Anymal Symbolicum

Setidaknya, kebudayaan sinkretis Jawa dalam label simbol baru Kemenag itu, sengaja maupun tidak, sangat menohok psikologi dan biologi iman publik umat Islam dari manapun.

Selasa, 15 Maret 2022 | 13:46 WIB
0
150
Anymal Symbolicum
Halal (Foto: merdeka.com)

"Manusia adalah binatang bersimbol.

Demikian filsuf kebudayaan asal Jerman Erenst Casirer (1874-1945) menulis bentuk-bentuk dan fungsi simbol dalam kebudayaan di buku-bukunya, "The Philosophy of Symbolic Forms“ (1923) dan "An Essay on Man“ (1944).

Filsafat bentuk dan fungsi simbol, setidaknya menurut Casirer, merupakan salah satu ekspresi dari fase manusia mengatasi relasi dan komunikasi dengan alam lingkungannya. Dengan kata lain, simbol merupakan perangkat dalam menyederhanakan kompleksitas penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dan bertukar informasi.

Dalam disiplin strategi kebudayaan, filsuf asal Belanda, Cornelis A. van Peursen (1920-1996), telah menguraikan bahwa untuk mengatasi komunikasi dan interaksi simbolis itu, manusia melakukan tiga tahapan.

Bermula dari tahap mitis (myth) ketika pertumbuhan manusia masih terbatas berinteraksi dengan lingkungan alamnya. Ia sangat bergantung pada alam. Karena itu, bentuk-bentuk simbol dalam aktivitas interaktif manusia sangat menonjol. Fisikawan Frijhof Capra (83) menyebutnya sebagai „"the hidden connections“ (2002) dan "the web of life“ (1996).

Sejak manusia mulai mengembangkan lingkungan dengan peralatan teknologi, tahapan itu menjadi bersifat ontologi. Relasi dan interaksi manusia menjadikan simbol-simbol memiliki fungsi suci (sakral) seperti dalam ritual (ibadah) dan prosesi. Juga, berfungsi pada wilayah domestik seperti bercocok tanam atau bekerja berambah hutan dan berburu. 

Fungsi ini dikenal dengan simbol profanitas. Fase ini berkembang memasuki tahapan operasional yang berfungsi mengikat bahkan menguak "hidden connections“ antara ruang privat (privatesphere) dan ruang publik (publicsphere) yang jauh lebih kompleks seperti interaksi, koneksi dan jejaring komunikasi global dan digital yang makin luas dan datar (flat) hari ini (Friedman,2005).

Sebagai makhluk bermain (homo ludens), antropolog asal Belanda, Johan Huizinga (1872-1945), memasukkan faktor-faktor simbol sakralitas dan profanitas dalam bentuk-bentuk permainan seperti 'potlach‘ ataupun 'speci ludi,' dan merupakan ekspresi fundamental kebudayaan manusia dari ekologi mana mereka tumbuh, berkembang dan berasal. 

Demikian pula dalam tradisi "pemberian“ (the gift), antropolog asal Perancis, Marcel Mauss (1872-1950), mengategorikan bentuk dan fungsi simbol itu dalam tradisi pemberian (upeti dan hadiah) sebagai ekspresi kebudayaan yang adiluhung.

Dengan kata lain, hampir seluruh ekspresi kebudayaan manusia — dari bertani (cultivasi), berburu (κυνηγός), bermain (ludens), berpolitik( πολιτική) hingga berpikir (philosophia) dan bertukar pemberian (le don) — menggunakan bentuk-bentuk simbol sebagai tanda martabat (dignity) dan penghormatan (honourable).

Lantas apa yang menjadi kurang lazim dalam kasus mengubah simbol label halal (حلال) antara milik MUI dan Kemenag? 

Ditilik dari antropologi politik (kekuasaan) bisa ditebak bahwa kontroversi perebutan wewenang label halal MUI sebagai representasi publik (khusus umat Islam) dan Kemendag sebagai representasi negara sedang berebut kewenangan melalui ranah simbolik (symbolic domain). Namun yang tampak sangat mengusik psikologi publik dalam perubahan simbol label halal itu (versi Kemenag/negara) terletak pada hilangnya nilai-nilai simbolik suci (sakral) dalam label baru bikinan Kemenag.

Dan kisruhnya, tafsir publik atas perubahan versi  Kemenag itu lebih berkonotasi profanitas dari tradisi gunungan pewayangan Jawa. Setidaknya, kebudayaan sinkretis Jawa dalam label simbol baru Kemenag itu, sengaja maupun tidak, sangat menohok psikologi dan biologi iman publik umat Islam dari manapun.

Untuk bisa memberi perbandingan itu, beberapa stempel label halal di negara-negara yang bukan mayoritas publiknya muslim, tampak masih menjaga aura estetika simbolis bernilai Islam yang secara historis telah bersifat "generale symbolicum.“

ReO Filsiwan