Asal Muasal Kompas [25] Manajemen Kolektif

Pengertian bahwa koran merupakan hasil kerja bersama, tertanam dan terurai dalam proses kerja di semua bagian, redaksi maupun nonredaksi Kompas.

Rabu, 4 September 2019 | 06:51 WIB
0
633
Asal Muasal Kompas [25] Manajemen Kolektif
Robby Sugiantoro (alm.) (Foto: Kompas.id)

Dalam berbagai kesempatan, baik Pak Ojong maupun Pak Jakob Oetama selalu mengingatkan, koran merupakan hasil kerja bersama. Dalam setiap proses harus ditangani pelaku yang berbeda keahlian. Oleh sebab itu tidak ada satu unit kerja pun yang bisa merasa lebih berjasa  dari unit yang lain.

Wartawan menulis berita dikoreksi redakturnya, disusun dalam tata wajah oleh bagian disain, baru diproses di percetakan (pracetak dan mesin cetak), didistribusikan ke agen-agen, loper, pengecer, terakhir baru sampai pembaca. Semua harus dilakukan dalam semalam agar pagi-pagi sebelum pelanggan pergi ke kantor, sudah bisa membaca Kompas. Itu pun baru garis besar sebab dalam sebuah unit kerja  terjadi proses juga.

Pada awalnya semua masalah hanya Pak Ojong dan Pak Jakob yang tahu, maklum semua sedang taraf belajar. Mengingat hampir semua wartawan berpengalaman 0 tahun, semua tugas diberikan secara rinci. Kalau mau wawancara dibekali dengan daftar pertanyaan, kalau mau menuliskan diberi tahu mana yang harus ditaruh sebagai lead, dan sebagainya. Semua diajarkan tanpa teori, langsung praktek, langsung di lapangan, termasuk mereka yang mengurus bidang bisnis.

Satu “kawah” penggodokan kader yang tak bisa dilepaskan dari sejarah Kompas adalah Mess Kwitang. Di mess ini perusahaan menampung para wartawan dan karyawan bagian bisnis yang datang dari luar Jakarta. Tujuan awalnya memberikan akomodasi dan untuk memudahkan pengontrolan namun pada akhirnya menjadi ajang untuk saling belajar dan saling mengerti pekerjaan masing-masing.

RB Sugiantoro, jabatan terakhir Wakil Pemimpin Umum Kompas, yang  pernah tinggal di mess itu membuat catatan indah tentang mess Kwitang ini.

Kesulitan tempat tinggal bagi karyawan Kompas yang baru bergabung di Jakarta ditambah dengan kebutuhan perusahaan untuk selalu berkomunikasi dengan wartawan, merupakan salah satu pasal kenapa perusahaan menyediakan mess karyawan pada tahun 1966. Tempatnya di Jalan Kramat Kwitang II no 17,  di  belakang antara bangunan toko buku Gunung Agung dengan asrama haji PHI.

Rumah di tengah kampung ini terdiri dari tiga ruang tidur di lantai bawah, masing-masing diisi dengan tempat tidur susun yang keseluruhannya memuat 10 orang.  Di lantai ini juga ada ruang tamu berpintu angin dengan empat kursi plastik, serta “ruang makan” yang juga berfungsi sebagai ruang ngobrol  di mana sebuah telepon terletak di atasnya.

Selain itu ada sebuah dapur, kamar mandi dan WC yang terpisah, tempat cuci, tempat parkir sekuter, dan kamar house boy  yang bersebelahan dengan tangga naik ke tempat jemuran.  Dalam perkembangannya, di tempat jemuran pun didirikan sebuah kamar kecil ukuran 2 X 3 meter dilengkapi sebuah ranjang susun. Begitu kecilnya hingga mendapat sebutan pagupon (kandang burung merpati).

Lokasi mess ini waktu itu sungguh di tengah kota sehingga mempermudah operasional wartawan dalam mencari berita. Penentuan siapa yang perlu masuk mess datang dari Pak Ojong  atau  Pak Jakob, berdasarkan pertimbangan kebutuhan akan tempat tinggal maupun mempermudah penugasan. Artinya  mess perlu diisi oleh mereka yang sewaktu-waktu mudah dihubungi dalam kaitan dengan penugasan.

