Prank untuk Menjadi

Bentuk prank dari youtube, kemudian juga ke tiktok, tak hanya dilakukan demi duit atau monetisasi. Juga untuk tujuan ideologis atau politis (meski bisa saja tujuan akhirnya duit juga).

Rabu, 10 Februari 2021 | 07:09 WIB
0
150
Prank untuk Menjadi
Ilustrasi Prank (Foto: Halodoc)

Timothy Wilks, seorang youtuber tewas ditembak saat membuat konten prank perampokan. Bukan di Indonesia tapi di AS. Segitunya? Ya, segitunya, sesuatu yang sebenarnya juga banyak terjadi di Indonesia, meski ‘belum sampai’ pada aksi yang sangat ekstrim. Masih ingat bagaimana ada youtuber melakukan aksi prank ‘bansos’ pada waria yang berisi batu-bata?

Semuanya karena sangking ndene. Segitunya. Karena terobsesi untuk apa yang disebut menjadi viral, trending topic. Tujuannya tentu popularitas. Jika popularitas didapat, maka ekorannya, turutannya, effectnya, sebagaimana yang diharapkan. Ingat bagaimana dulu Joko Anwar ketika follower twitternya mencapai 5K? Ia memenuhi janji untuk telanjang bulat di area publik.

Demikian juga ingat, bagaimana Deny JA, konsultan pemenangan Pilkada, memanfaatkan kontroversi ‘33 Sastrawan Berpengaruh’ di mana ia menempatkan diri di dalamnya, dan terjadi kontroversi? Ia memanfaatkan cara hitung click-bait, yang tak peduli perbedaan kuantitas dan kualitas. Di mana di situ orang tak peduli pada soal nilai. Tidak bisa dan tak mau membedakan antara angka atau jumlah dengan nilai.

Persis bagaimana Fadli Zon menikmati kontroversi cuitan medsosnya, yang mencapai jutaan reaksi. Tak penting dari jutaan itu lebih banyak yang mendukung atau mencaci. Apalagi dalam metode click-bait, soal angka atau jumlah lebih sebagai ukuran.

Tak ada urusan dengan nilai. Apalagi lagi ngomongin soal pantas dan tidak, penting dan tidak. Bukan itu prioritasnya. Para pembuat produk consumers good pun, juga hanya akan melihat kerumunan sebagai potensial buyer.

Dalam sistem penghitungan algoritma, setiap penambahan akan berakibat pada perkalian. Semakin banyak atau bertambah jumlah yang terlibat, dengan sendirinya berakibat pada penggandaan dari jumlah tersebut. Jika bertambah volume muatan, dengan sendiri hal tersebut akan melakukan duplikasi pada hasil akhirnya. Itulah ‘nilai’ yang diikutinya. Tidak paralel dengan kualitas, sebagaimana rating TV yang sering jadi acuan calon pemasang iklan, tak ada hubungan dengan kualitas program. Tukang kritik sinetron, misalnya, sila frustrasi dalam salah menilai hal itu. Karakter berbagai platform medsos, pada akhirnya mendorong lebih ke persoalan kuantitas. Kalau kamu tidak hadir, kamu nothing! Misal tidak membalas komentar viewermu.

Dengan populasi sampai ratusan juta manusia, jangankan di atas 50%, bisa mendapat pendukung 0,1% penduduk Indonesia, itu artinya sudah jutaan. Dulu, waktu masih jaya media konvensional, berapa oplah terbesar Kompas? Tidak mencapai 1 juta eksemplar. Bahkan Arswendo Atmowiloto dengan jurnalisme ser dan lher pun, meski tertinggi ‘hanya mencapai 814 ribu eksemplar. Sangat sesuatu banget.

Di platform medsos, kita tahu Atta Halilintar saja, bisa punya subcriber hingga 25 juta. Dari sana dia bisa mengumpulkan sekian puluh milyar rupiah. Tak perlu susah-payah seperti Arswendo. Lek Damis saja, youtuber dari desa Pati, dengan ratusan ribu subcriber bisa memberinya duit puluhan juta tiap bulan.

Baca Juga: Prank atau Candaan Ulang Tahun Berujung Kematian

Siapa yang tidak ngiler? Kini ada banyak jenis platform medsos yang membuat kita makin julid. Apalagi dalam persaingan antarplatform, makin banyak bentuk medsos membuat aplikasi, menjanjikan ladang untuk cari duit.

Bentuk prank dari youtube, kemudian juga ke tiktok, tak hanya dilakukan demi duit atau monetisasi. Juga untuk tujuan ideologis atau politis (meski bisa saja tujuan akhirnya duit juga). Maka di Indonesia ada saja yang mengaku sebagai ahli hukum tatanegara, filsuf, ustadz, lebih suka jadi youtuber atau aktivis twit-war. Bahkan, ada parpol juga pakai tak-tik tik-tok, dengan mengatasnamaka etika, menyeret-nyeret Presiden dengan skenario kudeta.

Ayo, siapa mau jadi kaya? Atau terkenal demi 2024? Ini kesempatan emas. Cuma bagaimana cara agar tak ketembak kayak Timothy Wilk di AS itu. Atau tertembakl UU-ITE di Indonesia. Karena itu penting punya pendukung intelektual atau aktivis HAM. Sehingga kalau pun kamu melanggar hukum, akan ada pembelaan yang membuat hukum bergoyang-dombret. Mangkanya, Abu Janda dan Natalius Pigai pun berdamai. 

@sunardianwirodono.