Menelisik Video TGB tentang Lafal "Alfatekah" Jokowi

Senin, 15 Oktober 2018 | 18:41 WIB
0
586
Menelisik Video TGB tentang Lafal "Alfatekah" Jokowi

Perdebatan soal “ Alfatekah” sudah mulai mereda. Mulai ramai lagi setelah beredar video TGB yang membahas soal itu. Sebenarnya pendapat TGB dalam videonya tidak ada hal yang baru. Sama dengan pendapat sejumlah ustadz yang mengeritik “Alfatekah.” Malah TGB sama sekali tidak menyinggung soal pelafalan bacaan AlQur’an yang dilafalkan dengan lidah daerah.

Dengan kata lain, tidak ada yang salah dengan pendapat TGB. Iyalah, TGB kan lulusan AL Azhar, Mesir. Pendapat TGB juga sama dengan pendapat ustadz saya di kampung yang lulusan pesantren kampung. Intinya, selama sumbernya masih sama, madzhabnya masih sama, pendapat keagamaannya insya Allah sama.

Tapi kenapa netizen dan media oniline yang mengutip ucapan TGB itu seolah ingin mengcounter pendapat sebelumnya? Pertama, karena kekurang pahaman pada subtansi ucapan TGB. Kedua, entah sengaja atau tidak sengaja memotong kalimat TGB untuk kepentingan tertentu.

Maka tidak heran muncul judul yang keluar dari substansi. Misalnya, Viva menulis judul, “ Soal Alfateka Jokowi, TGB: Dia mendapat dua pahala. “ Bahkan ada yang menulis judul , “ 2 Pahala Buat Al Fateka Jokowi. “

Kalau kita perhatikan dari video TGB soal nama surah, TGB memberi contoh pelafalan nama surah dari berbagai negara yang maknanya bergeser dari nama surah aslinya. Sama sekali tidak bicara soal pahala. Saya termasuk yang agak telat ikut nimbrung soal “ Alfateka” ini. Baru ikutan nimbrung setelah melebar ke soal bacaan surah alfatihah ada yang membolehkan “ robil ‘alamin” dibaca “robil ngalamin.” Soal nama surah Alfatihah, sebelumnya sering kita dengar banyak yang membacanya dengan “ Alfatehah” baik secara sadar maupun tidak sadar.

Barulah ketika bicara soal bacaan Al Qur’an, TGB mengutip hadits soal 2 pahala itu. Tapi TGB bicara secara umum, bukan soal bacaan surah Al fatihah, bukan juga ditujukan pada Jokowi.

Coba perhatikan ucapan TGB yang mengutip sebuah hadits yang sangat populer ini.
“ Orang yang membaca AlQur’an, lalu dia menemukan kesulitan untuk melafalkan dengan fasih, mungkin agak bergeser dari satu huruf ke huruf yang lain, tapi dia berupaya membaca dengan baik, apa kata Rasul? Dia mendapatkan dua pahala. Pahala membaca AlQur’an, dan pahala berproses belajar. Islam sangat menghargai proses yang baik. “

Coba perhatikan dengan seksama. TGB sama sekali tidak bicara soal nama surah yang dibaca “Alfatekah” atau juga tidak bicara soal Jokowi, karena saat Jokowi membaca surah Alfatihah suaranya sir ( tidak terlalu jelas terdengar.) Satu-satunya referensi bacaan surah alfatihah oleh Jokowi adalah ketika beliau menjdai imam sholat maghrib dan videonya beredar luas. Tapi itu di luar pembicaraan ini.

Perhatikan lagi dengan seksama subtansinya. TGB sama sekali tidak mengatakan, orang yang salah membaca AlQur’an akan mendapat dua pahala. TGB mengatakan, orang yang belajar Alqur’an dengan serius tapi mengalami kesulitan melafalkannya akan mendapatkan dua pahala. Pahala belajar dan pahala membaca. Dua pahala itu bukan kepada orang yang tidak mau belajar, dan bertahan pada kesalahannya membaca.

Jadi, siapapun dia, Jokowi, atau si fulan, atau siapa saja, yang bacaan Alqur’annya kurang lancar atau masih bercampur dengan “lidah” daerahnya, akan mendapatkan dua pahala jika terus berupaya belajar memperbaiki bacaannya. Tapi jika kesalahan membaca itu dipertahankan bahkan dicari pembenaran dan menihilkan belajar, maka tentu saja tidak termasuk yang mendapat dua pahala itu. Jadi kata kuncinya adalah terus belajar membaca AlQur’an.

Pada awal video, TGB mengapresiasi Jokowi yang mendoakan pada korban gempa yang meninggal dunia. sesungguhnya ajakan kebaikan, sesuatu yang mulia di dalam Islam, mengajak untuk mendoakan saudara-saudara kita yang wafat syahid, karena gempa bumi dan tsunami, kata TGB. Karena dalam perdebatan soal “ Alfateka” tidak menyinggung soal ini, maka ucapan itu bukan ditujukan pada para pengeritik “ Alfateka,” tapi bisa jadi ditujukan pada kelompok yang “mengharamkan” mengirim surah alfatihah kepada orang yang sudah meninggal.

Di luar soal ini, beredar pula perdebatan soal qiraah sab’ah dihubungkan dengan dialek daerah di luar yang tujuh (sab’ah) itu. Seolah persetujuan Nabi pada cara membaca AlQur’an dengan 7 dialek daerah ini menjadi pembenaran untuk membaca AlQur’an dengan dialek di luar tujuh daerah itu.

Sepanjang bacaan saya sih, Nabi hanya menyetujui qiraah sab’ah saja, tidak pada qiraah yang kedelapan atau kesembilan dan seterusnya. Wallahu a'lam.

***