Dengan adanya mess, tujuan mempermudah komunikasi antara kantor dengan wartawan tercapai. Hampir setiap pagi telepon berdering dari kantor dan suara bariton  Pemred segera terdengar di ujung sana. Biasanya berisi penugasan, hari ini harus cari apa, siapa yang harus dihubungi, aspek apa saja yang harus ditindaklanjuti dan seterusnya. Namun tidak jarang, yang keluar adalah semprotan karena Kompas pagi itu kecolongan berita penting atau penulisan wartawannya dianggap jelek atau kurang lengkap.

Apabila wartawan yang ditelepon berulang-ulang hanya mengucapkan, “….ya Pak…..ya  Pak…..ya Pak….,” maka yang lain pun segera maklum bahwa yang di ujung sana  sedang tidak berkenan. Mereka pun berharap-harap cemas  agar tidak mendapat giliran ditanya atau dicari, dan bagi yang merasa punya salah segera ambil motor dan menghindar.

 **

Begitulah setiap pagi, hampir dapat dipastikan kalau ada bunyi dering, maka tentu dari kantor dan itu pasti dari Pak JO (sebutan untuk Pemred, Pak Jakob Oetama), karena komando redaksi waktu itu dipegangnya sendiri,  belum ada apa yang disebut desk, redaktur, redaktur pelaksana dan lain-lainnya.

Tidak jarang ketika yang dicari pagi itu  sedang di kamar mandi, maka yang bersangkutan terbirit-birit hanya berlilitkan handuk menerima tugas, petunjuk, maupun hardikannya.

Namun kalau kebetulan ada berita yang bagus, eksklusif lagi, maka Pak JO pun bersikap fair dan teleponnya bernada memuji. ”Beritanya bagus Mas…”.  Wah kalau sudah begitu, ehem, ehem…, wajah pun lalu berseri seharian. Tetapi hal  seperti itu frekuensinya  tentu langka.

Bagi para mantan penghuni mess,  sikap Pak Jakob saat itu jauh berbeda dengan sekarang. Dulu, rasanya Pak Jakob itu  pemarah dan kalau sudah marah, baik langsung berhadapan maupun lewat kabel telepon, telinga bisa merah dibuatnya.

Baru di kemudian hari, mereka yang terbiasa mendapat tugas, petunjuk, komentar,  ataupun hardikan Pak Jakob baik langsung maupun via telepon, memahami bahwa itu semua ternyata telah ikut berperan besar dalam pembinaan diri sebagai wartawan.

Bukan sekadar wartawan, tetapi sebagai wartawan Kompas dengan segala nilai-nilai kekompasan yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai yang bukan hanya menjadi pedoman dalam menjalankan profesi kewartawanan, tetapi ternyata juga ikut mempengaruhi gaya dan karakter hidup sehari-hari.

Telepon di mess Kramkwit yang berwarna kuning gading itu, benar-benar telah menjadi alat penting yang menentukan keberhasilan tujuan memesskan para wartawan dan karyawan yang  beruntung  tertampung di situ. Dan dalam perjalanan Kompas, banyak di antara mereka yang akhirnya memang menjadi pimpinan.

Pembelian mess Kwitang dilakukan tahun 1969. Leo Hadi yang saat itu menangani masalah personalia dan umum meninjau bersama GM Sudarta. Ketika dirasa cocok, rumah itu pun dibeli. Hampir semua kader pimpinan Kompas pernah menghuni mess tersebut. Mereka biasanya pergi karena menikah.

Suasana yang akrab membuat mereka betah tinggal di mess. Malam hari kami berkumpul,  saling tukar cerita mengenai pengalaman masing-masing, baik tentang pekerjaan maupun soal-soal lainnya. Sering pula rekan-rekan lain juga datang ke mess, kadang berombongan, kadang membawa kepiting, ikan dan sebagainya untuk dimasak bersama.

Dalam suasana seperti inilah keakraban,  kekeluargaan, dan saling tolong semakin terpupuk. Itu sebabnya hubungan antarwartawan angkatan itu nampak begitu akrab.

