Menulis Itu Pekerjaan Politik

Ada teori bersepeda karena memang tak ada teorinya, pun tak ada kursus naik sepeda, tetapi kita langsung berlatih naik sepeda, jatuh, bangun, jatuh lagi, bangun lagi, sampai kita mahir bersepeda.

Rabu, 1 April 2020 | 06:32 WIB
1
327
Menulis Itu Pekerjaan Politik
Ilustrasi mengetik (Foto: tirto.id)

"Writing is always a political act,” kata Cristina Rivera Garza. Garza dikenal sebagai penulis tersohor yang banyak menulis novel tentang kaum imigran. Kisah tentang Garza saya baca di koran New York Time di pesawat Cathay Pacific yang membawa saya dari Hong Kong ke Jakarta, pertengahan November 2019.

Sebagai orang yang gemar menulis, saya senang sekali membaca pernyataan Garza itu. Ternyata untuk terlibat dalam politik, orang tak harus terjun ke dunia politik, menjadi politikus. Cukup menjadi penulis, Anda telah terlibat dalam politik.

Begitulah, sejak SMA saya gemar menulis. Ketika tulisan-tulisan pertama berupa artikel ringan atau cerpen dimuat di majalah dinding sekolah, suka citanya bukan main. Apalagi bila dimuat di media komersial, koran atau majalah.

Sejak semester awal kuliah di Medan, Sumut, saya menulis banyak artikel dan mengirimkannya ke koran Waspada, tetapi tak kunjung dimuat. Baru pada semester kelima artikel saya dimuat di halaman opini Harian Waspada. Senangnya tak tertarakan tulisan pertama dimuat di koran terbesar di Medan kala itu. Honornya cuma Rp5.000 tak cukup untuk mentraktir teman-teman. Sekali dimuat, rasanya setiap artikel yang saya tulis dan kirim ke Waspada senantiasa dimuat.

Tulisan bagus bisa dilihat dari argumentasi serta bagaimana menuliskannya. Oleh karena itu selain membaca literatur untuk memperkuat argumentasi, saya juga membaca banyak buku terkait bahasa
untuk memperkuat gaya penulisan. Saya membaca antara lain buku “Seni Menggayakan Kalimat” karangan A. Widyamartaya, “1001 Kesalahan Berbahasa” karangan E. Zainal Arifin dan Farid Hadi, serta “Masalah Bahasa Yang Dapat Anda Atasi Sendiri” karangan Anton Moeliono dkk. Saya juga membaca sejumlah buku berbahasa Inggris tentang menulis. Salah satunya "The New Oxford Guide to Writing" karangan Thomas S. Kane.

Baca Juga: Misteri Menulis, Makin Sibuk Makin Produktif

Selain membaca buku-buku terkait Bahasa Indonesia, kita bisa mengembangkan gaya penulisan dengan membaca buku karangan orang-orang yang kita kenal sebagai penulis yang baik. Saya membaca banyak buku Jalaluddin Rachmat seperti “Islam Aktual” dan “Islam Alternatif.” Kedua buku ini merupakan kumpulan artikel Kang Jalal yang dikenal juga sebagai cendekiawan muslim di koran lokal Bandung. Sebagai Dosen Komunikasi Universitas Pajajaran kala itu, Kang Jalal juga menulis banyak buku komunikasi, seperti “Retorika Modern” dan “Psikologi Komunikasi.” Saya membaca tuntas buku-buku itu.

Saya juga suka membaca tulisan-tulisan wartawan senior Rosihan Anwar. Saya membaca buku Rosihan “Menulis Dalam Air”, “Perkisahan Nusa”, dan "Indonesia 1966-1983.” Buku yang disebut pertama otobiografinya, sedangkan dua buku lainnya kumpulan artikel.

Bila orang bertanya siapa yang mempengaruhi gaya penulisan saya, saya akan menjawab Jalaluddin Rachmat dan Rosihan Anwar. Kang Jalal biasanya menulis satu tema atau teori dengan banyak mencontohkan atau menganalogikan untuk mempermudah pembaca memahami.

Gaya ini yang saya “curi” dari Kang Jalal. Rosihan Anwar menulis dengan struktur kalimat rapi, setiap kalimat minimal terdiri dari subjek dan predikat. Kalimatnya mengalir dengan kombinasi kalimat panjang dan pendek yang proporsional sehingga tidak monoton. Gaya inilah yang saya curi dari Rosihan.

Setamat kuliah saya menjadi wartawan di harian Republika di Jakarta. Saya beruntung membaca banyak buku tentang Bahasa Indonesia serta buku yang ditulis Kang Jalal dan Pak Rosihan. Itu karena setiap berita yang ditulis wartawan mendapat penilaian dari redaktur dan salah satu komponen yang dinilai ialah bahasa. Saya selalu mendapat nilai baik untuk bahasa.

Akan tetapi, pelajaran menulis paling berharga sesungguhnya bukan mempelajari teori-teori menulis, melainkan mempraktikkannya, berlatih. Pelukis Sudjujono berkata, “Menulis itu ibarat naik sepeda, tidak ada teorinya.”

Bayangkan semasa kecil kita belajar naik sepeda. Kita tidak membaca teori bersepeda karena memang tak ada teorinya, pun tak ada kursus naik sepeda, tetapi kita langsung berlatih naik sepeda, jatuh, bangun, jatuh lagi, bangun lagi, sampai kita mahir bersepeda.

***