Kabar Baik dari Citayam Fashion Week

Kehadiran mereka perlu didukung dengan edukasi, misalnya secara berkala bikin gelaran fashion show dengan style yang bisa mereka tiru.

Minggu, 17 Juli 2022 | 11:19 WIB
0
170
Kabar Baik dari Citayam Fashion Week
Remaja SCBD (Foto: Facebook.com)

Tak perlu menunggu kaya untuk bergaya. Tak perlu jadi orang kota untuk eksis dan mendunia. Bermodal uang saku Rp.20-50 ribu dan penampilan busana terbaik mereka, anak anak remaja dari pinggiran ibukota itu membanjiri Dukuh Atas, pusat kota Jakarta untuk mencari perhatian publik dengan cara nongkrong di area BNI City.

Itulah fenomena Citayam Fashion Week yang sedang marak hari hari ini.

Kabar baiknya, era anak anak nongkrong yang nge-punk, kumel, jorok, amburadul dan mabuk mabukan – sudah berlalu. Kini anak nongkrong dari pinggiran nampak necis dan fashionable. Resik dan cantik.

Di belakang itu, efek ekonomi langsung berasa. Pengusaha garment dan fashion senyum senyum senang melihatnya. Transportasi publik, khususnya angkot dapat berkah juga. Berkah lainnya bagi para penjual jajalan di kawasan yang ditongkrongi. Meski tampilan bak cover boys dan cover girl, jajanan tetap cilok, cimol, tahu goreng dan es doger.

Kalau KRL transportasi murah yang mempertemukan para remaja seantero Bodetabek, memang subsidi. 

Beda dengan sebelumnya, anak anak nongkrong identik para pemabuk dan brandalan, remaja remaja broken home, komunitas SCBD – Sudirman, Citayam, Bojonggede dan Depok, tampil gaya. Pamer pesona. Datang dengan pakaian baru, koleksi khusus. 

Salut dan miris juga, dengan uang saku Rp.20 – 50 ribu – sebagaimana diliput RCTI – anak anak pinggiran menemukan kebahagiaan, dengan duduk duduk dari siang hingga 22.00 malam.

Kabar baiknya, kata siapa warga pinggiran susah dan kena krisis ekonomi? Rasanya baru kemarin kena hantam pandemi Covid-19, kok anak anak warga pinggiran kota sudah bisa bergaya?

Fenomena Citayam Fashion Week di Kawasan BNI City Jalan Sudirman, Jakarta, yang ramai oleh muda-muda dari daerah Citayam dan Bojonggede mengingatkan pada anak anak muda di Harajuku, Jepang.

Kawasan Jalan Harajuku, Shibuya, Sinjuku, Akihabara, di Tokyo mendunia karena dadanan remajanya yang unik dan bebas. Harajuku Style tidak merujuk pada karya designer kondang di catwalk, bukan kepanjangan brand dan industri fashion, tidak berpatokan dengan musim mode tertentu. Bahkan terkadang jauh berbeda dengan mode arus utama karena didasarkan pada selera individualisme.

Gaya fashion ini merupakan mode yang tumbuh dari jalanan dan bukan dari fashion show atau desainer. Mereka bebas menggunakan pakaian apa saja beserta aksesoris sesuai selera pribadi.

Street fashion adalah selera gaya orang-orang kreatif yang mengambil segala macam ide, baik dari musik, olahraga, mode, dan sejenisnya, kemudian mengekspresikan nilai-nilai pribadi mereka melalui pakaian.

Street fashion yang telah menjadi bagian dari budaya mode tak jarang malahan menjadi inspirasi desainer merancang busana buatan mereka.

Remaja Indonesia sebagai bagian dari remaja Asia dan Dunia nampak di Citayam Fashion Week. Bukan remaja penerus kadrun yang menghidupan budaya gurun pasir. Korban liqo, halakah, tabligh, hijrah, serba syar'i dan menjadi puritan. Bibit intoleran. Culun. Kadrunista. 

Kehadiran mereka perlu didukung dengan edukasi, misalnya secara berkala bikin gelaran fashion show dengan style yang bisa mereka tiru. Juga menanamkan gaya hidup bersih, tertib, taat aturan, peduli sesama, tidak merokok dan buang sampah sembarangan.

Ketika para ekonom dan politisi oposan menyoroti krisis ekonomi Srilangka, yang berpotensi mengembet ke Indonesia, karena presidennya Jokowi – dan mendorong agar Jokowi diturunkan –mereka harus mendatangi kawasan BNI City di Dukuh Atas, Jakarta Pusat, yang dibanjiri anak anak pinggiran yang tampil modis dan eksis.  

Tak ada krisis di sini, Drun!

***