai anak Presiden yang pada saat itu memang sedang panen hujatan!

Tapi lima tahun bapaknya menjabat, segalanya berubah! Perubahan yang sangat cepat, sesuatu yang sangat khas anak milenial. Esuk dele, sore tempe, bengi adol martabak.

Tentu saja saya tak ingin sibuk di bagian itu. Bagi saya jadi gak penting banget. Sama gak pentingnya ketika kita harus berharap bahwa Indonesia akan selamat, bila kita punya akal sehat! Realitasnya siapa sih hari ini yang sehat?

Saya lebih ingin menyoroti atau lebih tepatnya merefleksi seberapa siap, saya sendiri ketika anak-anak saya mulai memasuki pasar kerja. Ketika mereka sudah lulus kuliah, dan lalu "harus bersiap ini itu". Karena saya yakin, karena kultur keluarga, persoalan mencari kerja tentu bukan masalah lagi. Mereka tinggal memilih, dengan segenap keberuntungan yang dahulu di generasi orang tuanya masih suatu kemewahan.

Bagi generasi milenial mungkin, sudah terlalu biasa, apa yang dianggapnya sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi menantang. Bila dulu orang tuanya, baru memasuki area kerja di tingkat daerah, atau paling pol di tingkat nasional. Mereka saat ini sudah menjadi warga negara global, yang nyaris tak berbatas sekat-sekat tradisi lama.


Aakar Abyasa Fidzuno (Foto: bisnis.com)

Dalam konteks inilah, barangkali apa yang terjadi pada Aakar Abyasa Fidzuno menarik untuk dicermati. Ia adalah seorang yang menyebut dirinya financial advisor. Dalam bahasa keren hari ini juga disebut financial planner. Ia mendirikan sebuah perusahaan bernama Jouska Indonesia. Kliennya tentu saja, terentang sangat luas tapi konon fokusnya adalah kelompok milenial. Segmented yang cerdas.

Karena ia paham bahwa generasinya memang memiliki kecenderungan pandai mencari duit. Tapi punya ciri sama gagap mengelolanya. Gagap di sini terutama dipengaruhi bahwa generasi mienial memiliki ciri-ciri khusus sesuai semangat jamannya yang unik. Antara lain: mudah bosan, gadget addict, suka pembayaran non cash, suka yang seba cepat dan instant, juga terutama lebih memilih beroleh pengalaman daripada memiliki aset!

Terjemahan "pengalaman" ini sendiri bisa jadi sangat luas, tapi intinya adalah konsumsi yang tidak produktif. Semisal membeli produk fashion branded, jalan-jalan wisata ke luar negeri, hang out kuliner dii restoran mahal, berganti2 gadget dengan rentang waktu yang pendek, dll. Dalam konteks inilah, saya pikir profesi financial advisor itu keren dan bermanfaat!

Di samping punya program di sebuah televisi swasta, ia juga cukup aktif mempromosikan diri di sosial media. Sebulan yang lalu, ia masih manis "berkhotbah" di Podcats-nya Dedy Courbuzier. Sambil pamer jam tangan RM (baca: Richard Mille) seharga ratusan juta. Simbol paling instan yang harus dimiliki untuk dianggap sukses dan punya gengsi.

Di podcast ini pula, ia banyak mengejek artis atau kalangan yang dianggapnya tidak mampu mengelola pendapatannya. Hingga ketika tiba di masa pandemi, bukan saja jatuh harga tapi kebingungan menatap hari depan. Lalu keluarlah fatwa-fatwa jalan keluar. Dengan cara yang khas milenial: jual, jual lagi yang dianggap tidak diperlukan....

Itu yang terjadi hingga sebulan lalu....

Sehari kemarin, ia bikin geger lagi! Tapi kali ini sama sekali tidak keren. Sebagaimana gaya anak milenial, ia mengunggah video yang jadi viral. Berisi pengakuannya bahwa ia telah banyak mengecewakan kliennya. Ia telah menyalahgunakan sedemikian besar dana kliennya. Tentu saja, bukan dalam arti mengkorupsinya, tapi lebih memberi advise yang salah. Hingga banyak kliennya, yang menemukan dana yang dimilikinya tinggal bukan lagi separuhnya, tapi seperlimanya. Mudah diduga ia berperan sebagai makelar: sana sini dapet...

Inilah ironi dari generasi milenial: cerdas, sukses, dan bergaya. Tapi sebenarnya tidak memiliki kedalaman, instant, dan nyaris tak punya pondasi kokoh. Miskin integritas, sama sekali tak berbekal hal-hal asketis. Sukses yang berusia pendek sekali, mudah terjerembab dalam ilusi sukses.
Sebagai orang tua tentu saya harus ikut khawatir. Sangat bahkan. Sedemikaian suramkah masa depan anak-anak milenial?

Sialnya dalam konteks ini, saya hanya punya satu jurus saja untuk anak-anak saya: pilihlah hidup yang sederhana saja. Dalam berpikir, besikap, berperilaku, bergerak memandang masalah, dalam apapun!

Bangunlah ke-bersahaja-an, kejujuran, dan kerendah-hatian!

Singkat kata: mangoenprasojo. Halah!

***