Ketika Difitnah

Pada satu titik dalam hidupnya, setiap orang pernah menjadi korban fitnah. Ini bisa sangat menyakitkan, jika orang tak memiliki pemahaman yang tepat.

Kamis, 9 Desember 2021 | 06:33 WIB
0
200
Ketika Difitnah
FItnah (Foto: bacaanmadani.com)

Kata pepatah, fitnah lebih jahat dari pembunuhan. Tampaknya, ungkapan itu memang benar. Jika dibunuh, orang kehilangan tubuhnya. Jika difitnah, tanpa tanggapan yang tepat, orang bisa kehilangan mata pencahariannya, harga dirinya dan bahkan juga hidupnya.

Saya sendiri sudah berulang kali difitnah. Karena iri atau salah paham, banyak kebohongan disebarkan tentang diri saya. Ada fitnah yang sungguh merusak, sampai mempengaruhi banyak sisi hidup saya. Namun, sebagian besar fitnah hanya gosip di belakang yang tak bermakna.

Mungkin, yang paling menyakitkan terjadi, jika fitnah dilakukan oleh orang yang dekat di hati. Ini juga terjadi pada saya di masa lalu. Memang, seingat saya, rasanya begitu menyakitkan. Walaupun, fitnah tersebut juga akhirnya lenyap ditelan waktu dan peristiwa.

Di jaman digital ini, memfitnah menjadi begitu mudah. Sebuah kebohongan dengan mudah tersebar, dan dipercaya oleh massa yang tak berpikir. Memfitnah pun menjadi bagian dari gosip digital yang lumrah terjadi. Jaman digital menghadirkan kesempatan nyaris tak terbatas untuk menjadi peternak fitnah.

Dampak Fitnah

Ada ragam tanggapan terhadap fitnah, jika ia terjadi. Pertama, reaksi pertama banyak orang, ketika difitnah, adalah marah. Mereka merasa terhina, dan terbakar oleh emosi yang membara. Tak jarang, niat membalas pun muncul, dan konflik fisik yang bersifat massal pun terjadi, seperti perang antar kampung, antar ras dan antar agama.

Dua, banyak juga orang menolak percaya. Ini terjadi, terutama jika fitnah dilakukan oleh orang-orang yang dekat di hati. Orang tercengang oleh peristiwa yang terjadi di luar tata akal sehat. Dibarengi oleh amarah yang membara, rasa tak percaya menghadirkan derita batin yang sungguh menyiksa.

Tiga, depresi biasanya datang mengikuti. Orang merasakan kesedihan mendalam untuk jangka panjang. Fitnah sudah lama terjadi, dan mungkin sudah terlupakan di masyarakat luas. Namun, bagi si penderita fitnah, siksaan terus terjadi, serta membuat hidup terasa gelap dan suram.

Empat, depresi juga menggoyang harga diri. Orang merasa, dirinya tak berharga. Ia bisa begitu mudah dibuang, ketika pendiriannya bertentangan dengan tradisi yang digenggam erat oleh mayoritas. Ketika harga diri tergores dalam, bahkan hancur berkeping-keping, rasa ingin mati pun tak terhindarkan.

Fitnah, bagi manusia biasa, jelas punya dampak merusak. Derita yang muncul kerap tak tertanggungkan. Namun, dampaknya tak harus seperti ini. Ada jalan lain, yakni jalan Zen.

Jalan Zen adalah jalan pembebasan dari ilusi. Ilusi tersebut adalah sumber penderitaan yang amat besar. Dengan menyadari ilusi sebagai ilusi, kelegaan akan timbul seketika. Sebenarnya, ini proses yang amat sederhana, namun kerap luput dari mata yang terus mencari di kejauhan.

Mengapa Difitnah Menyakitkan?

Mengapa difitnah menyakitkan? Ada empat hal yang penting untuk dipahami. Pertama, ego yang kuat justru amat rapuh, ketika dihina, atau difitnah. Ego adalah rasa keakuan. Di dalamnya terkandung ingatan yang membentuk identitas. Di dalam ego yang kuat, kesombongan juga amat kuat berakar. Kesombongan yang terselip di dalam struktur ego inilah yang sangat tersiksa, ketika difitnah.

Dua, orang menderita dalam fitnah, karena ia sudah dicuci otaknya sejak kecil. Orang diajarkan, bahwa hidup haruslah memperoleh pujian. Jika tak dipuji, maka ia murka dan kecewa. Masyarakat kita menciptakan manusia-manusia yang kecanduan pujian.

Tiga, cuci otak kedua adalah cuci otak untuk takut dicela. Kita dididik untuk menghindari celaan. Kita dididik untuk takut pada hinaan. Ini membuat batin kita rapuh, ketika celaan, baik dalam bentuk fitnah atau yang lain, menghantam.

Empat, jika kita tak takut dicela dan tak haus pujian, siapa diri kita? Inilah jalan Zen untuk mengungkap jati diri kita yang sebenarnya. Jati diri itu sebelum suka dan tidak suka, sebelum celaan dan pujian. Jika orang tak paham jati diri aslinya, maka ia dengan mudah digoyahkan oleh pujian dan celaan, termasuk oleh fitnah.

Menyingkapi Fitnah

Fitnah tak harus menjadi petaka. Ia bisa menjadi kesempatan untuk melatih batin. Ia bisa menjadi kesempatan untuk mengenali diri kita yang sebenarnya. Ada empat hal yang kiranya penting untuk dicatat.

Pertama, setiap pujian, fitnah ataupun celaan selalu dilontarkan pada ego abstrak. Ini adalah ego hasil ciptaan orang yang memuji dan mencela. Ini seperti orang yang menyerang asap. Seolah ada, tetapi sungguhnya hanya kabut tanpa bentuk. Maka, menanggapi pujian ataupun celaan secara serius adalah sebuah tindakan bodoh.

Dua, orang menjadi pelaku fitnah, karena mereka menderita. Mereka hidup dalam kebencian membara yang menyiksa jiwa. Justru, mereka perlu dikasihani. Pemahaman ini melahirkan belas kasih terhadap orang yang berbuat jahat terhadap kita.

Tiga, emosi membara, ketika fitnah terjadi pada diri kita. Ini kesempatan untuk sungguh mengamati emosi yang membara dalam batin. Tujuannya sederhana, supaya kita sungguh mengalami, betapa sementaranya emosi itu. Pada satu titik, emosi hanya menjadi tamu yang numpang lewat, tanpa banyak mengganggu batin.

Empat, emosi datang dan pergi. Siapa yang mengamati emosi tersebut silih berganti? Ini adalah keheningan yang sadar, atau jati diri kita yang asli. Kita perlu menyadari keheningan tersebut, dan bertindak darinya.

Dalam konteks fitnah, jika perlu penjelasan, maka kita menjelaskan. Jika hanya perlu diabaikan, maka kita juga mengabaikan dengan legawa. Bertindak tepat berarti bertindak dari titik hening yang mengamati pergantian emosi tersebut. Inilah inti utama dari jalan Zen.

Pada satu titik dalam hidupnya, setiap orang pernah menjadi korban fitnah. Ini bisa sangat menyakitkan, jika orang tak memiliki pemahaman yang tepat. Zen menawarkan kejernihan batin untuk menanggapi segala keadaan. Fitnah bisa menjadi berkah, ketika ia dilihat sebagai kesempatan untuk melatih batin, dan mengenali diri kita yang sebenarnya.

***