Nadiem dan Revolusi Pendidikan Indonesia yang Terancam Gagal

Susi Pudjiastuti dan Nadiem Makarim tidak memikul beban berat dipundaknya, tak ada keharusan ewuh pakewuh dan balas jasa pada mereka mengorbitkannya.

Sabtu, 8 Agustus 2020 | 11:43 WIB
0
302
Nadiem dan Revolusi Pendidikan Indonesia yang Terancam Gagal
Nadiem Makarim (Foto: Kompas.com)

"Gelar tidak menjamin kompetensi, kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, masuk kelas tidak menjamin belajar". [Nadiem Anwar Makarim]

Pernyataan Nadiem dengan tepat merumuskan problem pendidikan di Indonesia. Kesimpulan ini sekaligus semacam tantangan terhadap para pengeritiknya yang seakan menganggap dunia pendidikan Indonesia baik-baik saja. Jika dunia pendidikan di negeri ini baik-baik saja, mengapa begitu banyak orang memiliki gelar seabrek tapi tidak kompeten, lulus tapi tidak bisa berkarya, rajin masuk kelas tapi payah dalam menganalisa?

Jika indikator kegagalan pendidikan Indonesia merujuk pada standar internasional dengan mudah bisa dilihat pada survei kemampuan pelajar yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Menurut para pengamat rendahnya peringkat Indonesia disebabkan oleh kompetensi guru yang rendah dan sistem pendidikan yang terlalu kuno. Belum lagi laporan World Bank (Bank Dunia) mencatat, indeks sumber daya manusia (Human Capital Index/HCI) Indonesia sebesar 0,53 atau peringkat ke-87 dari 157 negara.

Realitas dunia pendidikan kita tidak mungkin ditutup-tutupi, semua pihak tahu termasuk para pengambil kebijakan di sektor pendidikan. Tenaga pengajar di semua tingkatan dari Paud hingga perguruan tinggi banyak bermasalah, kurikulum hanya dibongkar pasang tanpa menyentuh subtansi permasalahan dan para menteri tidak punya nyali melakukan perubahan secara total.

Ketika Nadiem diminta Jokowi membenahi sistem pendidikan nasional, ia tidak membutuhkan waktu lama memetakan masalahnya, semua terpampang jelas di depan mata. Dengan satu kalimat, "Merdeka Belajar" Nadiem merumuskan jalan keluar membenahi pendidikan nasional.

Persis saat Susi Pudjiastuti diminta membenahi sektor kelautan, dengan mudah menemukan simpulnya pada masalah sovereignty (kedaulatan).

Tidak ada gunanya diskusi serta proposal berjilid-jilid mengenai strategi meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat di sektor kelautan dengan tetap menjaga sustainabilitas kalau masih membiarkan penangkapan ikan ilegal secara besar-besaran oleh kapal nelayan asing di perairan kita. Namun kita tahu bagaimana kisah kepahlawanan Susi menguap pada periode kedua masa pemerintahan Jokowi. Perubahan yang drastis selalu mengakibatkan kegoncangan dan merugikan pemain lama yang terlanjur mapan.

Apa yang membedakan Nadiem dan Susi dengan umumnya menteri Jokowi? Nadiem dan Susi bukan kandidat partai politik, tak diusung organisasi relawan, tak terlibat sebagai tim sukses dan bukan representasi organisasi keagamaan, keamanan dan penegak hukum.

Karena itu Susi dan Nadiem tidak memikul beban berat dipundaknya, tak ada keharusan ewuh pakewuh dan balas jasa pada mereka mengorbitkannya. Sebaliknya justru Jokowi yang rentan intervensi, halnya para menteri, Jokowi memikul beban politik yang teramat berat. Mereka yang tak menghendaki Nadiem akan meminjam tangan Jokowi seperti saat menyingkirkan Susi.

Ayo terus dukung Nadiem benahi pendidikan Indonesia.

***