Jogja Punya Siapa, Siapa Punya Jogja

Mungkin yang tersisa adalah kalangan Kejawen yang tak tergoda janji surga neraka, tetap tenang dan diam enggan bersuara. Setiap saat hanya hobby tertawa dan mentertawakan....

Minggu, 23 Januari 2022 | 19:58 WIB
0
166
Jogja Punya Siapa, Siapa Punya Jogja
Jogjakarta masa lalu (Foto: dok. Pribadi)

Saya ingin memulainya dari satu cerita. Satu peristiwa kecil. 

Beberapa waktu yang lalu, ada satu peristiwa penting yang luput dari amatan publik. Tapi sesungguhnya, inilah peristiwa yang teramat tragis, yang mencerminkan betapa jogja memang telah benar-benar berubah.

Berubah dalam arti bahwa sekalipun Jogja selalu dianggap istimewa. Atau minimal mereka menyebut dirinya sendiri sebagai istimewa, tapi sesungguhnya jauh panggang dari api. Kata-kata yang justru sedang menjebak dan membenamkan dirinya sendiri.    

Suatu peristiwa, tatkala seorang pedagang anyaran dari suku B. Maaf saya agak rasis, tapi tetap saya harus menyamarkannya. Karena, hal ini diperlukan untuk keperluan yang "sangat menjelaskan". Ia adalah pedagang mainan anak import dari negara C. Sejenis mainan yang dapat dianggap "mainan berumur pendek". Karena kualitasnya yang buruk, warna-warna yang ngejreng.

Konon warna sejenis ini sebenarnya tak sehat bagi kesehatan anak. Karena terbuat dari pewarna murahan, lalu ditablakan pada bahan plastik KW 3. Triple kuadrat buruknya. 

Jadi kalau harga produknya murah, yah wajar. Pedagang lokal, dalam arti sesampai di Indonesia, bisa meraup keuntungan sangat besar. Apalagi jenis mainan ini, walau sebagian memiliki "hak cipta", di tangan industrialis ini apalah mereka peduli.

Jadi, tak ayal mereka cepat berkembang jadi "kaya", karena keuntungan 200% sudah pasti di tangan. Ia kemudian bisa membeli properti dimana-mana. Salah satunya adalah sebuah rumah tinggal biasa (atau toko bangkrut) saya lupa. Di sebuah jalan di tengah kota, tak jauh dari Pojok Benteng "ajaib" yang tiba-tiba muncul dan kemudian jadi ikon baru. 

Di depan toko itu, ada sekelompok pedagang kaki lima. Sebagian besar adalah kelompok pembuat kunci cadangan yang saya ingat sudah puluhan tahun berdagang di tempat itu. Singkat cerita, mereka diusir oleh si pemilik baru, karena dianggap menghalangi jalan masuk dan tentu saja menutup keberadaan toko tersebut.

Sampai disini tampak wajar belaka. Tapi pengusiran ini dianggap terlalu sarkastis, karena dianggap tidak mempedulikan sejarah dan kearifan lokal. Para pedagang/penjaja jasa itu kemudian mengadu ke sana kemari, termasuk harus "tapa dede" di alun-alun utara untuk meminta perhatian dan keadilan dari Pak Sultan.

Tapa dede adalah jalan terakhir, sebuah eksibisionis, tradisi lama ala orang Jawa untuk unjuk rasa yang kuno dan basi banget. Karena tak tahu lagi, harus bagaimana. Menjemur diri di tengah terik panas, hanya untuk jadi tontonan.

Tapi apa jawaban penguasa tertinggi Jogja: ini persoalan hukum negara, pihak Kraton tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi si pengusaha itu memang menggunakan jasa para pengacara, yang memang terkenal mahir dari etnis tersebut. Mereka tentu saja mengabaikan kearifan lokal, yang tak termaktub dalam pasal apa pun dalam KUHP atau perundang-undangan di Indonesia....

Bangunan itu, saat ini adalah simbol keangkuhan baru. Dikerangkeng dalam pagar hitam, merusak pemandangan. Karena jadi aneh sendiri, karena bangunan di kanan kirinya tetap bergaya lama. Tanpa pagar, terbuka, dan tampak leluasa. Sampai kapan bertahan kesombongan itu, entahlah. Tapi jelas, tak akan sampai satu generasi!