Seiring kemajuan zaman, satu per satu penghuni mess pergi karena menikah atau membeli rumah memanfaatkan fasilitas pinjaman dari perusahaan. Selain itu daerah Kwitang yang sering tergenang dan tempat kos yang menjamur di sekitar kantor Palmerah, membuat daya tarik mess tersebut meredup. Akhirnya mess itu ditutup pada akhir tahun 1980 karena dianggap sudah tidak diperlukan lagi.

**

Begitulah  penggodokan model Kompas, dilakukan secara langsung dengan memberi contoh. Mengingat rata-rata karyawannya belum berpengalaman, semua perintah dan tanggung jawab mengerucut ke atas. Itu berlangsung  sejak berdiri tahun 1965 hingga tahun 1978, sesudah Kompas dibreidel.

Rupanya pembreidelan itu membuahkan hikmah bagi pimpinan Kompas. Yang jelas, semakin tegas pembagian kerja antara Pak Jakob dan Pak Ojong. Pak Jakob mengurus semua hal yang berkait dengan Redaksi dan Pak Ojong nonredaksi. Keduanya kemudian mulai melibatkan staf-stafnya dan proses tersebut berulang pada generasi berikutnya. Apalagi di Redaksi di mana sehari-hari dituntut adanya ide-ide baru untuk mengisi koran, masalah harus dibuka untuk semua orang agar didapatkan ide maksimal.

Penyebaran ide-ide baru, penularan ilmu jurnalistik dan politik yang terjadi saat itu, disampaikan Pak Jakob dalam rapat-rapat besar yang dihadiri semua wartawan bahkan kadang juga pimpinan nonredaksi. Dalam kesempatan tersebut Pak Jakob menanamkan sikap atau nilai-nilai Kompas menghadapi masyarakat, pembaca, pemerintah,  dan keadaan saat itu.

Buku-buku terbitan baru yang dibacanya, sering menjadi bahan telaah dalam rapat tersebut. Pertemuan tersebut benar-benar memperkaya khasanah para wartawan muda. Selama hampir lima tahun sejak 1985, pertemuan  semacam ini sempat dilakukan secara periodik sebulan sekali.

 Dalam perkembangannya, apalagi ketika Pak Jakob mulai banyak urusan nonredaksi sepeninggal Pak Ojong pada tahun 1980, para pimpinan di bawahnya justru semakin berbagi masalah. Akhirnya pengertian bahwa koran merupakan hasil kerja bersama, tertanam dan terurai dalam proses kerja di semua bagian, redaksi maupun nonredaksi Kompas.  Ambil contoh proses kerja Redaksi yang saat ini berlangsung.

Pada pukul 09.30 para redaktur menghadiri rapat untuk mengevaluasi Kompas terbitan hari itu, menindaklanjutinya, membandingkan dengan koran lain, saling tukar informasi termasuk hasil lobi masing-masing, memutuskan apa yang harus dilakukan dalam jangka pendek maupun panjang, dan menentukan topik sikap koran esok. Rapat ini dipimpin Pemimpin Redaksi, terkadang juga Pemimpin Umum. Merekalah yang memberi arah kebijakan Kompas setelah semua informasi terkumpul.

Pukul 16.30 setiap kepala desk mengadakan rapat bersama para wartawan anggotanya untuk mengumpulkan berita apa saja yang mereka peroleh, saling melengkapi berita antarwartawan, mengatur pemuatan berita, dan memberikan penugasan untuk esok hari. Sejam kemudian semua kepala  desk melaporkan hasil perolehan berita di desknya dalam rapat budgeting serta mengusulkan agar beritanya bisa masuk halaman pertama.

Di situ terjadi saling tukar informasi tentang berita yang mereka peroleh, saling melengkapi, dan menentukan mana-mana yang pantas dimuat di halaman pertama. Setelah itu barulah para kepala desk melaporkan rencana kerja esok hari. Semua dilakukan dengan singkat, sekitar 30 menit, karena mereka harus bergegas mengisi halaman masing-masing untuk mengejar deadline yang telah ditentukan.

Masih banyak lagi rapat-rapat perencanaan atau evaluasi yang harus diikuti para pimpinan di bagian redaksi ini. Semua itu menggambarkan bahwa Kompas dibuat melalui pergulatan ide, diskusi, dan saling isi. Tidak seorang pun bisa menentukan sendiri apa yang akan dimuat Kompas. Dan tak seorang pun bisa bekerja sendiri : team work, itu kunci sukses Kompas.

