Hoax Membunuhmu

Kita tidak mengembangkan sikap kritis dan skeptis dan sebaliknya menyerahkan keyakinan kita bulat-bulat pada sosok atau otoritas yang kita anggap suci, murni, dan tidak mungkin salah.

Selasa, 25 Februari 2020 | 06:36 WIB
0
564
Hoax Membunuhmu
Sitty Hikmawatty (Foto: inews.id)

Berhati-hatilah…! Berita hoax yang kita sebarkan bisa membunuh reputasi kita. Kalau reputasi kita hancur gara-gara sebuah hoax yang kita sebarkan maka jelas itu adalah sebuah bencana.

Ibu Komisioner KPAI yang menyebarkan hoax tentang ‘hamil karena berenang’ benar-benar hancur reputasinya karena mempercayai sebuah hoax yang celakanya ia sebarkan melalui media sosial. Ia akhirnya menjadi bulan-bulanan netizen dan bahkan dijadikan olok-olok sampai di luar negeri.

Mulai sekarang kita harus benar-benar yakin bahwa informasi yang selama ini kita percayai adalah benar-benar valid, apalagi jika kita ingin menyebarkannya. Kalau sampai kita meyakini kebenaran a very stupid hoax dan dengan percaya dirinya menyebarluaskannya maka para netizens akan tanpa ampun akan menguliti kita sampai ke tulang. Itu adalah bencana bagi reputasi kita.

Bagaimana sih ceritanya sampai Ibu Komisioner ini bisa meyakini kebenaran sebuah hoax yang sungguh konyol tersebut? Bagaimana mungkin seseorang yang berpendidikan tinggi, menjabat sebagai pejabat publik, bergaul luas, dan memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan bisa terpapar oleh sebuah hoax yang sangat konyol tersebut?

Saya menduga bahwa ia mendapatkan info tersebut dari seseorang yang sangat ia hormati dan percayai kata-katanya sehingga nalarnya ia ‘shut down’. Kita memang cenderung menghentikan sikap kritis kita jika yang bicara itu adalah orang yang sangat kita hormati dan percayai. Katanya Ibu Komisioner ini mendapatkan info tersebut dari seorang ustad, entah siapa. Karena ia bersikap ‘sami’na wa athokna’ pada Sang Ustad maka pendapat Sang Ustad ini menjadi keyakinannya.

Sikap ‘sami’na wa athokna’ nya ini akhirnya menjerumuskannya. Padahal tentunya ia banyak mendapatkan informasi lain bahwa orang tidak bisa hamil karena berenang. Ia tentu juga tidak pernah mendengar adanya seseorang yang hamil hanya karena berenang. Tapi karena ia sudah terlanjur meyakini kebenaran Sang Ustad yang tidak mungkin salah maka itu menjadi pengangannya. Pertimbangan lain sudah ia kubur.

Mari kita belajar dari kasus ini….

Seandainya ada orang yang memberi Anda informasi yang bertentangan, bagaimana Anda menyikapinya? Siapa pemberi informasi yang lebih Anda percaya?

Sebagai contoh, seandainya guru Biologi menjelaskan tentang proses pembuahan antara sperma dan indung telur dan menyampaikan bahwa berenang di kolam renang tidak akan membuat seseorang hamil. Tapi kemudian ada seorang ustad atau pemuka agama yang menyampaikan bahwa berenang itu BISA membuat seseorang hamil jika suhu air di kolam renang berada di temperatur tertentu. Apa sikap Anda dalam menghadapi dua pendapat yang bertentangan ini dan yang mana yang Anda percayai?

Ada dua senjata untuk menghadapi serbuan berita hoax yang membanjiri media sosial saat ini. Pertama dengan ilmu pengetahuan. Anda harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang berbagai isu yang disebarluaskan. Dalam hal isu di atas tentu saja minimal Anda pernah belajar Biologi bab tentang pembuahan, khususnya pada manusia.

