Menjenguk Bu Ani

Sekali lagi saya pamit. Saya cium lama tangan beliau. Seperti biasa. Seperti kepada siapapun yang saya anggap senior.

Jumat, 12 April 2019 | 09:25 WIB
0
870
Menjenguk Bu Ani
Saya dan Pak SBY menjenguk Bu Ani (Foto: Disway.id)

Di antara Kunming-Singapura itu saya ingat: saya nanti akan transit beberapa jam di Changi. Saya pun cari nomor WhatsApp (WA) ajudan Pak SBY. Atasan saya dulu. Yang Presiden Indonesia dua periode itu. "Bolehkah saya nanti menjenguk Ibu Ani Yudhoyono di rumah sakit?“ tulis saya.

Saya tahu WA itu tidak bisa terkirim. Saya masih di atas pesawat. Tapi saya tidak akan lupa: begitu mendarat nanti WA itu pasti terkirim secara otomatis.

Betul saja, belum lagi saya keluar dari pesawat sudah ada jawaban. "Saya sudah sampaikan ke beliau. Siap diterima jam 16.00," jawab WA itu. 

Maka saya putuskan makan siang dulu. Lalu ke rumah sakit National University Hospital Singapura. Diantar Robert Lai, 'istri kedua' saya itu. Lewat gerbang Selatan. 

Di dekat lobi lantai bawah itu sudah terlihat ajudan beliau. Tidak berpakaian dinas, tapi saya tahu pangkatnya letnan angkatan darat. Ia mengenali kedatangan saya. Diminta duduk sebentar di kursi tunggu lobi. Saya lihat di dekat kursi itu banyak tas dan ransel ditumpuk di lantai. Berarti banyak tamu yang meninggalkan ransel di situ.

Seorang wartawati Singapura juga sedang antre. "Sudah dua minggu saya menunggu waktu bertemu," ujarnya. "Dulu saya sering meliput di Indonesia," tambahnya. Dia pun menceritakan kesan sangat positif tentang Pak SBY. Dia keturunan India, lahir di Singapura, alumni John Hopkins University Washington DC. 

Lalu datang juga anggota DPR yang cantik itu: Novita. Dokter psikologi. Bersama ibunya. Yang baru check up kanker payudara.

Saya sendiri bersama istri dan anak wedok saya, Isna Iskan. Setelah 10 menit menunggu kami pun diminta ke atas. Ke lantai delapan. 

"Di ujung sana itu," ujar ajudan. Suaranya lirih. Agar tidak berisik di dalam ruang pasien yang memanjang itu.

Saat keluar lift saya memang tampak agak ragu. Lihat sana-sini. Di mana ruangan beliau. Saya pikir dekat lift. Di satu ruang khusus yang istimewa di dekat situ. 

Ternyata di ujung koridor sana. Kami harus melewati pasien-pasien lain. Dan meja-meja perawat. Di dekat ujung itu ada satu ruangan yang diubah fungsi. Jadi ruang tamu. Empat kursi dijajar di dekat dinding kanan. Delapan kursi di dekat dinding kiri. Satu kursi lagi di ujung tengah. "Oh di situlah nanti pak SBY duduk," kata saya dalam hati.

Saya pun menempati kursi paling ujung. Dekat kursi Pak  SBY yang masih kosong. Istri dan Isna di sebelah saya. Di kursi seberang duduk wartawati tadi. Dan anggota DPR tadi.

Sejenak kemudian Pak SBY masuk. Beliau melihat ke semua tamu. Lalu berjalan ke arah saya. Saya berdiri. Berjalan ke arah beliau. Kami bersalaman. Saya cium tangan beliau. Agak lama. Lalu cipika-cipiki. Disertai beberapa ucapan doa. Dan terima kasih.

Begitu juga istri saya. Dan anak saya. Lalu ke deretan kursi depan.

Pak SBY tetap seperti dulu. Sangat menghargai tamu. Siapa pun mereka. Memuji tamu. Mengucapkan terima kasih. Minta doa.

"Sebelum ke ruang ini saya sudah sampaikan ke Ibu Ani siapa saja yang menjenguk sekarang ini. Saya sampaikan nama-nama tamu satu persatu. Beliau senang sekali. Terima kasih. Dan minta doa," ujar beliau. 

Beliau memang biasa sangat menyenangkan tamunya. Kami tahu tidak mungkin bisa menjenguk langsung Bu Ani. Di kamar sebelah. Proses kemo memerlukan kondisi pasien yang harus steril. 

Pak SBY lantas bercerita tentang sakitnya bu Ani. Tidak saya sangka. Cukup detil cerita itu. Jauh dari yang saya perkirakan. Saya kira sakit beliau dirahasiakan dengan ketat.

Keluarga besar Pak SBY semula agak kaget dengan sakitnya bu Ani. Sebelum itu, kata Pak SBY, Bu Ani masih ikut kampanye ke Sumut. Selama empat hari. Lalu ke Aceh. Juga empat hari.

"Kembali ke Jakarta Bu Ani periksa darah. Diketahui trombosit, HB, turun," ujar Pak SBY. Pemeriksaan lebih lanjut dilakukan di Singapura. Atas anjuran dokter kepresidenan. "Di sinilah, di rumah sakit ini, diketahui bahwa bu Ani terkena kanker darah," ujar beliau.

Pak SBY mengatakan, Bu Ani nanti pada akhirnya akan menjalani transplantasi sumsum. Itulah kesimpulan yang sudah diambil. Tapi untuk menuju ke sana diperlukan dua tahap penanganan. Setiap tahapnya 28 hari. Katakanlah satu bulan. "Sekarang ini tahap kedua sudah hampir selesai," ujar Pak SBY. 

Lantas akan dievaluasi: apakah sudah waktunya dilakukan transplantasi sumsum.

"Kalau kadar kanker beliau sudah turun, katakanlah sudah di level 5, transplantasi bisa dilakukan," ujar Pak SBY.

Apakah akhir penanganan tahap kedua ini sudah akan seperti itu belum tahu. Masih harus menunggu hasil evaluasi lagi.

"Kalau ternyata belum akan dibuat keputusan baru. Apakah diteruskan ke tahap tiga atau ditempuh jalan yang lain lagi," ujar beliau.

Donor untuk sumsumnya sendiri sudah tersedia. Setelah dicari ke seluruh dunia ternyata yang paling cocok adalah adiknya sendiri: Jendral (Purn) Eddy Pramono. "Dari delapan parameter kecocokan semuanya cocok," ujar beliau. "Alhamdulillahhhh...," celetuk istri saya agak keras. Sambil setengah menangis terharu.

Disyaratkan pula kondisi kesehatan pendonor juga harus prima. Tidak boleh mengandung suatu penyakit. "Setelah diperiksa, Pak Eddy sehat sekali. Sehat semua," kata beliau.

Beliau menceritakan, kondisi Bu Ani dalam semangat tinggi untuk sembuh. "Biar bisa seperti Pak Dahlan ini," ujar beliau. "Kesembuhan Pak Dahlan dan kedatangannya ini bisa menjadi pendorong yang besar," tambah beliau.

Saya jadi ingat. Empat hari setelah saya menjalani transplantasi hati pada 2006 lalu, Pak SBY menelepon saya. Waktu itu Pak SBY lagi di Surabaya. Berbicara di depan forum redaktur koran yang saya pimpin. Saat itulah pembicaraan telpon dengan beliau diproyeksikan ke layar lebar. Di depan forum. Di rumah sakit, saya juga bisa melihat beliau sedang bersama redaktur kami.

Tentu, kata beliau, sesekali Bu Ani juga down. Melihat naik turunnya kondisi kesehatan. Tapi secara umum semangat beliau sangat tinggi.

"Kini giliran saya untuk terus membangkitkan semangat beliau," ujar Pak SBY. "Setelah bu Ani 43 tahun selalu mendampingi saya kini giliran saya mendampingi bu Ani" kata pak SBY. 

Beliau bercerita tidurnya pun di ruang Bu Ani. Pun tempat tidurnya adalah ranjang rumah sakit. Di sebelah tempat tidur Bu Ani. Tidak terbayangkan seorang mantan presiden negara sebesar Indonesia tidur seperti itu. Demi Bu Ani-nya. 

Barulah ketika anak atau menantu beliau di Singapura, Pak SBY bisa tidur di apartemen. Tapi, anak-menantu itu kini lagi sibuk-sibuknya. Pemilu sudah begitu dekat. 

Beliau puas dengan penanganan di rumah sakit ini. Tidak hanya mampu. Pun menanganinya dengan hati. Dengan penuh sayang.

Protokol medis yang diterapkan pun diambil dari protokol terbaru dunia. Yang baru diintrodusir Januari tahun ini. Termasuk protokol bagaimana melakukan kemoterapinya.

Pak SBY akan terus menunggu Ibu Ani di rumah sakit ini. Termasuk ketika pemilu nanti.

Biar pun awalnya saya berharap beliau ada di Jakarta. Agar bisa ikut jadi penengah. Kalau terjadi apa-apa di Pemilu nanti. Inilah pemilu yang paling keras. 

Beliau pun lantas banyak bicara tentang pilpres. Juga bagaimana dalam sejarah masa lalu militer selalu bisa menempatkan diri secara pas. Pun kali ini. Harapan beliau begitu. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi. Yang kali ini, kata beliau, dua-duanya sangat mungkin terpilih.

Tak terasa sudah hampir 50 menit kami di ruang itu. Kami pun pamit. Pak SBY masih sempat menyenangkan tamunya lagi. Diceritakanlah  siapa saya. Kerja saya. Dan adanya pihak yang, ehm... saya.

Beliau pun berharap segera bisa saling kontak lagi. Kalau bisa tiga hari sebelum pemilu.

Sekali lagi saya pamit. Saya cium lama tangan beliau. Seperti biasa. Seperti kepada siapapun yang saya anggap senior.

Istri saya kian terlihat berlinang air mata. Sambil terus berdoa untuk Bu Ani.

Dahlan Iskan

***