Meliput Peristiwa Pesawat Jatuh

Mengingat pengalaman-pengalaman liputan, saya makin yakin jurnalis itu profesi yang sangat mengasikan. Seperti bekerja sambil ‘bermain’, tapi tidak boleh main-main.

Jumat, 22 Januari 2021 | 15:50 WIB
0
491
Meliput Peristiwa Pesawat Jatuh
Fokker 27 (Foto

Kamis, 17 Juli 1997 bertepatan dengan hari libur Maulid Nabi Muhammad SAW. Sekitar pukul 13.30 saya bersama kamerawan Viandi dan Hedi (driver) baru kembali dari makan siang. Karena hari libur, kami bersantai di rumah sambil tetap memantau lalulintas informasi.

Saat itu Anteve baru menempatkan beberapa tim liputan di beberapa kota besar di luar Jakarta, semacam biro. Kami ditugaskan meliput wilayah Bandung dan sekitarnya. Kami mengontrak sebuah rumah di Jl. Sekelimus V.
Tiba-tiba komunikasi di HT Polisi disibukan dengan informasi pesawat jatuh, lokasinya di Kopo, Bandung Selatan. Saat itu juga kami bergegas menuju tempat kejadian. Tadinya saya pikir yang jatuh itu pesawat kecil, seukuran Cessna. Ternyata sebuah pesawat penumpang Fokker 27 Sempati Air.

Pesawat itu jatuh tepat di satu empang yang ditumbuhi kangkung, di tengah pemukiman, tidak jauh dari Lapangan Terbang Sulaeman, Kopo. Jatuhnya di titik itu sangat mungkin diupayakan oleh pilot agar tidak menimbulkan banyak korban jiwa dari penduduk setempat.

Di sana sudah banyak wartawan, cetak dan elektronika. Kamerawan Viandi langsung mengambil gambar. Sedangkan saya mencari data dan informasi terkait kejadian itu.

Di tengah warga dan petugas yang sedang mengevakuasi korban, ada sosok yang tidak asing: Haryanto Dhanutirto, Menteri Perhubungan. Bajunya kotor, belepotan lumpur. Beberapa keterangan dan data saya dapatkan dari Menhub yang saat itu sedang berkunjung ke saudaranya di Kopo.

Pada kejadian itu, tercatat Sempati Air dengan nomor penerbangan SSR 304 dari Bandara Hussein Sastranegara, Bandung menuju Halim Perdanakusuma, Jakarta mengalami kerusakan mesin sesaat setelah take off, lalu jatuh di Margahayu, Kopo, Bandung. Tercatat, 28 penumpang meninggal, 22 cedera. Selain itu ada beberapa orang warga yang luka-luka, serta satu rumah rusak berat.

Sumpah ... saya tidak mewawancarai warga, apalagi korban yang cedera. Menteri aja gak saya wawancarai (direkam). Saya hanya ngobrol dan sesekali bertanya dengan penduduk untuk mendapat informasi tambahan. Saya hanya ‘on camera’, melaporkan langsung dari tempat kejadian.

Sekitar pukul 15.00 saya ditelpon dari Jakarta.

“Elu sudah di lokasi kejadian?” terdengar suara Bahtiar Tarempa, News Manager.
“Iya ...” saya jawab.
“Ini harus tayang di Cakrawala sore ini,” pintanya.
“Gila lu Bah ... ini udah jam 3 sore!”
“Gua gak mau tahu gimana caranya, kau sewa helikopter kek ... pokoknya harus tayang sore ini!” dia tutup telpon. Bangke.

Viandi segera menukar kaset, kamera diisi dengan kaset baru. Pas mau berangkat menuju Bandara Hussein, teman saya KH Ilmi Hatta dari RCTI nitip kaset. Kemudian reporter SCTV, Drs. Boy Syahbana Alamsyah ikut naik mobil saya. Di perjalangan saya mendiktekan naskah berita yang diketik di Jakarta. Dua naskah selesai.

Baca Juga: Kemenkeu Berduka Atas Insiden Pesawat Lion Air JT610

Sesampai di bandara sekitar pukul 15.30, saya langsung masuk ke loket, hendak membeli tiket. Penerbangan ke Jakarta yang terdekat pukul 16.00. Tapi tiket sudah habis. Memakai sendal jepit punya Hedi (sepatu saya nyungsep di lumpur, bodo amat), baju dan celana belepotan lumpur, saya masuk ruang tunggu. Orang-orang menatap keheranan.

Lalu saya tanya satu per satu calon penumpang, barangkali ada yang mau menjual tiketnya dua atau tiga kali lipat dari harga normal (waktu itu tiket Bandung-Jakarta Rp87.000). Semua geleng kepala. Sialnya lagi, tak satu pun yang mau saya titipin kaset (betacam), nanti ada yang jemput di Halim. Bingung saya. Pakai mobil atau kereta, gak mungkin keburu.

Tiba-tiba saya teringat, tadi di lokasi kejadian ada Pak Menhub. Saya telpon M Ilmi Hatta.

“Mi ... Menhub masih ada di situ?”
“Ada. Ada apa?”
“Bisa kasihkan HP-nya ke Menhub,” pinta
“Hallo ...” terdengar suara Pak Haryanto.
“Pak, saya sama Boy di Bandara Hussein mau ke Jakarta bawa kaset hasil liputan, tapi kehabisan tiket,” saya mengiba.
“Yang ke Jakarta jam berapa?”
“Jam empat, Pak. Merpati ...”
“Coba HP kamu kasihkan ke petugas di sana.”

Saya menghampiri seorang petugas loket. Dia menatap saya.

“Ini ada yang mau bicara dengan bapak ...” kata saya sambil memberikan HP Motorolla 8700 yang masih tersambung.

Dia agak bingung, tapi menerima lalu menempelkannya ke telinga. Kemudian terlihat dia bicara pendek, “Baik Pak ...”, “Bisa ... Pak, bisa,” sambil terbungkuk-bungkuk. Setelah itu HP dikembalikan ke saya dalam keadaan masih tersambung.
“Tuh sudah bisa seat ...” kata Pak Haryanto.
“Terima kasih, Pak.”
Legaaa ... Tak lama kemudian seorang petugas membawa dua lembar boarding pass, untuk saya dan Boy. Kata petugas itu, ada dua pejabat Kemenhub yang terpaksa batal terbang, karena seatnya dikasihkan ke saya.
“Lu bayarin dulu ya ...” pinta Boy.
“Iya tenang ...”

Tidak nunggu lama, saya dan Boy sudah antre untuk naik ke pesawat CN-235 Merpari Airline. Saya dapat seat paling depan, Boy di tengah. Pesawat sudah di ujung landasan, lalu take off. Di samping saya, seorang ibu (saya yakin itu Ibu Mien Uno) menatap saya keheranan.

“Kok kamu naik pesawat bajunya kotor kayak gitu sih?” tanya Si Ibu.
“Iya Bu, habis liputan barusan ... harus tayang sore ini juga.”
“Ooohh ... kamu reporter tivi. Tadi liputan apaan?” tanyanya penasaran.
“Tadi jam 13.15 ada pesawat Sempati jatuh di Kopo.”
“Haaahhh ... ?? Kamu bukannya bilang dari tadi. Kalo gitu saya gak naik pesawat. Kamu yang tadi di ruang tunggu mau bayarin tiket itu kan?” katanya dengan wajah cemas.
“Kita sudah take off Bu. Kita berdoa saja agar selamat.”

Tiba di Bandara Halim pukul 16.30. Di sana sudah ada driver yang menjemput saya. Ada juga mobil SCTV dan RCTI. Sampai di Sentra Mulia pukul 16.45, langsung diedit cepat. Dan ... tiga berita tentang jatuhnya Sempati Air 304 menjadi berita pembuka Cakrawala hari itu, 17 Juli 1997. Yess ... !!

Setelah makan, ngopi, udud di belakang kantor. Saya diantar ke Gambir. Kembali ke Bandung.

Jumat siang 18 Juli 1997, saya ditelpon sama Ilmi. Dia baru saja menerima Surat Peringatan I (SP I) dari kantornya, RCTI. Haaahh ...? Kenapa ...?

“Kemarin, kaset yang lu bawa ke Jakarta itu kaset kosong. Kaset yang ada gambar liputan, gw masukin lagi ke kamera. Sialan ... ! Akhirnya kaset gw kirim pake kereta habis magrib,” kata Ilmi kesal.

Mendengar cerita Ilmi saya ngakak ... Tapi kejadian seperti itu sangat mungkin terjadi. Apalagi Ilmi meliput sendirian, sebagai kamerawan juga reporter. Mengingat pengalaman-pengalaman liputan, saya makin yakin jurnalis itu profesi yang sangat mengasikan. Seperti bekerja sambil ‘bermain’, tapi tidak boleh main-main.

***