Dan dengan cara kerja seperti ini, tak ada ketergantungan kepada seseorang saja sehingga kaderisasi berjalan alami karena semua masalah dibentangkan di atas meja, semua tahu apa yang harus dikerjakan dan semua pun akan tahu siapa yang memiliki kelebihan dalam menangani berbagai masalah.

**

Team work bukan dijalankan di tingkat bawah saja tetapi di semua tingkat manajemen. Keputusan manajemen banyak berdasar pada kesepakatan walau untuk hal-hal tertentu akhirnya bermuara pada pimpinan tertinggi Kompas. Dan hal ini diperlukan agar tetap ada keputusan yang bisa dijalankan.

 Di bagian Redaksi misalnya, setiap hari Rabu para redaktur bertemu untuk menganalisa apa yang telah dilakukan seminggu terakhir dan membahas apa yang akan dilakukan minggu berikutnya. Dalam pertemuan reboan ini setiap pimpinan desk bisa menjelaskan apa yang terjadi di desknya manakala ada gugatan dari pembaca ataupun sesama wartawan Kompas.

Adu argumen menjadi hal yang rutin dilakukan dalam pertemuan ini dan akhirnya bisa diputuskan bersama tentang sikap atau kebijakan apa yang harus diperbuat berkait dengan pemberitaan atau kebijakan termasuk kesejahteraan. Hasil rapat ini disebarluaskan kepada seluruh wartawan melalui para kepala desknya. Rapat ini dipimpin pejabat setingkat pemimpin redaksi yang biasanya sekaligus menggunakannya untuk sarana mensosialisasikan kebijakan perusahaan.

Pada setiap hari Senin ada Rapim Redaksi, rapat para pimpinan Redaksi, meliputi Pemred, Redpel, dan Sekred beserta para wakilnya. Di sini setiap pimpinan membuka masalah di meja dan dibicarakan bersama kemudian diputuskan sejauh masih dalam kewenangan mereka. Pemimpin Redaksi atau wakilnya memimpin pertemuan rutin ini. Dalam pertemuan ini antara lain diputuskan masalah apa yang akan “dibagikan” atau disosialisaikan kepada para kepala desk dalam rapat reboan mendatang. 

Esok harinya, setiap hari Selasa, para pimpinan bertemu dalam Rapim Kompas, rapat pimpinan Kompas. Dalam rapat yang dipimpin wakil pemimpin umum ini, hadir semua pimpinan redaksi, pimpinan bidang bisnis (pemimpin perusahaan bersama para general manajer sirkulasi, iklan, Marcom), Kepala Litbang, TI, dan Direktur SDMU. Terkadang pertemuan ini dihadiri Pimpinan Umum jika ia merasa perlu menyampaikan sesuatu.

Di sini dibicarakan masalah-masalah menyeluruh tentang Kompas. Koordinasi tingkat tinggi dilakukan di pertemuan ini sehingga semua bidang tahu apa yang akan dikerjakan bidang lain. Dengan demikian kolektivitas dalam pengambilan keputusan mendominasi manajemen Kompas.

Dari mekanisme kerja ini jelas, semua masalah di Kompas baik di tingkat bawah maupun di tingkat paling atas, selalu dibuka dan diletakkan di atas meja untuk dibahas bersama.  Dengan cara ini ketergantungan pada seseorang memang menjadi terbatas. Hal itulah yang antara lain membuat Kompas menjadi kuat dan terbebas dari ketergantungan seseorang.

 Setiap ada yang pergi, pasti akan ada yang datang. Setiap zaman akan selalu ada tantangan namun juga akan selalu ada yang mengatasinya. Begitu antara lain yang disampaikan Pak Jakob dalam sebuah rapat. Pendapat ini tentu berdasar pengalaman. Berbagai rubrik hebat satu per satu hilang karena tidak ada lagi pengasuhnya, namun rubrik baru yang hebat  selalu muncul. Demikian juga dengan karyawan, termasuk wartawannya.

Dengan demikian di Kompas ini tak ada yang bisa mengaku bahwa dirinya  menjadi faktor untuk mengganjilkan yang genap atau menggenapkan yang ganjil. Jika itu terjadi, di lembaga itu pasti ada sesuatu yang ganjil.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [24] Pola Jawilan