Ini saatnya kita untuk merenungkan: apakah mau kita menjadi orang yang terjajah oleh croc brain kita sendiri?
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah wa syukurillah, hari ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala masih mengizinkan kita untuk menjalani bulan Ramadan hingga kita bisa sampai pada malam keduabelas. Semoga semangat ibadah dan takwa kita tetap terjaga dan terus bertambah, dan semoga Allah berikan kita kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini, juga agar kita bisa berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun-tahun berikutnya.
Tak lupa marilah kita berselawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan moga-mogalah kita termasuk orang-orang yang beruntung mendapatkan syafaat beliau di yaumul qiyamah kelak, aamiin ya rabbal alamin.
Hari ini adalah hari yang spesial, khususnya bagi para penggemar seri film Star Wars. Tanggal 4 Mei diperingati oleh penggemar Star Wars sebagai harinya mereka. Hal ini karena dalam film, ada ungkapan “May the Force be with you,” yang dapat dipelesetkan menjadi “May the Fourth be with you.”
Salah satu kutipan paling terkenal di film ini diucapkan oleh Master Yoda, karakter yang diceritakan menjadi sesepuh para ksatria Jedi. Saat Anakin Skywalker menjalani tes untuk menentukan kelayakannya berada di Orde Jedi, Master Yoda mengatakan kutipan berikut:
“Fear is the path to the dark side. Fear leads to anger, anger leads to hate, hate leads to suffering.”
Ketakutan membawa kita pada kemarahan, kemarahan membawa kita pada kebencian, kebencian membuat kita menderita. Kurang lebih begitulah arti dari apa yang dikatakan oleh master Yoda.
Rupanya apa yang dikatakan Master Yoda adalah apa yang kita alami dalam kehidupan kita. Pakdhe Haryoko R. Wirjosoetomo pernah memberikan pencerahan bagus mengenai apa yang terjadi saat kita menerima hoaks.
Otak manusia itu pada dasarnya bisa dibagi menjadi tiga. Otak reptil/croc brain, adalah bagian yang penting untuk respons survival manusia. Dalam otak reptil ini terdapat perasaan aman/tidak aman, kaitannya dengan rasa takut. Otak tengah/midbrain adalah bagian yang penting untuk mengenali situasi di sekitar kita, kemudian neokorteks dalam bagian di mana pikiran kritis dan logika berada.
Kita bayangkan situasi di mana kita berada di sebuah gang yang gelap, sendirian. Tiba-tiba kita mendengar suara teriakan. Kita akan merasa takut, kita berhenti sejenak, lalu segera bersembunyi di balik tempat sampah yang kebetulan ada di gang itu. Pokoknya kita berusaha menyelamatkan diri kita dari teriakan itu, yang kita kenali sebagai ancaman. Inilah bagaimana croc brain bekerja.
Kemudian kita berusaha mengenali teriakan itu. Ternyata ada dua suara. Satu suara laki-laki, satu suara perempuan. Kita berusaha mengenali, apa sih yang mereka teriakkan? Ini ketika otak tengah/midbrain bekerja. Kemudian dari situ, kita tahu bahwa sebenarnya itu adalah suara dua anak remaja yang pacaran tetapi dari balkon rumah masing-masing, karena sudah malam nggak boleh keluar rumah sama ortu masing-masing.
Kemudian kita menyimpulkan, tidak perlu takut, karena situasinya tidak mengancam keselamatan kita, ini adalah ketika kita menggunakan neocortex untuk berpikir logis.
Nah, menurut Pakdhe Haryoko, narasi-narasi hoaks dan provokasi adalah narasi yang menggunakan teknik hypnowriting untuk mencapai croc brain, yang salah satunya mengatur rasa takut kita. Secara gampangnya, hoaks itu menakut-nakuti kita secara mendalam sehingga kita kehilangan rasionalitas kita dalam memercayai sesuatu dan bertindak. Ini mengapa reaksi croc brain tidak dapat dibantah dengan data, karena reaksi croc brain kaitannya dengan survival kita.
Kita lihat saja narasi hoaks, contohnya mengenai pemerintah melarang ibadah. Konteks sebenarnya adalah karena adanya pandemi COVID-19, diharapkan kita melakukan ibadah di rumah saja demi memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Rasionalisasi berdasarkan dalil agamanya pun ada, Pak Guru pernah tulis di kultum-kultum terdahulu.
Namun, para pembuat hoaks membelokkannya menjadi bahwa pemerintah sedang memusuhi umat Islam. Dibuat narasi bahwa pelarangan ibadah ini adalah langkah awal, kemudian pemerintah mendatangkan TKA China, menyuntik para kyai dengan virus corona, dan narasi lain yang sangat-sangat tidak logis, namun mengerikan.
Orang-orang yang croc brain-nya terpicu oleh narasi ini, penyebabnya adalah ketakutan. Takut tidak bisa beribadah. Takut Islam tidak lagi ada di bumi. Takut kerjaannya diambil TKA China yang juga akan menghancurkan akidah. Padahal narasi-narasi itu sangat tidak logis, namun ketakutan ini yang menyebabkan mereka memercayai narasi tersebut.
Dari ketakutan ini, apa yang muncul? Kemarahan dan kebencian. Tengok saja bagaimana mereka mengeluarkan kata-kata ujaran kebencian yang penuh kemarahan kepada pemerintah, yang menjadi sasaran kebencian mereka.
Tengok saja bagaimana dengan mudah mereka melabeli orang-orang yang tak sepaham dengan mereka dengan pelabelan yang merendahkan. Tengok saja bagaimana mereka menjawab “Tapi kan ini mengingatkan biar kita hati-hati!” setiap ada yang berusaha menyampaikan data-data yang valid.
Apakah mereka akan menderita sendiri? Yang jelas, terperangkap dalam perasaan takut itu tidak enak. Terperangkap dalam kemarahan dan kebencian itu menguras tenaga fisik dan psikologis. Jejak digital yang ada akan menyulitkan kehidupan ke depannya. Belum risiko dibawa ke jalur hukum. Pun, ini termasuk pelanggaran terhadap Surah Al Hujurat ayat 6, yang mana Allah memerintahkan kita untuk bertabayyun, mengklarifikasi, jangan asal percaya dan emosi dengan berita yang masuk.
Jadi, ini saatnya kita untuk merenungkan: apakah mau kita menjadi orang yang terjajah oleh croc brain kita sendiri? Kalau tidak, saatnya kita benar-benar menahan emosi kita, menyaring informasi yang masuk pada kita, dan mengkritisi informasi itu hingga jelas kenyataannya seperti apa. Tidak mau kan hanya karena ketakutan, kita terjebak dalam kemarahan dan kebencian, yang membawa kita pada penderitaan?
May the Force be with you!
Wallahu a’lam, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews