Yahudi Ubah Gurun Jadi Hutan [3] Bagaimana Nasib Hutan di Indonesia?

Selain menghancurkan ekosistem lokal dan menghabisi keaneka-ragaman hayati, deforestasi juga mutlak menurunkan daya serap tanah terhadap air.

Sabtu, 17 Agustus 2019 | 06:40 WIB
0
390
Yahudi Ubah Gurun Jadi Hutan [3] Bagaimana Nasib Hutan di Indonesia?
Ilustrasi hutan (Foto: Pusterad)

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah negeri yang dilimpahi segala berkah, lebih dari seratus juta hektar hutan hujan tropis dengan segala keaneka-ragaman hayati yang terdapat di dalamnya, sungai-sungai berair jernih yang mengalir sepanjang tahun, dan hamparan tanah yang sangat subur.

Bukan hanya yang terlihat di permukaan tanah, semua alat pemenuh kebutuhan hidup manusia lainnya, mulai dari minyak, gas, dan bahan-bahan mineral untuk kehidupan di masa depan, juga disediakan semesta di Bumi Nusantara. 

Tapi apa yang terjadi saat ini? Dalam tiga puluh tahun terakhir, secara rutin setiap tahun bencana alam yang dipicu oleh ulah manusia terjadi di Indonesia, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, dan lain-lain.

Di setiap musim kemarau, ratusan wilayah di Indonesia mengalami kekeringan dan kesulitan air. Mereka hanya bisa mengerang dan berdoa. Lalu di musim hujan, bencana banjir dan tanah longsor seperti berlomba datang menerjang perkampungan. 

Baca Juga: Peran Gubernur dalam Mengelola Hutan

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melansir, selama tahun 2016 terjadi 2.342 bencana yang sebagian besar berupa banjir dan tanah longsor.

Data statistik memang menunjukkan bahwa lebih dari 70% bencana alam yang terjadi di Indonesia adalah banjir, tanah longsor, atau kombinasi keduanya. Deforestasi yang terus-menerus berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masif di berbagai tempat, mengakibatkan setiap tahun sekitar tiga juta hektar hutan rusak, lalu hilang.

Rusaknya hutan dipastikan sebagai penyebab dari antrian panjang bencana alam tersebut. Selain menghancurkan ekosistem lokal dan menghabisi keaneka-ragaman hayati, deforestasi juga mutlak menurunkan daya serap tanah terhadap air. 

Dalam 50 tahun terakhir, Bangsa Indonesia bahu-membahu dengan bangsa-bangsa lain membabat hutan yang asalnya seluas 170 juta hektar, kini tersisa 134 juta hektar. Mereka dengan gembira menebang pepohonan di dataran, bukit, lembah, bahkan di pegunungan. Mengubahnya menjadi pemukiman, pabrik, tempat tinggal, dan lahan pertanian terbuka, tanpa memperhitungkan risikonya.

Hanya ketika bencana banjir dan tanah longsor menderu menerjang rumah-rumah, mereka berteriak, “Apa salah kami hingga bencana ini terjadi?”

Padahal, di Indonesia untuk menanam pohon hanya perlu kemauan. Tidak perlu biaya dan teknologi tinggi, setiap biji pohon berkayu keras, termasuk biji buah-buahan yang dilemparkan ke tanah pada awal musim hujan, akan menjadi tunas pohon pada awal musim kemarau.

Lalu, apakah setelah sekian puluh kali terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta longsor di musim hujan, ada kesadaran kolektif untuk menanam pohon seperti perayaan Tu Bishvat di Israel? Tidak. Lalu kapan akan menanam pohon, agar bencana tidak lagi datang? Entah.

Kisah Bangsa Indonesia dalam menjarah hutan menjadi wilayah terbuka yang sangat rentan terjadi kekeringan di musim kemarau, dan banjir serta tanah longsor di musim hujan, adalah perjalanan panjang penuh kepiluan, nyata, dan berulang. Ironisnya, dengan hutan yang sudah sudah compang-camping dan terus menyusut, mereka belum juga sadar bahwa bencana selalu mengintip dan bisa datang setiap menit.

(Selesai)

***

Tulisan sebelumnya: Yahudi Ubah Gurun Jadi Hutan[2] Hikayat Air, Bikin Cekungan untuk Menampung Air