Mengapa Membenci Cina?

Selasa, 22 Januari 2019 | 10:30 WIB
0
1326
Mengapa Membenci Cina?
Anak-anak etnis tionghoa di Indonesia (Foto: VOA Indonesia)

Tadi malam anak saya yang tertua, kelas 2 SMA bertanya,”Ayah, kenapa sih ada orang-orang yang begitu benci sama Cina?” Dia bercerita tentang gurunya yang begitu terlihat nyata punya sentimen anticina.

Saya senang dengan pertanyaan ini, dan secara keseluruhan senang dengan sikap anak saya soal keberagaman. Waktu pertama kali masuk SMA dia dengan riang bercerita bahwa dia punya teman lulusan Penabur, Cina dan Kristen. Itu pertama kali anak saya berinteraksi dengan keragaman. Sejak TK sampai SMP dia sekolah di sekolah Islam. Saya senang melihat dia bisa berbaur dan menikmati keragaman.

Saya mencoba menjawab pertanyaannya dengan pengalaman masa kecil saya. Saya dulu tinggal di kampung di pulau kecil di pesisir Kalimantan. Mayoritas isi kampung adalah orang Melayu, ditambah Bugis dan Jawa. Di sebelah ada kampung orang Jawa transmigran. Lalu ada beberapa keluarga Cina dengan profesi berdagang. Jadi orang-orang Cina itu bertoko.

Sebenarnya secara etnis isi kampung itu sudah beragam. Dalam hal Cina keragamannya bertambah, beda suku lalu beda agama pula. Bagaimana sikap orang kampung kepada Cina? Ada hal yang saya ingat sangat tajam, yaitu orang kampung dulu biasa menyebut “mampus” kepada orang Cina yang meninggal. Artinya ada kebiasaan merendahkan.

Selain itu Cina masih suka dianggap sebagai WNA. Ini konteksnya ke administrasi pemerintah. Orang Cina tidak dianggap WNI kalau belum punya SBKRI. Saya waktu kecil pernah mendengar guru yang memarahi siswa Cina dengan perkataan, ”Kamu itu WNA, jangan macam-macam.”

Tapi seingat saya cuma sebatas itu. Tidak ada perlakuan khusus yang diskriminatif. Walau juga tidak sangat berbaur. Kalau ada kumpul-kumpul, kami biasanya melakukan kenduri, orang Cina biasanya tidak diundang, karena acaranya dianggap acara ritual. Tapi kalau ada pesta pernikahan, mereka biasanya hadir.

Saya tidak pernah menyaksikan orang bisa sewenang-wenang terhadap Cina, misalnya berani memukuli atau merundung mereka. Pernah ada saudara saya yang memukul Cina, dia masuk tahanan.

Dalam suasana itu saya dibesarkan, dan saya tidak pernah punya perasaan khusus yang diskriminatif terhadap Cina.

Waktu SMP dan SMA saya sekolah di Pontianak. Pontianak adalah kota Cina. Mungkin ada 20% dari penduduknya etnis Cina. Teman-teman sekelas saya ada beberapa yang orang Cina. Ada sedikit cerita bahwa anak Cina yang boleh masuk sekolah negeri dibatasi. Alasannya, mereka unggul, nilai ijazah mereka tinggi. Kalau tidak diberi batasan khusus mungkin separuh kelas terisi anak Cina.

Lagi-lagi harus saya katakan bahwa tidak terasa diskriminasi khusus terhadap Cina. Waktu kuliah saya agak kaget ketika tahu bahwa di Jawa orang Cina tidak berbicara dalam bahasa mereka. Mereka berbahasa Jawa. Entah karena dilarang, atau karena mereka membaur.

Lalu kenapa orang membenci Cina? Meski tidak serta merta mengemuka dalam bentuk tindakan, banyak orang dididik untuk melihat perbedaan dengan merendahkan. Khususnya soal agama. Contohnya tadi, sebutan “mampus” terhadap Cina. Mereka berbeda agama dengan kita, mereka kafir, mereka lebih rendah. Konyolnya, orang-orang yang dididik seperti itu juga tidak begitu serius dengan agama mereka sendiri. Orang-orang kampung saya itu kebanyakan pengetahuan mereka soal agama nyaris nol. Salat tidak, puasa pun banyak yang tidak. Tapi mereka punya keyakinan bahwa karena agama yang mereka anut, mereka lebih mulia.

Lalu kita melihat kesenjangan ekonomi. Orang Cina banyak yang kaya. Kesannya Cina itu kaya semua. Padahal tidak semua juga. Iya, karena orang memproses informasi dengan bias. Mereka tidak perlu menyelisik informasi dengan detil. Ini bagian dari proses berpikir cepat, confirmation bias.

Pada dasarnya manusia punya sifat iri. Melihat orang kaya iri. Lihat orang kaya itu, Cina. Sebelah sana, Cina lagi. Orang hanya melihat Cina kaya, melupakan fakta bahwa yang kaya tidak cuma Cina, dan tidak semua Cina itu kaya. Mereka iri, kemudian benci. Tapi kenapa hanya kepada Cina? Karena didikan awal tadi, bahwa Cina itu berbeda agama dengan mereka, dan seharusnya lebih rendah. Cina itu tampak berbeda dari fisiknya, jadi mudah diidentifkkasi. Orang menumpuk kesimpulan bias bahwa Cina itu kaya.

Kenapa Cina itu kaya? Orang sering enggan melihat bagaimana Cina itu bekerja. Di Pontianak, anak-anak Cina itu mesti jaga toko kalau pulang sekolah. Anak Melayu kebanyakan asyik main. Sebagian anak Cina malah sengaja mencari sekolaj swasta yang masuk siang, agar pagi harinya mereka bisa berjualan dulu di pasar. Anak-anak Cina itu sejak kecil sudah dididik untuk bekerja keras dan berbisnis. Anak-anak Melayu diarahkan orang tuanya untuk jadi pegawai.

Orang enggan berpikir panjang menganalisa kenapa Cina bisa kaya, karena konsekuensinya mereka harus bekerja keras juga. Tidak sedikit yang membuat kesimpulan menghibur. “Mereka kaya karena di agama mereka tidak ada haram, jadi semua bisa mereka lakukan.” Padahal tahu saja pun tidak. Tahunya, Cina itu minum arak dan makan babi. Dengan pengetahuan minim itu mereka menyimpulkan bahwa Cina itu hidup tanpa aturan.

Kemalasan berpikir dan belajar itu membuat orang enggan mencari tahu bahwa orang Cina di daratan Asia maupun di berbagai belahan dunia juga banyak yang muslim. Artinya mereka gagal memahami bahwa Cina itu identitas etnik/bangsa, bukan agama. Mereka juga tidak tahu bahwa budaya Cina bahkan masuk sampai ke masjid. Mereka tidak tahu bahwa beduk itu produk budaya Cina.

Ringkasnya, sebagaimana kebencian-kebencian dalam bentuk lain, kebencian kepada Cina itu adalah produk pendidikan di masa kecil. Pendidikan berbasis paham yang salah. Kemudian terus dipelihara akibat kesalahan berpikir. Berbagai bias ada di situ.

Dalam hal ini saya senang melihat anak saya. Dia sejak dini bisa mendeteksi bias-bias yang menumbuhkan kebencian. Ia bisa memilah hoax, dan menganggap konyol orang yang menyampaikannya, meski itu gurunya sendiri.

***