Jika Anda mempelajari cukup intens suatu hal tertentu maka Anda akan sampai pada tahap yakin pada pengetahuan Anda. Kalau Anda tidak mendapatkan pemahaman yang cukup di kelas waktu sekolah dan juga malas membaca dan mencari informasi lebih lanjut maka Anda TIDAK AKAN sampai pada tahap yakin bahwa berenang tidak akan menyebabkan kehamilan. Anda hanya akan sampai pada tahap ‘pernah dengar tapi siapa tahu’.

Jadi ketika ada sosok atau figur pemuka agama yang memberi Anda informasi bahwa berenang bisa menyebabkan kehamilan maka Anda akan bisa dipastikan percaya pada pernyataan tersebut. Mengapa? Karena pemuka agama biasanya adalah sosok yang sangat dipercaya dan celakanya tidak pernah dipertanyakan validitas pernyataannya, senyleneh apa pun pernyataannya.

Masih sangat banyak umat yang menganggap bahwa para ustad dan pemuka agama dilindungi oleh semacam aura magis tertentu yang membuat mereka tidak mungkin salah. Kita hanya bisa ‘sami’na wa athokna’ pada mereka. Akhirnya kita membunuh nalar kita sendiri.

Kedua, adalah SIKAP KRITIS dan sedikit SKEPTIS pada berbagai hal yang tampak meragukan. Seseorang yang tidak pernah mendapat informasi tentang kemustahilan sperma berenang mencari indung telur di kolam renang mungkin saja percaya bahwa berenang bisa menyebabkan kehamilan. Tapi jika ia memiliki sikap kritis atau skeptis maka ia tidak akan langsung memercayainya. Ia akan mencari pendapat lain yang bisa menguatkan atau membantah isu tersebut. Ia tidak akan mudah begitu saja percaya. Ia akan terus mencari informasi penunjang sampai ia tiba pada sikap yakin akan kebenaran informasi yang ia terima.

Sayang sekali bahwa masyarakat kita sebagian besar bukanlah masyarakat yang benar-benar mendapatkan pendidikan yang memadai untuk sampai pada tahapan masyarakat yang mampu bersikap ilmiah. Materi pelajaran yang kita terima di sekolah tidak benar-benar membekali kita dengan pengetahuan yang memadai untuk menghindarkan kita dari memercayai berita-berita dan rumor yang sangat konyol sekali pun. Hal ini diperparah dari keengganan kita untuk BERSEDIA mengecek kebenaran berita sebelum memercayainya, apalagi sebelum menyebarluaskannya.

Kita tidak mengembangkan sikap kritis dan skeptis dan sebaliknya menyerahkan keyakinan kita bulat-bulat pada sosok atau otoritas yang kita anggap suci, murni, dan tidak mungkin salah. Kita dengan mudahnya memercayai dan menyebarkan hoax yang jelas-jelas konyol dan tidak masuk akal hanya karena itu beredar di WAG pengajian dan disebarluaskan oleh sesama anggota WA yang kita anggap saleh. Padahal kesalehan dalam ibadah ritual bukan cermin kealiman atau ketinggian ilmunya.

Agama kita JELAS-JELAS MELARANG umatnya untuk menyebarkan berita yang BELUM JELAS KEBENARANNYA. Rasulullah SAW bersabda, ”Cukuplah seorang disebut berbohong (jika) menyampaikan semua yang telah ia dengar.” (Riwayat Muslim). Seseorang disebut melakukan kebohongan jika ia menyampaikan semua yang telah ia dengarkan, tanpa memastikan kebenarannya.

Apakah kalau kita telah begitu waspada terhadap berita-berita hoax dan kebohongan lantas kita akan pasti terhindar darinya? Tidak. Kemungkinan kita terpapar pada berita hoax dan fitnah selalu ada. Tapi jika kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghindarinya maka Allah tentu akan mengampuni dosa kita. Oleh sebab itu marilah kita berdoa sbb:

Ya, Allah! Lindungilah kami dari kebodohan dan ketidakpahaman yang fatal, ketidaktahuan akan fakta yang begitu jelas nyata, dan keteledoran dalam menyebarluaskannya. Lindungilah kami dari kerusakan yang mungkin kami lakukan karena kebodohan kami. Amin…!

Surabaya, 25 Pebruari 2020

***