Undangan Kenduri Dadakan

Memandang orang Jawa jangan dilihat dari satu sudut pandang , harus melampaui sudut pandang lain, terutama sudut pandang filosofis ketika memandang adat atau kebiasaan dari mereka.

Senin, 22 Juni 2020 | 22:20 WIB
0
359
Undangan Kenduri Dadakan
Kenduri/slametan di salah satu rumah warga (dok. penulis)

Kerap kali kita menjumpai orang-orang pindahan dari daerah lain ke sekitar perkampungan kita, berbicara mengenai undangan dadakan yang diberikan oleh utusan Sohibul Bait (SB) untuk menghadiri acara tasyakuran/slametan/kenduren (kenduri).

Utusan dari SB biasanya baru mulai ngundang-ngundang (mengundang) warga sekitar H-1jam, ada juga yang H-½jam. Hal ini tentu menimbulkan banyak kritikan dari yang diundang. Terutama warga pindahan baik dari kota atau provinsi lain. 

Sebagian dari mereka, ada yang bilang dengan nada keluh "kenapa sih disini kalau ngundang orang kenduri H-1jam? Malah ada yang H-½jam". Ada yang dengan nada sewot "budaya disini perlu diperbaiki, terutama masalah waktu dalam mengundang warga buat kenduri . Saya kan orang sibuk, mestinya kalau ngabarin ya paling tidak H-1. Bukan H-1jam.

Kalau kaya gini terus ya saya terus-terusan ga bisa hadir di acara kenduri tersebut. Kalau sekarang tahu besok ada acara, kan jadi bisa wanti-wanti, besok pas saya  pulang kerja bisa dicepetin. Atau paling ngga kan bisa izin ke boss dulu buat ngikut acara kenduri bareng warga".

Mengapa bisa demikian? Mengapa orang-orang kampung/desa sering ngundang-ngundang dengan cara yang berbeda?

Gini boss, bisa kita lihat pekerjaan orang-orang kampung itu kebanyakan adalah tani. Kesibukan mereka biasanya berakhir pada waktu bada asar, bahkan ada yang lebih. Nah karena mereka pulangnya pada waktu sore, jadinya ngundang-ngundang warga buat acara kenduri juga kisaran waktu itu.

Di waktu-waktu tersebut, para warga desa biasanya sudah leyeh-leyeh di rumahya sendiri. Jarang dari mereka keluar kisaran waktu sendekala (saat sunset sedang tebar pesona).

Selain memiliki khas dadakan, cara ngundang-ngundang warga di desa itu juga memiliki keunikan tersendiri. Kenapa si ngundang-ngundangnya ngga pake kertas aja terus dibagiin ke warga? Kenapa setiap ngundang-ngundang harus bertatap muka? Pake duduk segala lagi, ngga bisa to the point aja apa?

Gini lur, anda sudah tahu kan adat orang Jawa dalam bersikap? Atau dalam hal ini mengenai sopan santunnya orang Jawa. Adab orang Jawa kan sudah terkenal di belahan Nusantara ini. Jadi ketika mau ngundang-ngundang pun, orang Jawa harus pakai etika sob. Etikanya kaya gimana? Ya contohnya dalam hal ngundang-ngundang itu. Utusan SB biasanya mengucapkan salam sembari mengetuk pintu hati. Eh, pintu rumah maksudnya.

Sebagai orang Jawa yang berperadaban dan memiliki etika, tentu kita sebagai "yang diundang" harus mempersilahkan tamu masuk ke dalam rumah. Kalau bisa malah harus disuguhi kan? Malahan sesuai dengan tuntunan agama Islam juga bukan? Setelah masuk, biasanya mereka sedikit berbasa-basi dan kemudian menyampaikan tujuan mereka.

Baca Juga: Pembacaan Maulid Nabi: Afdal Malam Senin atau Malam Jumat?

Kadang juga, ada yang bilang "kepareng matur, sepindah badhe silaturahmi....." Kurang lebih kalau diterjemahkan seperti ini "mohon izin bicara, pertama, saya mau silaturahmi...." Dari cuplikan tersebut, bisa kita ambil kesimpulan bahwa sedikit basa-basi dari mereka juga memiliki makna yang dalam. Berbicara aja harus izin dulu, apalagi kalau pengin bawa pergi anak orang. Hehehe. 

Selain itu, mereka juga kerap mengucapkan niatan mereka untuk silaturahmi. Seperti yang sudah kita ketahui, silaturahmi itu memiliki keutamaan yang sangat luar biasa. Termasuk memperpanjang usia, memudahkan rezeki, memperkokoh persatuan, mendatangkan kedamaian dan lain sebagainya. Bukankah hal demikian justru cenderung membawa nilai positif?

Maka dari itu semua, janganlah cepat-cepat kita mengklaim "adat atau budaya di sini kurang benar", atau bahkan menganggap  sebuah kesalahan dan kekeliruan. Perlu kita ketahui, memandang orang Jawa jangan dilihat dari satu sudut pandang saja, tetapi harus melampaui sudut pandang lain, terutama sudut pandang filosofis ketika memandang adat atau kebiasaan dari mereka.

Segini dulu aja ya guys, besok lagi lah ya.
Iso ku mung nyuwun
Mugo ora getun
Cekap semanten maturnuwun.

***