Hubungan antara agama dan negara menjadi salah satu tema pergulatan banyak bangsa dewasa ini. Sebagian besar agama besar lahir ratusan dan ribuan tahun lalu. Mereka membawa beban tradisi yang tak selalu cocok dengan jaman yang terus berubah. Sementara, bentuk negara modern, seperti kita kenal sekarang ini, baru berusia ratusan tahun.
Bentuk teokrasi, di mana negara menganut satu agama tertentu, jelas sudah tidak lagi cocok. Sebagian besar negara sudah menjadi begitu majemuk, sehingga bentuk teokrasi (negara dikelola dengan ajaran agama tertentu) hanya akan mengundang diskriminasi, keterbelakangan dan konflik berkepanjangan. Bentuk lainnya adalah sekularisme, di mana negara menjadi sistem yang mandiri dari beragam agama yang ada. Di Indonesia, hampir seperti semua hal lainnya, pemahaman ini sering jatuh ke dalam kecurigaan dan prasangka sempit.
Sekularisme
Mari kita ambil contoh negara lain. Di dalam artikel 20 dari Konstitusi Jepang tertulis kalimat berikut, “Kebebasan beragama dijamin untuk semua. Tidak ada lembaga agama yang memperoleh kemudahan dari negara, atau menjalankan kekuasaan politik. Tidak ada orang yang dipaksa untuk ikut dalam agama, ritual atau praktek agama tertentu. Negara dan lembaga-lembaganya harus mundur dari pendidikan agama, dan dari semua aktivitas keagamaan.” (Dikutip dari Zuckerman, 2018)
Di dalam kutipan di atas terkandung inti terdalam dari sekularisme. Sebagaimana diteliti oleh Zuckerman, pemahaman ini tidak hanya dianut oleh Jepang, tetapi oleh banyak negara di dunia. Sekularisme dewasa ini menjadi paham yang paling pesat berkembang di dunia. Ini terjadi, karena banyak negara sudah melihat kekacauan yang muncul, ketika agama dicampur dengan kepentingan politik.
Secara umum, menurut Zuckerman, ada dua bentuk sekularisme. (Zuckerman, 2018). Yang pertama adalah sekularisme politik. Di dalam pandangan ini, kehidupan bernegara haruslah dipisahkan dari praktek agama tertentu. Negara berjalan sebagai sistem yang bersifat profesional dan mandiri terhadap berbagai agama yang ada.
Pandangan ini bukanlah berarti, bahwa negara menolak agama. Sebaliknya, justru pandangan ini membuka ruang terhadap berbagai agama untuk ada dan berkembang bersama di dalam sebuah negara. Negara melindungi orang-orang yang beragama, sekaligus yang tak beragama. Model inilah yang paling banyak dianut oleh beragam negara sekarang ini.
Yang kedua adalah sekularisme filosofis. Pandangan ini melakukan kritik terhadap agama sebagai salah satu penyebab kesempitan berpikir dan konflik selama ribuan tahun. Para pemikir di bidang ini tersebar mulai dari ateisme ekstrem yang menolak sama sekali keberadaan tuhan dan agama, sampai dengan upaya untuk mendorong agama menjadi semata urusan pribadi. Pengandaian dasarnya adalah, bahwa tanpa agama di ruang publik, dunia akan lebih damai.
Mempertimbangkan Sekularisme
Ada tiga hal yang kiranya perlu dipertimbangkan. Pertama, pemisahan tegas antara agama dan negara kiranya menjadi salah satu unsur penting negara demokrasi modern. Artinya, jika satu agama masih mempengaruhi ruang publik, maka demokrasi tidak akan berjalan lancar, karena diskriminasi terhadap kelompok agama lain, dan orang-orang yang tak beragama, akan terus terasa di udara. Model semacam ini rasanya sulit diterapkan di Indonesia, terutama dengan mempertimbangkan keadaan masyarakatnya yang masih begitu bergantung pada agama.
Dua, tawaran Jürgen Habermas tentang masyarakat pasca sekular kiranya bisa dipertimbangkan. Di dalam model ini, agama tetap bisa mempengaruhi kehidupan politik melalui nilai-nilai yang ia tawarkan, asal ia bisa melepas semua pernak pernik tradisional agamanya masing-masing. Artinya, setiap agama bisa menerjemahkan nilai-nilai keagamaannya ke dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh pihak agama lain, maupun oleh orang-orang yang tak beragama. (Dikutip dari Reder, 2012) Model ini, pada hemat saya, kiranya cocok diterapkan di Indonesia.
Tiga, kritis filosofis terhadap agama tetaplah perlu terus dilakukan. Ini merupakan proses pemurnian agama itu sendiri, sehingga ia tidak jatuh ke dalam kepentingan politik maupun ekonomi yang memecah belah. Tujuannya sederhana, supaya agama kembali menjalankan peran utamanya sebagai pengayom kehidupan, dan bukan sebagai alat politik belaka. Indonesia sudah kenyang dengan penyelewengan penggunaan agama untuk kepentingan politik yang memecah belah.
“Rasa” Indonesia
Dari tiga pertimbangan ini, kita bisa merumuskan semacam sekularisme dengan “rasa” Indonesia. Pandangan ini berdiri pada dua titik pijak. Pertama, kemajemukan merupakan fakta kehidupan di Indonesia. Hal ini jelas harus menjadi pertimbangan utama di dalam tata kelola politik di Indonesia.
Dua, sekularisme di Indonesia harus memberi ruang bagi semua agama untuk menyampaikan nilai dan pendapatnya. Namun, seperti diingatkan oleh Habermas, bahasa yang digunakan haruslah bahasa yang bisa dimengerti oleh agama-agama lainnya, maupun oleh orang-orang yang tak beragama. Dalam arti ini, agama harus menunda ciri tradisionalnya, dan menggunakan bahasa-bahasa yang bersifat umum. Proses menerjemahkan ini juga melibatkan kemampuan memberi pendasaran rasional terhadap argumen-argumen yang ditawarkan.
Ini semua dapat dilaksanakan, jika negara tetap mampu bersikap adil dan mandiri terhadap semua agama yang ada, maupun terhadap orang-orang yang tak beragama. Ini tentu merupakan tantangan tersendiri di Indonesia. Kita membutuhkan pemikiran yang lebih terbuka dan empati yang lebih dalam, guna menerapkan hal ini. Sesuatu yang kiranya semakin langka tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews