Nadiem tidak usah dengarkan protes fals JK, toh beliau ia bukan lagi wapres sehingga bisa memaksakan pendapatnya sebagaimana ia lakukan selama ini pada mentri pendidikan sebelum ini.
Jusuf Kalla kembali bersuara fals ketika Nadiem Makarim ingin menghapus Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan bentuk asesmen yang lebih rasional. Jusuf Kalla ini memang pendukung UN paling militan sejak beliau masih menjabat sebagai Wakil Presidennya SBY.
Beliau mengeluarkan berbagai argumen mengapa UN harus tetap dijalankan meski argumen-argumennya jelas berdasarkan asumsi yang tidak memiliki landasan akademik dan hasil riset sama sekali. Argumennya hantam kromo dan menggelikan. Saya bahkan sudah menulis betapa konyolnya asumsi-asumsi JK ini dalam UN. Jika mau baca sila buka ini.
Dulu beliau beranggapan bahwa Ujian Nasional dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Benarkah UN bisa meningkatkan kualitas pendidikan?
Tidak ada studi yang mendukung pendapat tersebut. Jadi pendapat JK itu sekedar pendapat pribadi yang sama sekali tidak punya dasar. Itu jelas-jelas cuma asumsi karena JK juga tidak pernah menyampaikan hasil studi mana pun. Studi yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Faktanya adalah meski pun hasil nilai UN siswa kita semakin baik ternyata di tes PISA malah ndlosor. Mau bilang apa lagi…?!
Dulu JK berpendapat bahwa UN merupakan sarana untuk membuat seluruh siswa di Indonesia sama pintarnya, karena memakai satu standar. “Siswa di Kendari, Ternate, maupun di mana saja di seluruh pelosok negeri di-set pengetahuannya sama dengan siswa di Jakarta maupun kota besar lainnya,” ujarnya.
Saya sampai melongo membaca betapa ngawurnya JK dengan pendapatnya ini. UN kan hanya alat untuk mengukur pencapaian materi pembelajaran pada siswa dan bukan alat untuk meningkatkan mutu pendidikan. UN itu hanya evaluasi dan bukan proses pembelajaran. Bukan ujian yang membuat kualitas pendidikan meningkat tapi pelayanan pendidikan yang berkualitas yang bisa membuat kualitas pendidikan meningkat.
Ujian yang standar tidak akan membuat pengetahuan siswa menjadi sama atau standar pengetahuannya. Tidak mungkin input dan proses yang berbeda tiba-tiba menjadi sama outputnya hanya karena diuji dengan pengukuran yang sama. Juga tidak ada bukti bahwa setelah mendapat UN maka anak-anak daerah bisa bersaing dengan anak-anak Pulau Jawa.
Menyatakan bahwa dengan mengikuti UN akan bisa membuat anak-anak daerah bisa bersaing dengan anak-anak di Pulau Jawa sama sekali tidak ada logikanya. Belum pernah ada penelitian semacam itu karena menggunakan logika yang salah. Ujian Nasional hanyalah alat ukur dan bukan obat atau solusi untuk peningkatan kualitas pendidikan.
Hal itu sama saja artinya dengan menyatakan bahwa sejak digunakannya termometer maka penyakit demam berdarah bisa dikurangi, atau lebih ekstrim lagi dengan menyatakan ‘Sejak digunakannya termometer ini untuk mengukur panas anak-anak di Papua maka alhamdulillah kesehatan anak-anak Papua sudah sama baiknya dengan anak-anak Pulau Jawa!’
Tentu saja itu konyol. Jika anak-anak di daerah ingin bisa bersaing dengan anak-anak di Pulau Jawa maka kualitas pendidikannya yang harus ditingkatkan (bukan standar ujiannya).
Jusuf Kalla kali ini kembali menggugat bahwa tidak adanya UN akan membuat siswa menjadi lembek dan telah dijawab oleh Nadiem dalam artikel di ini.
Sekarang mari kita uji apakah pernyataan JK bahwa tiadanya UN akan membuat siswa menjadi lembek? Tentu saja pernyataan ini hanyalah asumsi pribadi yang sama sekali tidak berdasar dan menunjukkan keawaman JK dalam hal evaluasi pendidikan. Tidak pernah ada satu pun penelitian di dunia ini yang pernah menyimpulkan bahwa sebuah ujian yang bersifat nasional akan membuat siswa menjadi tangguh.
Tangguh dalam hal apa dan dengan cara apa? Lalu darimana JK mendapatkan asumsi ngawur itu? Bukankah kita selama ini telah melakukan UN setiap tahun? Lalu apakah dengan demikian maka siswa-siswa kita menjadi semakin tangguh berkat UN tersebut? Yang jelas moral pendidikan bangsa kita menjadi hancur karena hampir semua sekolah dan daerah mengakali dan mencurangi UN secara massif. Yang jujur malah hancur nilainya. Sila baca ini.
Lalu darimana logika yang menyatakan bahwa tidak ada UN membuat siswa lembek?
Jika asumsi JK benar bahwa UN akan benar-benar membuat siswa menjadi tangguh maka mengapa kita tidak mengadakan Ujian Nasional sepuluh kali dalam setahun agar siswa kita menjadi 10X lipat tangguhnya? Mari kita adakan UN setiap bulan agar siswa kita semakin hari semakin tangguh dan semua bisa menjadi bonek. Yok opo? Gelem tah…?!
Peningkatan mutu pendidikan terletak bukan pada ujian atau evaluasinya, melainkan pada banyak sekali aspek lain yang harus digarap secara telaten dan dalam jangka panjang, baik aspek-aspek yang terkait langsung dengan pendidikan ataupun dengan kehidupan bangsa kita secara lebih luas.
Selama kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk, gaji guru kecil, sarana pendidikan miskin, buku bacaan bagi siswa tak ada, manajemen sekolah amburadul, kurikulum tak tepat guna, korupsi merajalela-sehingga dunia pendidikan pun korup, buku teks masuk sekolah lewat jalan menyuap, sekolah cukup memberi pelicin untuk dapat akreditasi baik, dan lulusan sekolah tak merasa perlu berkualitas karena toh dengan nyogok bisa sukses juga dalam hidup-dan masih amat banyak lagi faktor, UN tak akan ada manfaatnya dan justru malah merugikan.
Ada banyak riset yang sudah membuktikannya. Riset dari National Academy of Sciences di Amerika menunjukan bahwa tes standar yang ‘high-stakes’ macam UN menyebabkan kerugian baik pada siswa maupun pada pendidikan itu sendiri. Hal ini mendorong mereka meninggalkan pembelajaran dan beralih kepada latihan soal. Hal ini menyebabkan kurikulum sekolah menjadi terkorupsi dan pembelajaran menjadi tidak penting sehingga merugikan siswa dan pendidikan itu sendiri.
Jadi saya sepakat pada Nadiem agar tidak usah mendengarkan protes fals JK tersebut. Toh beliau sudah bukan lagi wapres sehingga bisa memaksakan pendapatnya sebagaimana ia melakukannya selama ini pada mentri pendidikan sebelum ini.
Surabaya, 12 Desember 2019
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews