Setidaknya, kebudayaan sinkretis Jawa dalam label simbol baru Kemenag itu, sengaja maupun tidak, sangat menohok psikologi dan biologi iman publik umat Islam dari manapun.
"Manusia adalah binatang bersimbol.“
Demikian filsuf kebudayaan asal Jerman Erenst Casirer (1874-1945) menulis bentuk-bentuk dan fungsi simbol dalam kebudayaan di buku-bukunya, "The Philosophy of Symbolic Forms“ (1923) dan "An Essay on Man“ (1944).
Filsafat bentuk dan fungsi simbol, setidaknya menurut Casirer, merupakan salah satu ekspresi dari fase manusia mengatasi relasi dan komunikasi dengan alam lingkungannya. Dengan kata lain, simbol merupakan perangkat dalam menyederhanakan kompleksitas penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dan bertukar informasi.
Dalam disiplin strategi kebudayaan, filsuf asal Belanda, Cornelis A. van Peursen (1920-1996), telah menguraikan bahwa untuk mengatasi komunikasi dan interaksi simbolis itu, manusia melakukan tiga tahapan.
Bermula dari tahap mitis (myth) ketika pertumbuhan manusia masih terbatas berinteraksi dengan lingkungan alamnya. Ia sangat bergantung pada alam. Karena itu, bentuk-bentuk simbol dalam aktivitas interaktif manusia sangat menonjol. Fisikawan Frijhof Capra (83) menyebutnya sebagai „"the hidden connections“ (2002) dan "the web of life“ (1996).
Sejak manusia mulai mengembangkan lingkungan dengan peralatan teknologi, tahapan itu menjadi bersifat ontologi. Relasi dan interaksi manusia menjadikan simbol-simbol memiliki fungsi suci (sakral) seperti dalam ritual (ibadah) dan prosesi. Juga, berfungsi pada wilayah domestik seperti bercocok tanam atau bekerja berambah hutan dan berburu.
Fungsi ini dikenal dengan simbol profanitas. Fase ini berkembang memasuki tahapan operasional yang berfungsi mengikat bahkan menguak "hidden connections“ antara ruang privat (privatesphere) dan ruang publik (publicsphere) yang jauh lebih kompleks seperti interaksi, koneksi dan jejaring komunikasi global dan digital yang makin luas dan datar (flat) hari ini (Friedman,2005).
Sebagai makhluk bermain (homo ludens), antropolog asal Belanda, Johan Huizinga (1872-1945), memasukkan faktor-faktor simbol sakralitas dan profanitas dalam bentuk-bentuk permainan seperti 'potlach‘ ataupun 'speci ludi,' dan merupakan ekspresi fundamental kebudayaan manusia dari ekologi mana mereka tumbuh, berkembang dan berasal.
Demikian pula dalam tradisi "pemberian“ (the gift), antropolog asal Perancis, Marcel Mauss (1872-1950), mengategorikan bentuk dan fungsi simbol itu dalam tradisi pemberian (upeti dan hadiah) sebagai ekspresi kebudayaan yang adiluhung.
Dengan kata lain, hampir seluruh ekspresi kebudayaan manusia — dari bertani (cultivasi), berburu (κυνηγός), bermain (ludens), berpolitik( πολιτική) hingga berpikir (philosophia) dan bertukar pemberian (le don) — menggunakan bentuk-bentuk simbol sebagai tanda martabat (dignity) dan penghormatan (honourable).
Lantas apa yang menjadi kurang lazim dalam kasus mengubah simbol label halal (حلال) antara milik MUI dan Kemenag?
Ditilik dari antropologi politik (kekuasaan) bisa ditebak bahwa kontroversi perebutan wewenang label halal MUI sebagai representasi publik (khusus umat Islam) dan Kemendag sebagai representasi negara sedang berebut kewenangan melalui ranah simbolik (symbolic domain). Namun yang tampak sangat mengusik psikologi publik dalam perubahan simbol label halal itu (versi Kemenag/negara) terletak pada hilangnya nilai-nilai simbolik suci (sakral) dalam label baru bikinan Kemenag.
Dan kisruhnya, tafsir publik atas perubahan versi Kemenag itu lebih berkonotasi profanitas dari tradisi gunungan pewayangan Jawa. Setidaknya, kebudayaan sinkretis Jawa dalam label simbol baru Kemenag itu, sengaja maupun tidak, sangat menohok psikologi dan biologi iman publik umat Islam dari manapun.
Untuk bisa memberi perbandingan itu, beberapa stempel label halal di negara-negara yang bukan mayoritas publiknya muslim, tampak masih menjaga aura estetika simbolis bernilai Islam yang secara historis telah bersifat "generale symbolicum.“
ReO Filsiwan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews