Misteri Menulis, Makin Sibuk Makin Produktif

Demikian ketatnya jadwal menulis saya waktu itu, sampai-sampai kemana-mana saya membawa mesin tik dan tips ex.

Selasa, 17 Desember 2019 | 07:36 WIB
0
426
Misteri Menulis, Makin Sibuk Makin Produktif
Saya sedang menulis (Foto: Dok. pribadi)

Saya mulai menulis untuk “publik” ketika kelas 2 SMP, saat cerita pendek (lebih tepatnya cerita mini) saya berjudul “Kena Batunya” dimuat di rubrik “remaja” (atau anak?) koran sore Sinar Harapan, Jakarta. Sejak itu, saya hampir tak pernah berhenti dari kegiatan menulis.

Menulis apa saja. Dari fiksi cerpen, puisi, cerita bersambung sampai maslalah kebudayaan, pers, hukum, politik dan olah raga, bahkan urusan kemahasiswaan saya tulis. Dan di muat dimana saja. Tulisan saya pernah di buat di hampir semua media koran dan majalah ibukota waktu itu: Kompas, Pelita, Merdeka, Berita Buana, Suara Karya, majalah Warta Ekonomi, Tempo, Gadis, Kartini, Selecta, Horizon, Higina sampai dengan majalah Karang Taruna Cikini., dan sebagainya.

Di beberapa penerbitan terkadang tulisan saya dapat muncul seminggu dua kali, misal di rubrik opini Kompas.

Dari pengalaman saya sebagai penulis, ada asioma yang menarik di kalagan penulis : Semakin sibuk kita, rupanya semakin produktif pula kita. Itulah yang juga saya alami. Semakin banyak dikejar dead line, banyak lahir pula karya kita.

Saya menulis buat rubrik Ilmu Pengetahuan Sosial acara Titik Temu Radio ARH. Padahal saya waktu itu masih tingkat 1 atau 2 FHUI, sehingga terpaksa harus membaca buku-buku ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, kriminalitas dan sebagainya. Sebab “ilmu pengetahuan sosial” tersebut harus dituangkan dalam bentuk siaran radio yang populer, dapat dalam bentuk dialog, sandiwara atau gabungan keduanga dan sebagainya.

Jadi saya harus “melalap” dulu buku ya supaya faham benar (sehingga waktu kuliah untuk mata acara ini terasa lebih “ringan). Lantas saat itu Saya juga sudah mulai bekerja sebagai wartawan majalah Fokus dan majalah ilmiah Hukum Pemabangunan FHUI.

Dengan begitu, tentu, hampir tak ada waktu luang untuk terlalu santai. Tapi, nah ini anehnya, semakin kita dipacu keadaan untuk menulis, semakin lancar pula tulisan-tulisan kini. Kini setelah relatif kehidupan penghidupan agak santai, “naluri” menulis, wakau masih terus melekat, namun juga tidak sekencang dulu.

Tidak seperti sekarang, tulisan dapat dimirim melalui berbagai piranti lunak sekaligus dan dalam sekejab naskah sudah terkirim, dahulu naskah biasanya dimirim langsun ke tempat penerbitan atau dikirim pakai pos.

Kala itu semua penerbitan itu memberikan honor. Sebagian diambil sendiri sebagian lagi dikirim melalui wesel (tanda terima wesel masih saya simpan sampai sekarang).

Demikian ketatnya jadwal menulis saya waktu itu, sampai-sampai kemana-mana saya membawa mesin tik dan tips ex (masih ingatkah benda ini?). Tips ex diperlukan kalau kita salah ketik (kalau sudah aleneas yang salah biasanya harus diulang lagi negetiknya karena kebanyakan tips ex jadi buruk penampilannya).

Dimana saja saya mengetik. Di rumah atau di kantor teman, saudara, atau dimana saja. Kadang-kadang saya membawa KUBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) sebagai rujukan kala itu. Dua mesin tik sebagai kenangan-kenangan masih saya simpan sampai sekarang.

Setelah era mesin berakhir saya mulai mengetik memakai komputer, kemudian latop dan terakhir-terakhir semua cukup melalui HP.

Bagaiamana pengalaman para sobat?

***