"Tempo" Riwayatmu Kini, Terpojok tanpa Pembelaan Suara Pakar

Para intelektual dan pakar, jangan jadi jago kelas atau jago kandang universitas yang berlindung di balik sakralitas almamater. Jadilah intelektual publik seperti Albert Einstein.

Sabtu, 21 September 2019 | 12:33 WIB
0
4000
"Tempo" Riwayatmu Kini, Terpojok  tanpa Pembelaan Suara Pakar
Relawan Jokowi mengadu ke Dewan Pers (Foto: Detik.com)

Sebagai mantan orang media arus utama yang kini aktif mengelola media berplatform users generated content PepNews.com, saya bisa merasakan betapa galau dan bingungnya para awak Tempo Media terkait pemuatan karikatur pada sampul majalah terbarunya yang mengundang decak kagum sekaligus hujatan masif. Ibarat mengetes air, nyatalah bahwa masyarakat Indonesia masih terbelah sisa-sisa rivalitas Pilpres 2019 lalu.

Sensitivitas dan emosi warga masih sedemikian tinggi. Pememang masih jumawa dan menjadikan lawan yang dikalahkannya objek ledekan di media sosial, di sisi lain pecundang pun belum bisa menerima kekalahannya dan terus melawan pemenang, meski Pilpres sudah berakhir.

Pendukung Prabowo Subianto bersorak riang menyikapi sampul majalah Tempo dengan gambar Presiden RI Joko Widodo dengan bayangan Pinokio berhidung panjang. Ibarat menemukan oase di padang pasir yang kering. Sebaliknya, pendukung Jokowi marah betul kepada majalah Tempo sampai-sampai menghujat sedemikian rupa, seolah-olah kehebatan Tempo dengan jurnalisme investigatif dan keberanian peliputannya itu menjadi terhapus dalam sedetik. Luar biasa.

Sampai di sini saya bisa merasakan bagaimana bingungnya Tempo harus bersikap, meski jika mampu berargumen atas pilihan karikatur yang menohok para pendukung Jokowi itu, awak majalah ini sebenarnya tidak perlu takut. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin konstitusi. Toh bukan hanya Jokowi yang pernah dipinokiokan, Akbar Tandjung juga, saat tokoh Golkar ini terlibat "Buloggate".  Di media asing, dari Obama sampai Trump, tidak luput dari olok-olok Pinokio yang dalam cerita kalau berbohong hidungnya menjadi panjang itu. Tetapi umumnya pendukung Jokowi beralasan; posisi Akbar Tandjung saat itu "cuma" Ketua DPR dan sedang terindikasi korupsi pula (pengadilan membuktikan Akbar bersalah dan diterungku 3 tahun).

Sedangkan posisi Joko Widodo sebagai kepala negara, juga perli dijelaskan di mana letak kebohongannya terkait RUU KPK yang menjadi laporan utama majalah Tempo itu. Dengan  mudahnya apa yang dilakukan Tempo dicap sebagai "penghinaan" terhadap seorang kepala negara, khususnya oleh pendukung Jokowi yang otomatis pro RUU KPK.

Pun Tempo tidak meminta maaf dan merasa tidak bersalah atas pemuatan karikatur Jokowi, juga digugat para penulis independen di medsos. Seorang penulis, misalnya, membandingkan saat Tempo meminta maaf kepada FPI karena memuat sampul majalah bergambar seseorang yang dianggap sebagai Rizieq Shihab dengan seorang perempuan setelah massa mengeruduk Kantor Tempo Media di kawasan Palmerah Barat. Tempo dianggap lebih takut kepada massa bersorban daripada takut kepada Jokowi.

Warganet yang Baperan

Karena masifnya perlawanan dari pendukung Jokowi yang pro RUU KPK, maka media sosial dikuasai oleh para laskar pembela Jokowi yang melawan siapapun anti RUU KPK, yang terindikasi sebagai sisa-sisa pendukung Prabowo. Gerakan ini terstruktur dan masif, konon melibatkan para buzzer ternama juga. Sementara perlawanan dari mereka yang anti RUU di medsos tidak terlalu menggebu-gebu, paling tidak cukup menggaungkan aksi-aksi lapangan mereka yang anti RUU KPK di media sosial.