Jadi, bila situasi Jogja sekacau, sebanal, dan sememprihatinkan itu hanyalah sebuah cerita bersambung. Sebuah daftar isi buku yang tak pernah selesai disusun. Muncul satu peristiwa, yang susul menyusul yang sesungguhnya bisa dipahami sebagai pemberontakan laten.

Sesuatu yang melahirkan anrakisme baru yang saya kawatair di masa depan menjadi dasar dari situasi chaos yang tak terhendirkan. Semoga tidak!

Di Jogja, makanan-makanan yang dulu simbol kesederhanaan. Simbol dari gaya hidup yang penuh asketisme, di mana semua jenis masakan Jogja itu bisa dinikmati minimal dalam dua kali makan.

Apa yang disebut "jangan nget-ngetan". Sayur yang bisa dihangatkan. Apa saja itu. Apakah itu gudeg, brongkos, soto, atau lodeh.

Saat ini menjadi kuliner yang nyaris tak terbeli lagi. Harganya menjadi terlalu mahal. Secara rerata, para pedagang generasi baru itu hanya menunggu para pembeli atau wisatawan "keblasuk", kesasar yang mau membayar dengan harga yang sangat mahal. 

Seberapa mahal? Di sebuah warung emperan jalan, harga termurah untuk gudeg dengan isi satu telor, tempe, dan tahu tanpa nasi adalah sekitar Rp20.000,-. Saya tidak tahu, berapa harganya di sentra-sentra gudeg yang lebih elitis itu yang jadi sentra resmi kuliner.

Tapi di pasar tradisional pinggiran kota, untuk ukuran yang sama, masih ada simbah-simbah sepuh yang menjualnya hanya Rp5000,-. Artinya faktor pelipatnya sudah tak masuk akal lagi. Tentu saja ini anarkisme lain yang terbangun di kota ini....

Mereka akan selalu membangun image, bahwa yang enak dan bergengsi itu harus mahal! Jauh dari karakter asli orang dari kota ini! 

Dan kegelisahan ini kemudian mengular sangat panjang, pada harga properti: tanah, rumah, ruang usaha yang super mahal. Saya terkaget-kaget, bahwa harga sewa space di Malioboro Mall adalah yang termahal di Indonesia. Melebihi mall-mall manapun. Hingga ia merambah hotel di belakangnya, yang daripada harus berebut penginap dengan sedemikian banyak hotel. Tentu akan lebih save bila jadi wilayah perluasan mall. 

Sementara hotel-hotel yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Tak lagi mengapresiasi keberadaan warga lokal di kanan-kirinya. Mereka sedemikian bebas menyedot air tanah melalui mesin hisap sumur dalam, yang membuat warga di sekitarnya jadi sulit air. Meratorium tentang pengehntian izin baru IMB hotel adalah simbol kebohongan. Selalu ada seribu argumentasi, termasuk di dalmnya bila harus memmanipulasi tahun izinnya. Kegilaan yang nyata di depan mata. 

Di jalanan, pembiaran terhadap moda transportasi "becak motor" yang ilegal. Sebuah transformasi yang dianggap menyesuaikan zamannya, memaksa diri hadir hanya sekedar untuk menjadi musuh baru bagi warganya. Mereka, tiba-tiba menuding moda "becak lama" sebagai tidak manusiawi lagi!

Sembari memberi contoh dirinya sebagai salah satu bentuk "setan jalanan baru". Tak taat lampu merah, plat nomor plasu, tak menggunakan helm, parkir di sembarang tempat. Persoalan ini, tak pernah selesai. Karena selalu terjadi lempar tanggung jawab antar instansi. 

Di satu sisi Pemkot sebagai yang punya wilayah merasa itu tanggung jawab dari Pemprov. Sebagai institusi di atasnya yang harus memberi payung hukum. Sementara, pihak pemprov justru menuding pihak kota tak becus mengurus ketertiban di wilayahnya. Dan kelambanan mengesekusi kebijakan ini, kemudian justru diikuti bergentayangannya para setan jalanan baru, yang disebut sebagai "anak-anak klithih". Mereka sesungguhnya adalah anak pinak dari kekisruhan dari siapa penguasa jalanan. Simbol perebutan hegemoni jalanan oleh genk-genk anak muda, yang tak pernah diakui. Karenanya menjelaskan kenapa tak pernah bisa diatasi. 

