Berani Berpikir Sendiri dan Setelahnya...

Keadaan sebaliknya terjadi di Indonesia. Keberanian berpikir sendiri dianggap musuh dari tradisi. Orang-orang yang melakukannya pun dikucilkan. Ketidakdewasaan justru dianggap hal yang baik.

Kamis, 13 Juni 2019 | 17:23 WIB
0
393
Berani Berpikir Sendiri dan Setelahnya...
Ilustrasi berpikir (Foto: Rumahfilsafat.com)

Immanuel Kant, salah satu pemikir Eropa terbesar, menulis sebuah buku pendek pada akhir tahun 1784 di Prussia. Judulnya adalah Beantwortung der Frage: Was ist Aufklärung? Dalam bahasa Indonesia: Jawaban atas Pertanyaan, Apa itu Pencerahan? Ada satu paragraf penting yang kiranya perlu saya tulis di sini.

“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan akal budi, tanpa pengarahan dari orang lain. Ketidakdewasaan ini dibuat oleh dirinya sendiri, karena sebabnya bukanlah kurangnya akal budi itu sendiri, melainkan karena kurangnya keberanian untuk berpikir tanpa pengarahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah berpikir berpikir sendiri! Itulah semboyan dari Pencerahan.” (Kant, 1784)

Dengan kata lain, menurut Kant, inti dari Pencerahan adalah keberanian untuk berpikir sendiri. Orang tidak tunduk pada pengarahan orang lain secara buta. Orang tidak mengikuti saja tradisi, tanpa tanya. Ini bukan hanya ciri dari Pencerahan, tetapi juga ciri dari kedewasaan.

Dengan pola ini, Eropa masuk ke Era Pencerahan. Tradisi dipertanyakan ulang. Agama disingkirkan dari politik ruang publik, dan masuk ke ranah pribadi. Ini tentu sebuah proses yang panjang. Namun, semua ini sungguh mengubah wajah peradaban Eropa pada saat itu.

Berbagai penemuan di bidang ilmu pengetahuan terjadi. Eropa menjadi negara industri dengan tingkat produktivitas ekonomi yang besar, serta kekuatan militer yang perkasa. Sisi gelap dari ini pun tak bisa diabaikan. Penjajahan terhadap berbagai negara Afrika dan Asia pun terjadi dengan korban jiwa dan harta benda yang amat sangat besar.

Era Pencerahan juga memacu revolusi industri. Sampai sekarang, di era revolusi industri keempat, pengaruh semangat pencerahan pun masih terus terasa. Keberanian berpikir sendiri melahirkan mentalitas dan metode penelitian ilmiah. Dari berbagai segi, mulai dari teknologi, ekonomi sampai kebudayaan, Eropa menjadi yang terdepan.

Pencerahan di Indonesia

Keadaan sebaliknya terjadi di Indonesia. Keberanian berpikir sendiri dianggap musuh dari tradisi. Orang-orang yang melakukannya pun dikucilkan. Ketidakdewasaan justru dianggap hal yang baik.

Ini terjadi, karena tiga hal mendasar. Pertama, tradisi adalah sesuatu yang menakutkan. Orang mengikutinya, kerap kali bukan karena kekaguman, melainkan karena ketakutan akan dikucilkan. Rasa takut ini melahirkan kebiasaan konformisme sosial yang akut, yakni dorongan untuk terus mengikuti apa kata masyarakat, tanpa sikap kritis sama sekali.

Dua, budaya kepatuhan buta telah mengakar di Indonesia. Orang patuh pada otoritas begitu saja, terutama otoritas terkait dengan agama. Padahal, belum tentu otoritas tersebut mengandung akal sehat dan kebijaksanaan. Ini membuat manusia Indonesia cenderung tidak berpikir sendiri, dan, dengan demikian, juga tidak dewasa.

Tiga, semuanya kembali pada mutu pendidikan yang teramat rendah di Indonesia. Banyak hal-hal tak berguna diajarkan dengan metode yang merusak di berbagai institusi pendidikan Indonesia. Kepatuhan buta dan hafalan mutlak menjadi hal yang wajib dilakukan, tanpa tanya. Nalar kritis dan pencarian lebih dalam pun menjadi amat tumpul.

Berani Berpikir Sendiri

Jalan keluar dari semua ini sebenarnya cukup sederhana.

Pertama, tradisi perlu ditempatkan secara tepat di dalam kehidupan bersama. Di satu sisi, tradisi banyak mengandung kebijaksanaan dari berbagai generasi sebelumnya. Di sisi lain, tradisi tetap harus dibaca dengan sikap kritis dan bijak. Jaman terus berubah, dan sebagian dari tradisi harus ikut berubah bersamanya. Peran keberanian untuk berpikir sendiri amat penting di sini.

Dua, bangsa kita harus mulai melatih mengembangkan otonomi pribadi. Artinya, orang diajak untuk mempertimbangkan sendiri arah dan bentuk tindakannya. Ia tidak diberikan perintah mutlak dari luar yang memasung kreativitasnya. Otonomi pribadi akan melahirkan keberanian berpikir sendiri yang juga merupakan tanda kedewasaan seseorang.

Tiga, ini semua memang kembali pada mutu pendidikan. Pendidikan yang mengembangkan nalar kritis, akal sehat dan kreativitas harus dikembangkan di Indonesia. Kepatuhan buta dan hafalan mutlak di dalam semua unsur pendidikan harus sungguh dibuang. Formalisme agama, yang kini tersebar di Indonesia, juga harus segera diakhiri.

Hanya dengan pola ini, Indonesia bisa mengalami era pencerahan yang juga dikenal sebagai era fajar budi. Di abad 21, hal ini menjadi amat penting, tidak hanya dalam persaingan dengan bangsa-bangsa lain, tetapi juga untuk keberadaan bangsa Indonesia itu sendiri.

Bangsa yang rakyatnya berani berpikir sendiri adalah bangsa yang dewasa. Sudah terlalu lama Indonesia hidup dalam penjajahan bangsa lain, baik penjajahan ekonomi maupun budaya.

Setelahnya

Berani berpikir sendiri adalah sebuah langkah besar. Namun, pikiran juga adalah sesuatu yang mesti dipahami dengan tepat. Ketika pikiran menjadi alat untuk memahami segalanya, maka beragam masalah akan muncul.

Di tingkat sosial, masalah yang tersebar adalah penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kerusakan alam.

Di tingkat pribadi, penggunaan pikiran yang berlebihan akan menciptakan berbagai penyakit mental, mulai dari stress, depresi, kecanduan narkoba sampai dengan bunuh diri.

Keberadaan pikiran haruslah sungguh dipahami. Bagian pertama dari pikiran adalah intelek. Tugasnya adalah memahami dunia dengan membelahnya ke dalam bagian-bagian yang kecil. Inilah yang kita gunakan di dalam ilmu pengetahuan. Intelek adalah bagian dari pikiran yang amat berguna, namun dimensinya amat terbatas.

Bagian kedua pikiran adalah identitas. Ini adalah pandangan tentang siapa diri kita, seperti warga negara, suku, ras maupun agama. Fungsi identitas adalah mengendalikan intelek. Orang akan menggunakan inteleknya semata untuk melindungi dan mengembangkan identitasnya.

Bagian ketiga adalah ingatan. Disini terkandung juga bahasa sebagai alat untuk berpikir, sekaligus untuk menyampaikan maksud. Ingatan tidak hanya ingatan di dalam kepala, tetapi ingatan di dalam tubuh, termasuk di dalam sel-sel yang dimiliki manusia. Ingatan memberikan bahan kepada intelek dan identitas untuk menjalankan fungsinya.

Bagian keempat adalah kesadaran murni. Ia tidak tersentuh oleh ingatan, identitas ataupun intelek. Sebaliknya, kesadaran murni yang memungkinkan ingatan, identitas dan intelek bisa menjalankan perannya. Dengan menyentuh ini, orang tidak lagi terjebak pada kecenderungan untuk berpikir berlebihan.

Intelek, identitas dan ingatan pun bisa digunakan secara tepat. Orang akan mengalami kebebasan, tidak hanya dari penjajahan masyarakat, tetapi juga dari kecenderungan berpikir berlebihan yang menciptakan penderitaan. Keseimbangan di dalam kehidupan lalu akan sungguh tercipta. Berani berpikir sendiri akan menjadi berkah yang membawa pencerahan pada tingkat pribadi maupun sosial.

Pikiran adalah sesuatu yang harus digunakan secara mandiri… sekaligus untuk dilampaui…

***

Keterangan: Artikel ini telah tayang di Rumahfilsafat.com dengan judul yang sama.