Mau tidak mau Tempo, atau siapapun mereka yang berkhidmat di bisnis digital, yang mengandalkan internet sebagai medianya, harus tanggap atas warganet yang baperan ini.

Baperan, sesuai istilahnya, karena apa-apa bawa perasaan, emosional, bukan nalar yang dikedepankan.  Ini riil terjadi saat ranking aplikasi Tempo Media di PlayStore (Android) terjun bebas, sampai titik tertentu lenyap dari pajangan.

Tempo bisa saja berdalih sedang ada perbaikan aplikasi atas hilangnya launcher Tempo di Android karena sedang perbaruan aplikasi. Tetapi yang nyata terlihat, komen-komen di aplikasi itu menunjukkan kemarahan yang tiada tara para pendukung Jokowi. Semua terkait pemuatan karikatur Jokowi yang dipinokiokan oleh Tempo. Pada titik ini, Tempo harus menanggung kerugian ini dimana gerakan #UninstallTempo di medsos sedemikian viral dan tak terhindarkan.

Baca Juga: Senjakala Tempo

Ini mengingatkan pada kejadian serupa yang dialami Bukalapak saat Ahmad Zaky "keseleo" lidah di Twitter yang juga menyinggung para pendukung fanatik Jokowi. Kerumunan yang marah ini kemudian menggemakan gerakan #UninstallBukakLapak atau #LupaBapak. Ranking BL di PlayStore pun seperti celana longgar, melorot sampai bawah.

Bahkan, besar kemungkinan, rasionalisasi (baca PHK) terhadap 200 karyawan BL adalah buntut dari gerakan #UninstallBukakLapak itu. Tuntutan investor yang tidak mau berasyik-asyik dengan pertumbuhan dan maunya memetik keuntungan lebih besar adalah alasan masuk akal rasionalisasi BL itu. Tetapi mau tidak mau orang mengaitkan dengan sepak terjang CEO BL yang keseleo lidah pada saat perang Pilpres 2019 sedang seru-serunya berkecamuk.

Jika pada kasus BL kesalahan cukup ditimpakan pada CEO Ahmad Zaky yang dianggap terlalu "over acting", kemudian saat terjadi peristiwa politik mematikan yang menimpanya berpengaruh  terhadap usaha BL secara keseluruhan, bagi Tempo Media "kekeliruan" ini berakibat fatal terhadap kelangsungan bisnis media digitalnya yang sejujurnya tengah naik daun, jauh meninggalkan rival-rivalnya, bahkan Harian Kompas sekalipun.

Untuk berlangganan konten Tempo Media, baik itu majalah, koran, maupun edisi bahasa Inggris, umumnya orang harus menginstall aplikasinya baik di App Store (Apple, iPhone) dan PlayStore untuk perangkat Android. Bahkan untuk membaca versi gratisan pun, pengguna tetap harus menginstall aplikasi Tempo ini. Meng-uninstall akibat kemarahan dan fanatisme berlebihan, menurunkan kedua-duanya; baik traffic untuk yang gratisan maupun revenue (pendapatan) untuk yang berbayar (subscribe). 

Sampai di sini, boleh jadi para awak redaksi di Newsroom tidak merasa bersalah apa-apa, toh apa yang dihasilkannya sebagai ekspresi kebebasan; berpendapat dan kebebesan pers. Tapi pusing tujuh keliling bagi para pemangku bisnis dan terutama para pemegang saham, sebut saja para investor. Gerakan #UninstallTempo jelas berpengaruh pada sisi bisnis, ada revenue yang berkurang dan target pencapaian yang berantakan.

Awak bisnis yang mencari iklan boleh jadi akan mendapat penolakan dari perusahaan yang secara politis terafiliasi kepada Joko Widodo. Sedangkan bisnis digital yang sudah menampakkan titik terang, yaitu sudah beralihnya pelanggan konvensional ke pelanggan digital melalui aplikasi, bisa langsung terkena dampaknya saat gerakan #UnsintallTempo benar-benar terjadi.

Matinya Kepakaran

Setelah membaca buku karya Tom Nichols "The Death of Expertise" (Matinya Kepakaran), saya tidak terlalu kaget dengan peristiwa yang menimla baik BL dan kini Tempo di dunia media sosial dengan Internet sebagai penggeraknya. Seribu pakar dari lusinaan universitas ternama bisa saja mengemukakan pendapat; bahwa secara ilmiah dan konstitusinal, apa yang dilakukan Tempo dengan karikaturnya adalah hal biasa, wajar, dan tidak perlu diributkan.

Baca Juga: Klarifikasi Dua Sampul Majalah Tempo yang Kontroversial

Persoalannya, para pakar yang bergelar profesor atau doktor itu hanya duduk di menara gading, titah dan petuahnya cuma bergema di dinding-dinding tembok kuliah. Tidak ada yang mendengar, kecuali para mahasiswanya yang terbatas itu. Iya kalau mahasiswanya menggemakan ulang di media sosial, tapi siapa mereka?

Padahal di luar sana, di ranah Internet, para SJW (social justice warrior) bergentayangan dengan cukup bermodalkan asal "njeplak" dan keberanian bernyinyir-ria, mengandalkan retorika seadanya minus teori dan bacaan dari buku-buku bermutu.

Terus apa para SJW ini salah? Ya tidak salah juga. Mereka ini orang-orang yang setidak-tidaknya paham kekuatan tersembunyi media sosial, kemudian memanfaatkan media baru ini sebagai panggung mereka berdalih dan berekespresi, tidak peduli apa yang mereka tunjukkan sebagai bentuk kebaperan,  emosional atau bahkan kepandiran.

Mereka paham, suaranya akan bergema di ruang-ruang tanpa batas media sosial, di mana di sana ada sekerumunan orang yang siap mengonsumsi informasi dan bahkan memviralkannya dengan sukarela di media berbeda, media privat bernama WA (whatapps) yang lebih personal, yang penting seideologi, senasib, sekehendak, dan seperasaan. 

Di mana peran pakar pakar yang duduk di menara gading dan berlindung di balik tembok universitas yang berpenyejuk ruangan itu? Tidak ada sama sekali!

Jadi, jangan salahkan seorang Rocky Gerung, seseorang yang "cuma" jebolan S1, tetapi dia bisa menguasai panggung media sosial cukup dengan sepenggal-sepenggal pemikirannya di Twitter. Ajaibnya, sebagian orang percaya dan tersihir oleh narasinya. Bandingkan seorang doktor atau profesor yang harus menulis makalah di jurnal-jurnal ilmiah internasional, tetapi gaungnya nol sama sekali di media sosial. Kalau sudah begini, siapa yang salah?

Turun Gunung

Wahai para pakar yang duduk di menara gading perguruan tinggi dan berlindung di balik kelas-kelas universitas yang nyaman, turun gununglah kalian! Jangan anggap media sosial itu sebagai comberan dan maunya hanya mau dikutip oleh media arus utama ternama, lalu menunggu opini kalian dimuat secara terhormat di majalah sekaliber Tempo atau Harian Kompas. Itu ibarat menunggu Godot tiba. Terlalu lama, Bro, mungkin yang dinanti tidak akan pernah terjadi.

Turunlah ke medan pertempuran sesungguhnya di media sosial! Jangan jadi jago kelas, jago kandang universitas, berlindung di balik sakralitas almamater. Jadilah intelektual publik seperti Albert Einstein pada masanya, yang tidak melulu menulis Fisika atau Astronomi di jurnal ilmiah terbatas atau berbicara di podium institiut keilmuan sempit, tetapi menulis filsafat di koran atau bicara religiositas di mimbar umum. Kalau saja media sosial sudah ada pada masanya, mungkin Einstein akan memanfaatkannya juga.

Jadi mengapa Tempo tidak berdaya menghadapi para netezin yang baperan? Sebab mereka ramai-ramai menghujat Tempo berdasarkan naluri emosinya tanpa pembelaan dari para pakar berkepentingan yang masih asyik berada  di menara gading itu. Tidak ada pakar yang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Tempo dengan karikaturnya itu sebagai kewajaran dalam dunia jurnalistik.

Benar kata Tom Nichols, jangan-jangan para pakar itu telah mati bersama kepakarannya dalam arti yang sesungguhnya.

Bintaro, 21 September 2019

***