Dan anak-cucu dari semua fenomena ini adalah lahirnya "budaya nuthuk"! Ini adalah watak premanisme, pemerasan, yang sesungguhnya merata di semua arena.

Perdagangan, transportasi, jasa wisata, perhotelan bahkan menjangkau hal-hal yang sifatnya remeh temeh yang tak terbayangkan sebelumnya. Seperti penyanyi jalanan, badut perempatan, dll yang sesungguhnya mereka adalah "para pengemis berkemampuan". 

Sesuatu yang secara hiperbolik dan ironik, justru ketika mereka melabeli sendiri aktivitas dengan retorika "Jogja adalah surga anak jalanan"!

Apa pasal, apa penyebab sesungguhnya dari semua hal ini? 

Hal ini adalah simbol pertarungan kepentingan yang entah kapan selesainya. Di kota sekecil Jogja terdapat ratusan LSM yang siap membela siapa saja yang dianggap tertintas. Bahwa justru mereka sesungguhnya adalah "penindasnya" itu soal lain. Kasus apa pun, sesalah apa pun akan ada advokasi pendampingnya.

Dan hal ini pasti akan berujung pada perusakan citra mereka yang menjadi lawannya. Akibatnya, siapa pun yang duduk di pemerintahan akan selalu berwatak sama: jirih, penakut atau chicken. 

Mereka secara bersama-sama akan selalu mengedepankan "ideologi kondusif". Mereka akan selalu berusaha menjadi peredam segala persoalan. Seolah semua persoalan harus selalu diredam dan disembunyikan. Seolah nama baik adalah se-gala-galanya. Seolah-olah kenyamanan bersama ada di singgasana paling utama. Mereka bukanlah problem solver, mereka adalah birokrat-birokrat yang berwatak denial. Mereka akan memilih program yang tanpa resiko, walau tak banyak bermanfaat. 

Mereka ini, adalah rezim harmoni dan penganut paham kondusivitas. Jabatan pada kalangan ini adalah barang berharga, yang harus dibayar dengan meminimlakan resiko. Mereka adalah pengecut yang selalu memakai topeng Dewi Welas Asih! 

Karenanya, Jogja cepat atau lambat atau malah sudah terlambat menjadi sarang segala hal yang buruk itu. Kasus penendangan sajen itu, kemana bersembunyinya? Jogja. Sudah bersembunyi dibelai lagi! Kata orang Jogja: "ketemu pirang perkara".

Rahasia umum yang tak pernah muncul ke permukaan publik pengerasan cara-cara beragama ini adalah munculnya gelombang besar agnotisme di kalangan anak-anak muda. Tak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Jasa-jasa tatto tubuh laris dimana-mana sebagai simbol perlawanan gaya hidup sosial yang jumud, kaku, dan bikin gerah.  

Dan kasus terakhir, terupdate dan memalukan!

Alih-alih berterimakasih kepada pengunggah "bon parkir 350 ribu". Mereka menelisik keaslian dari bon itu, lalu menuduh si pengunggah sebagai melakukan pencemaran nama baik!

Sebuah pengingkaran gaya pengecut yang sama sekali tak mencerminikan watak asli manusia Jawa dari kota ini. Mereka yang terkenal lebih bercirikan sikap kerendahan hati: satu jari boleh menuding ke oarang lain, tapi ingatlah empat jari lain menuding kepada dirimu sendiri. 

Mungkin si pelapor ingin meredam citra buruk Jogja. Tapi tak sadar bahwa ia justru sedang semakin memperburuknya...

Inilah watak dasar terjelek dari orang Jogja yang dulu orang jadul bilang sebagai "ngapik-apik deweke dewe, ngelek-ngelek tumraping liyan". Suatu watak yang sedihnya jadi biasa dari para penguasa dalam ranah apa pun biroktasi, budaya, agama. sosial.

Sesuatu yang dasarnya bila dikaji dari budaya lokal justru adalah simbol "kere munggah bale" atau watak mereka yang sedang pansos. Suatu tataran yang menyebabkan mereka justru selalu disindir sebagai kaum "melik nggendong lali". Bahwa kekuasaan, kekayaan, kepopuleran hanya menghasilkan satu hal yang pasti: lupa diri!

Agama di kota ini tak lagi jadi solusi. Di satu sisi bagi kelompok mayo, ia adalah cara menghegemonisasi, menginfiltrasi, dan memperksekusi. Sementara kaum mino, sekuat tenaga bertahan, dengan resiko menjadi kaum jumud yang dipersalahkan sebagai simbol anti-kemajuan.

Mungkin yang tersisa adalah kalangan Kejawen yang tak tergoda janji surga neraka, tetap tenang dan diam enggan bersuara. Setiap saat hanya hobby tertawa dan mentertawakan....

Jogja jadi tak jelas lagi. Siapa yang punya atau punya siapa dirinya. Siapa obyek, siapa subyek. Ia hanya dipersatukan atau sekaligus dipisakan pada sisi predikatnya. Jogja adalah kebingungan itu sendiri. Di sini semua jadi ribet, bahwa sesungguhnya semua orang ingin berkuasa tapi sekaligus tak berkuasa seepenuh2nya. 

Ada Kraton yang punya Raja, ada Provinsi yang punya Gubernur, ada Pemkot yang punya walikota, ada kapanewon (dulu kecamatan) yang punya Panewu. Sebuah simbol bahwa sekalipun ia PNS ia sekaligus abdi dalem kraton. Ada preman yang berlindung di balik perlindungan para bangsawan, di balik ormas agama, parpol, atau kelompok etnis yang datang pulau-pulau yang jauh. 

Jogja adalah cermin serba ketidaksiapan menyambut masa depan. Ia tampak tak siap ketika anak kandung yang dibesarkan di masa revolusi. Tiba-tiba ibukotanya dipindahkan ke luar Jawa. Sebagai "mbok mban" ia tak disapa, tak diajak rembugan. Ia seolah sudah cukup dianggap "daerah istimewa". Yah karena sesungguhnya ia bukan siapa-siapa lagi. 

Konon aporisma paling melodius tentang Jogja adalah frasa: Jogja itu terbuat dari rindu. Ia yang merindukan segala hal murah yang memberi kenyamanan, simbol kearifan masa lalu, dan watak sederhana yang menyatukan. Walau situasi sesungguhnya justru terjadi sebaliknya bagi warganya sendiri. Ia jadi serba mahal sekali, nyebahi dan mbagusi. Suatu situasi paradoksal yang akut sekali...

Faktanya: kesederhanaan bersalin rupa jadi kemewahan, kepercayaan diri jadi barang langka, kesejatian hidup jadi sulit lagi ditemukan....

NB: Di bawah ini saya ingatkan, bahwa NKRI yang hari ini sedang bermimpi menjadi salah satu negara terkaya nomor lima di dunia pada tahun 2045. Dilahirkan, dengan uluran tangan pihak Kraton Jogja. Nyaris seluruh aset kraton dibuka agar penyelenggaraan negara bisa berjalan, dan pemerintahan darurat itu berjalan atas biaya Ngarsa Dalem Sri Sultan HB IX. Masa pendek, yang menyelamatkan, karena setelah itu keping-keping wilayah yang tak jelas itu dipersatukan dalam wadah atau pangkuan republik ini. Ketika, ia pindah pun nyaris 75% persen birokrasinya ditopang oleh orang Jogja. Bedol desa pertama....

Tapi apa yang orang tak ingat pada masa itu? Kesengsaraan yang tak terperi untuk orang Jogja sendiri, kelaparan terjadi nyaris di semua sudut kota. Hingga mengetuk hati, sebagian orang Belanda yang tergabung dalam organisasi sosial bernama ASIB. Mereka turun langsung menyediakan makanan bagi orang tua dan anak kecil.

Di gambar ini, Ngarsa Dalem Kaping IX tampak memantau program tersebut secara langsung. Untunglah, sebuah dokumentasi selalu menyelamatkan dan mudah-mudahan menyegarkan ingatan itu semua. 

Tak semua hal yang kita anggap buruk itu jahat, sebaliknya tak semua hal baik itu selalu baik. Tak semua kemajuan itu baik. Kadang malah sangat menyesatkan. Di Jogja, hal itu: keterlaluan menyengsarakan rakyatnya sendiri! 

Tak elok, membiarkan Jogja rusak dan dirusak sedemikian rupa....

Foto-foto koleksi Indonesia Early Visual Documentary (IEVD) c. 1947

***